Saturday, November 24, 2007

Surat Buat Kekasih

Tepi sebuah desa, 02 November 2003
00.14 wib



Surat buat kekasih,

Sekali dalam hidupku, aku pernah memuja cinta. Mengagungkannya. Menyembahnya sebagai berhalaku*. Aku percaya bahwa aku memilikinya, satu, kusimpan aman dalam hatiku.

Hanya sebentar saja. Semakin banyak yang kulihat, semakin banyak yang kurasa. Sehingga semakin banyak yang kupikirkan. Sehingga pula semakin aku tidak bisa mempercayai cinta lagi. Menganggap cinta adalah bualan, omong kosong, belaka. Sekedar mampu membuat sakit perut, tidak lebih.

Sebentar biar kuluruskan. Aku menghargai cinta. Aku tahu bahwa dengan cinta segala sesuatu akan menjadi baik-baik saja. Malah lebih dari sekedar menjadi baik-baik saja, melainkan menjadi yang terbaik. Masalahnya cinta adalah konsep ideal yang ada di awang-awang sana, selalu akan sulit untuk dijangkau. Apalah arti cinta kalau cinta itu selalu memiliki alasan-alasan mengapa mencinta, pada saat cinta adalah tanpa pamrih. Bukankah sebuah omong kosong belaka, saat cinta yang idealnya kuat dan menguatkan malah menjadikan seseorang ringkih. Saat cinta yang sebenarnya agung, hanya dipakai sebatas sebagai alat pembenaran diri. Sebuah penyederhanaan yang semena-mena! Singkatnya, sebenarnyalah sejak lama aku tidak percaya bahwa manusia mampu untuk mencinta. Selama manusia masih berbahan dasar daging, akan hanya cinta yang munafik yang dimilikinya. Cinta yang memiliki beribu alasan untuk mencinta. Cinta yang meringkihkan. Cinta sebagai pembenaran diri. Dan ternyata, aku sangat percaya bahwasanya hal seperti itu bukanlah cinta sama sekali.

(Anehnya, aku menyukai bacaan-bacaan cinta. Yang bercerita tentang percintaan yang berakhir buruk. Pada saat aku bisa mentertawakan cinta keras sekali).

Apakah kamu mencintaiku? Pertanyaan bodoh yang sering kali kau tanyakan. (Ternyata pertanyaan bodohpun bisa saja keluar dari orang yang tidak bodoh). Aku tahu, apapun jawabannya tidak akan mengubah keadaan. Hanya ada gelak tawaku yang berderai-derai (lagi-lagi mentertawakan cinta?), sekedar menyenangkanmu aku lalu meneriakkan sumpah matiku bahwa aku cinta kamu.

(Apakah karena cinta telah dijual terlalu murah sehingga cinta bisa sedemikian larisnya?)

Apakah aku mencintaimu? Jawabanku yang sejujurnya tentu saja, jelas tidak. Aku menginginkanmu. Aku membutuhkan kebersamaanku denganmu. Tentu saja sangat berbeda halnya dengan bila aku mencintaimu. Aku menginginkanmu karena aku memiliki alasan-alasan yang masuk akal. Aku menjadi ringkih menghadapi tatap matamu. Kau adalah pembenaran diriku untuk banyak kesalahanku. Ya, aku sangat percaya bahwa ini bukanlah cinta sama sekali.

(Lagian kalau benar adalah cinta, aku tidak akan merasa sakit walaupun terluka. Nyatanya aku menjerit. Kalau benar adalah cinta, aku tidak akan pernah mempermasalahkan untung dan rugi. Nyatanya aku selalu berharap).

Yang ada ini bukanlah cinta. Hanya sekedar nafsu untuk sebuah kebersamaan. Yang sebenarnya selalu saja didasarkan pada hitungan matematis.

(Nyatanya tetap bertahan sampai tahun keempat sejak pertemuan pertama kita. Lalu, siapa yang butuh omong kosong cinta?).

Di surat buat kekasih ini, pada saat ulang tahun keempat pertemuan kita, aku hanya mau mengatakan sebuah kejujuran, bahwa aku tidak mencintaimu.



Salam

"Kekasih"



# # #



Balasan surat buat kekasih,

Langsung saja.

Aku telah bertemu seseorang beberapa waktu lalu. Bukanlah suatu kesengajaan saat dia tertawa dengan tawamu. Rambut ikalnya yang selalu saja selusuh rambutmu. Kesukaanya mendongak menghitung bintang, ataupun berkeliling berminggu-minggu tanpa tujuan. Pelukannya yang sehangat milikmu. Dengkurannya, geliatnya.

Aku sempat curiga, jangan-jangan dia adalah kamu. Sampai saat beberapa minggu yang lalu,tepat lima tahun sejak aku bertemu kamu (bukan empat tahu seperti katamu), dia bilang bahwa dia mencintaiku. Saat itupun aku bisa memastikan bahwa dia sama sekali bukanlah kamu, sama sekali berbeda dari kamu.

Aku butuh cinta untuk menghidupiku. Cukup dengan sebuah cinta yang sederhana**. Kerumitanmu sudah lebih dari cukup menjenuhkanku.

Lalu, haruskah aku meminta maafmu?



Salam

"kekasih"



*teringat pada kalimat Dedy Mizwar dalam film "Kiamat Sudah Dekat"
**teringat pada sebuah puisi Sapardi Djoko Damono

No comments: