Friday, November 21, 2008

Menjiplak Kematian Cobain*

Pagi ini

Grunge boleh aja dibilang orang sudah mati, tapi buatku nggak. Grunge nggak akan pernah mati. Grunge akan selalu mengalir dalam darahku dan mengiringi detak jantungku. Buktinya aku dan Cobain masih sering meneriakkan kegetiran hidup kami bersama.

Kami, aku dan Cobain tentunya.

Bahkan pagi ini aku adalah Cobain. Sayangnya tanpa pistol di tanganku, cuma cutter. Nggak masalah. Aku cuma akan mengiris pergelangan tanganku. Tanpa pistol nggak mengapa. Yang penting pagi ini aku adalah Cobain.

Aha, teringat sebuah peribahasa. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada pistol cutter pun jadi. Ha ha ha …. Garing!

Kulihat pergelangan tanganku. “Kanan atau kiri …?”

Kanan ataukah kiri juga nggak masalah. Yang penting aku adalah Cobain. Kurt Cobain. Kurt Donald Cobain.

Aku adalah Cobain yang sedang meringkuk di atas tempat tidurku. Dalam peluh, aku masih sempat memohon ampunan Tuhan. “Ampuni aku Tuhan. Bukannya aku bermaksud mendurhakai karunia kehidupan-Mu ini. Bukan, bukan. Bahkan sebenarnya aku terlalu bersyukur. Sepanjang hidupku aku hadir sebagai sosok yang terlalu sempurna. Namun menjadi terlalu sempurna ternyata sangat melelahkan. Melelahkan untuk selalu berpura-pura sempurna. Melelahkan untuk selalu bertahan agar selalu terlihat terlalu sempurna. Yang kemudian menjadi terlalu menakutkan untuk tiba-tiba menjadi nggak sempurna. Engkau Maha Tahu, pasti tahu yang kumaksud. Aku sudah sampai di ujung lelah. Aku sudah nggak mampu bertahan lagi. Terlebih lagi, aku nggak mampu untuk berani menjadi nggak sempurna. Jadi tolong, perbolehkan aku mengakhiri penderitaanku ini. Perbolehkan aku memilih cara dan saat kematianku sendiri. Tolong ….”

Sebentar lagi mungkin aku akan bergabung dengan Cobain di api neraka yang menyala-nyala.

Sebentar, sebentar. Bukankah Tuhan menganugerahi manusia kehendak bebas untuk memilih setapak mana yang akan dilaluinya? Bukankah juga termasuk di dalamnya untuk memilih cara dan saat kematian sendiri? Jadi apa perlunya permohonan ampun tadi? Oh ya ya, maaf Tuhan, aku nggak jadi meminta maaf. Ternyata aku punya alasan melakukannya. Hanya saja, semoga Engkau mau menerimanya sebagai alasan yang masuk akal.

“Tuhan, ngapain juga Kau ciptakan aku terlalu sempurna.” Lalu kupakai jariku untuk menghitung. “Dona yang cantik. Dona yang pintar. Dona yang lembut. Dona yang bintang pelajar, pemenang olimpiade sains, jago basket. Dona yang punya keluarga mapan yang bahagia. Dona yang punya pacar tampan, kaya, tapi nggak sombong. Dona yang selalu menang ….”

Aku memang terlahir untuk menjadi pemenang.

Waktu itu air mataku meleleh walaupun aku tersenyum. Bukan karena terharu. Ayah menepuk bahuku terlalu keras. Walau sebenarnya bukan tepukan Ayah ini yang menyakitiku, tapi seringai di wajah Ayah.

“Nah, anak perempuan Ayah ini memang terhebat! Selalu terhebat! Memang pantas kamu jadi replika Ayah, Don! Tunggu saja sampai teman-teman kantor Ayah tahu kamu menang!”

Masihkan akan kau tepuk bahuku ketika replikamu yang selalu menjadi bahan kesombonganmu ini mengiris pergelangannya sendiri?

Atau ketika Ibu merenggutku dari sisi Adik. Lalu Ibu menaruhku di pangkuannya sambil membenahi seragamku. “Anak Ibu adalah yang terhebat! Kamu harus tampil sempurna saat naik ke panggung buat ambil tropinya, Don! Nah, sudah cantik, kan? Ibu bangga sekali denganmu, Don! Tidak sia-sia Ibu mendidikmu. Kamu sangat cerdas. Kamu sangat cantik. Tidak ada yang menandingi. Kamu sangat mirip dengan Ibu, Don!” Lalu mata Ibu berkaca-kaca. Aku kebingungan, sungguh. Ibu ini bangga akan diriku atau dirinya sendiri?

Bahkan ketika Adik menggigil di pojok kamar mandi sambil berurai tangis. ‘Ampun Yah, ampun! Adik janji akan pintar kayak Kakak. Nggak main layang-layang terus. Mau belajar terus. Udah Yah, udah. Sakit. Jangan pukul lagi ….” Ayah memang tidak lagi memukulnya, tapi mengguyur dengan seember air.

Benar kan, aku satu-satunya yang terhebat!

“Hebat, Don! Selamat!”

“Suit … suit …. Cantik, main sini dong!”

“Tolong deh, Don! Maafin aku. Kita jangan putus, ya. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu ….”

“Makasih ya, Don. Kamu baik banget. Nggak tahu gimana aku bisa bales kamu ….”

Benar kan, aku terlalu sempurna.

“Haahhh …!!”

Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Aku bangun meraih foto keluarga di atas meja belajar. Kami berempat sedang berpelukan di Sea World. Kulempar foto itu ke tembok. Lalu foto Arman yang sedang tersenyum manis. Kulempar juga ke tembok. Kaca-kaca pecah, berhamburan di lantai. Mataku nyalang menatap sederet piala di atas rak buku. Sedikit dari piala yang kudapat. Rak pajangan di ruang tamu sudah terlalu penuh. Kuhempaskan piala-piala itu dari atas rak buku. Kuinjak-injak, lalu kuludahi. Kulempar guling, selimut, bantal, apa pun yang bisa kuraih. Kurasakan kemarahanku sudah sampai di ujung kepalaku saat kulihat test pack yang tergeletak di meja belajar.

Dua strip biru itu. Aku bisa melihatnya dari sini.

Mataku tertuju pada cutter yang terjatuh di ujung kakiku. Juga selembar kertas berisi permintaan maaf untuk Ayah dan Ibu. Kupungut keduanya.

“Aku nggak mau pudar. Nggak akan mau pudar …,” kataku lirih. Jantungku masih berdegup kencang. Nafasku makin memburu. “Aku nggak mau pudar,” kataku lebih tegas lagi.

Perlahan warna merah membasahi kaosku. Memang nggak lagi begitu penting, pistol atau cutter, kanan atau kiri. Sebentar kemudian aku merasa ringan. Suratku terlepas dari tanganku yang berdarah. Aku sempat melihat ada bercak darah mengenainya. Lalu tubuhku jatuh, tapi aku malah merasa seperti melayang.

Mataku mencari Cobain. Saat kutemukan wajahnya, matanya menatapku sinis.

Jangan Kurt, jangan maki aku. Dengan kesadaran penuh aku memilih cara kematianmu. Dengan sadar aku menjiplakmu. Aku setuju denganmu, Kurt. It’s better to burn out than to fade away.

Karena aku adalah kamu.
**


Sore harinya

“Saya turut berduka cita ya Pak, Bu. Sayang sekali, padahal Dik Dona itu cantik, ramah, sopan, pintar ….”

“Terima kasih. Kami hanya pasrah, sudah kehendak Tuhan. Sejak lahir Dona memang sudah menderita kelainan jantung ….”

Pelayat itu pun melangkah pergi.

Lalu Ibu menangis. Keras sekali.

“Ikhlas, Bu ….” Ayah memeluk Ibu.

Aku menyeringai. Bahkan setelah berupa mayat yang teriris pergelangan tangannya pun, aku masih menjadi Dona yang terlalu sempurna.

Mataku menjelajah mencari Adik. Di mana gerangan dia. Ah, itu dia. Menunduk menyembunyikan mata sembabnya. Diam. Sendirian. Dia memang selalu menyendiri. Kuhampiri dia. Kuraih kepalanya. Kupeluk erat sekali.
**

* Kurt Cobain, vokalis grup band Nirvana asal Seattle yang mengusung aliran musik grunge, meninggal pada 5 April 1994. Dia dinyatakan bunuh diri dengan menembak kepalanya. Belakangan muncul dugaan dia sengaja dibunuh. Kurt Cobain diketemukan meninggal dengan kadar heroin yang sangat tinggi. Dalam keadaan seperti ini dinilai mustahil jika dia mampu mengangkat pistol untuk menembak kepalanya sendiri.

Bukan Sekedar Cinta, Bukan Cinta Sekedarnya

Untukmu Cinta

Jangan pernah berharap aku akan berhenti menulis untukmu, mencoba melupakanmu, atau berubah membencimu.

Aku akan terus-menerus menunggumu. Berdiri di sini. Tempat terakhir engkau menyentuh pipiku. Tempat terakhir aku menatap punggungmu.

Aku akan berlama-lama di sini. Kalaupun nanti sampai dagingku menyerpih engkau belum juga kembali, aku tidak akan peduli. Aku akan tetap menunggu. Menunggumu dengan sisa jejakku yang sudah terpatri di sini. Tepat di sini. Tempat terakhir engkau menyentuh pipiku, aku menatap punggungmu.

Aku akan terus-menerus mencarimu. Aku tidak akan peduli lagi bilamana aku mendapatimu. Akankah aku mendapatimu.

Aku adalah angin yang bertiup ke segala penjuru. Ke balik dedaunan. Ke pucuk gunung-gunung. Menyusup ke rerumputan. Bila nanti tiba lelahku, diamku, engkau belum juga kutemui, aku sama sekali tidak peduli. Aku akan tetap mencarimu dalam dunia bayang-bayang itu.

Walaupun nafasku tak lagi berhembus, asaku masih tetap utuh. Maka jangan berharap aku akan berhenti menulis untukmu, mencoba melupakanmu, atau berubah membencimu.

Maaf saja, aku tidak akan menyerah.

Dariku Cinta.

Wednesday, November 19, 2008

Dia, Salju

Seumur hidupku belum pernah sekali pun aku melihat salju. Apa lagi menyentuhnya. Persinggunganku dengan salju hanya sebatas pada gambar-gambar kalender, atau pun penampakan salju di layar kaca saja.

Aku memang belum pernah menjejakkan kakiku di negeri dengan empat musim mana pun di dunia. Sekedar mendatangi mall yang mendatangkan atraksi dunia salju pun aku tidak berkesempatan. Apalagi mendaki Jayawijaya sekedar untuk berjumpa dengan salju.

Bukan berarti aku tidak tahu menahu perihal salju.

Konon sebelum turun ke bumi sebagai kepingan yang empuk, lembut, dan putih, salju adalah uap air yang membeku di ketinggian udara pada temperatur di bawah titik beku. Kepingan salju berbentuk kristal-kristal heksagonal simetris yang unik setiap kepingnya.

Memang tidak ada keping salju yang sama. Setiap keping salju berbeda ukuran, bentuk, maupun strukturnya. Terkadang keping-keping salju itu saling melekat satu sama lain saat turun sebagai hujan salju. Hujan salju menebarkan hawa dingin menusuk yang memaksa manusia mencari kehangatan di bawah selimut, mantel, maupun di depan pendiangannya. Karena jika tidak, salju bahkan bisa sangat mematikan. Membunuh dengan dinginnya yang tajam.

Lebih dari itu, aku tahu benar tentang salju. Dia dua puluh lima tahun yang lalu, dialah salju itu.

Dia salju yang putih itu.

Dia seperti bidadari yang dengan elegan meniti pelangi untuk turun ke bumi saat memasuki ruang meeting. Tiada kedip aku menatap kecantikannya. Dari ujung kaki, hingga kepalanya. Dari kepala turun lagi hingga ke kaki jenjangnya. Seketika itu akulah Joko Tarub yang terkesima pada pesona Nawang Wulan, Romeo pada Julliet, Rama pada Shinta. Seakan jarum jam berhenti berputar saat mulutku menganga, takjub oleh kesempurnaan yang dimilikinya. Tuhan pasti sedang dalam mood yang sangat bagus saat memahatnya.

Bagaimana tidak. Parasnya begitu ayu. Proporsi wajahnya sempurna. Dari mata, alis, hidung, sampai bibirnya menyatu membentuk sinergi yang sangat apik. Bola mata beningnya mengerjap cerdas. Tubuhnya semampai dengan rambut digelungnya anggun menampakkan citra dirinya yang tinggi. Pakaian yang dipakainya membalut tubuhnya dengan sangat pas. Setelan hitamnya itu kontras dengan kulit putihnya. Membuat putihnya tampak semakin putih. Berkilau membuat mataku silau.

Dia salju yang lembut itu.

Senyumnya menyapu kami yang diam membatu waktu itu. Sangat lembut. Kelembutan yang dimilikinya mengalahkan es krim yang paling lembut, yang seketika lumer[1] di mulut sekali pun. Kami yang membeku seketika sekaligus leleh olehnya. Tuturnya bak alunan nada-nada piano yang memainkan komposisi maha jenius sang maestro, Bethoveen. Lembut sekaligus memukau kami dengan alur pemikirannya yang runtut dan bernas.

Dia salju yang dingin itu.

Kehadirannya siang itu seperti sebotol air es yang melegakan kerongkonganku yang selama ini kerontang. Memberiku rasa plong yang tidak terkira, yang belum pernah kualami sebelumnya. Seumpama air hujan pertama yang membasahi tanah kering yang bengkah[2] oleh kemarau yang terlalu panjang. Laksana air oase di padang pasir yang direguk para pengelana yang telah kelelahan berjalan bermil-mil jauhnya.

Kali pertama menjumpainya itu, batinku mendesah. Aku resah. Perempuan yang telah jauh melampaui jamannya ini terlalu hebat. Membuatku selalu waspada. Karena dia begitu putih, lembut, dan dingin. Seperti salju.

Begitu pulalah dia dua puluh lima tahun kini. Putih, lembut, dan dingin.

Putihnya masih seputih salju.

Sinarnya bahkan semakin terang. Cahaya budinya kini yang memancar pada putih wajahnya. Membuat kecantikannya semakin cantik. Tak peduli berapa banyak kerut yang bermunculan di wajahnya ataupun uban yang bertebaran di rambutnya. Dia bertambah cantik dari hari ke hari.
Lembutnya masih selembut salju.

Senyum dan tatapnya selalu mampu membuat lumer sebongkah gunung batu di hatiku. Yang selalu saja kubangun setelahnya, dan yang selalu saja berhasil digerusnya habis kembali kemudian. Kekuatan yang tersimpan di dalam kelembutannya melebihi banjir bandang maupun angin topan yang mampu meluluhlantakkan semua yang diterjangnya. Kesombonganku ini sajalah yang terlanjur terlalu keras kepala, selalu menantang kelembutannya yang terbukti selalu menang.

Setiap kelembutannya itu selalu mempecundangiku.

Tubuh lembutnya selalu menghangatkan tubuhku. Mencairkan kristal-kristal es yang kadung[3] membeku dalam darahku. Gelinjang lembutnya itu tak bosan memuaskan birahiku. Satu-satunya yang bisa selalu membuatku rindu. Sepanjang hidupku tidak ada yang mampu begitu. Hanya satu, dia saja. Tidak juga lusinan perempuan yang pernah singgah dalam dekapanku yang panasnya bahkan membakarku.

Begitu pula bibir lembut yang selalu saja menyediakan maaf yang tak terbatas untukku. Untuk sekian banyak permintaan maaf yang tak terucap. Atas berjuta kesalahan yang telah kuperbuat baginya. Berjuta hal remeh temeh[4] yang sengaja kubesar-besarkan. Dari sindirian untuk kopi yang terlalu manis, sampai makian karena pulang lewat tengah malam. Padahal aku tahu, dia menikahiku bukan untuk membuatkan kopi. Sebagaimana aku juga tahu, kalau setiap kepergiannya itu menunjukkan besarnya dedikasi yang dimilikinya atas apa yang dikerjakannya.

Sayangnya pikiranku terlalu kerdil untuk bisa mengerti dirinya.

Itu belum seberapa. Bahkan untuk HIV yang sudah kutularkan pun dia tetap memberi maafnya. Nyatanya bibirnya tidak pernah bertanya dari mana virus laknat ini kudapat. Juga tidak pernah mengeluh. Memaki apa lagi.

Lembut pula saat dia berbisik di telingaku seminggu yang lalu, sesaat sebelum dia jatuh koma oleh deraan penyakit pada tubuhnya yang telah terlalu ringkih.

Terima kasih, aku sudah boleh menghabiskan separuh hidupku bersamamu.

Sedangkan aku baru saja akan memulainya. Hidup bersamanya.

Sudah cukup. Kebahagiaan ini sudah cukup. Sekali lagi terima kasih.

Sedangkan aku belum pernah sekali pun membuatnya tertawa untuk sekedar mengucapkan terima kasih.

Sekarang aku sudah siap pulang.

Sedangkan baru akan kubangunkan rumah untuknya. Baru saja jadi desainnya.

Cium bibirku.

Aku mengutuki penyesalan yang selalu saja datang terlambat.

Air mataku jatuh mengotori wajah putihnya yang bersih. Buru-buru kusapu dengan ujung jariku. Aku tidak rela wajah putihnya ternoda. Kulekatkan bibirku pada bibirnya yang kering. Beberapa detik bibir kami bertemu. Seketika hawa dinginnya yang takterkira menjalari sekujur tubuhku. Larut dalam darahku, berasa dalam menembus sumsum tulangku. Dingin yang begitu dingin. Dingin yang sangat yang belum juga hilang sampai sekarang.

Ya, dinginnya masih sedingin salju.

Tubuh kakunya sudah dingin.

“Mas …!” Saat kutoleh ternyata Lisa, adikku, yang menyentuh pundakku. “Petinya ditutup sekarang ya, Mas. Kita berangkat ke pemakaman ....”

Putih. Lembut. Dingin. Sehingga aku tahu benar tentang salju.

Kulekatkan bibirku pada telinganya seolah dia masih bisa mendengar. “Terima kasih ….” Karena kutahu maaf tiada lagi berguna.

Egoku menyerpih, dihembus angin tak bersisa.
***
[1] mencair
[2] pecah
[3] terlanjur
[4] sepele

Monday, November 10, 2008

Rapor

Diam-diam aku memerhatikannya sedari tadi. Dari tempatku duduk sebagai notulen, gerak-geriknya terbaca jelas. Sangat jelas. Bahkan orang bodoh pun tahu, dia sangat gelisah.

Dia baru tiba saat pembawa acara baru saja selesai membacakan agenda pertemuan hari ini. Rambut panjangnya yang tergerai berayun-ayun mengikuti langkahnya yang tergesa. Sesaat dia berhenti di ambang aula. Matanya berkeliling mencari-cari tempat duduk yang kosong. Hanya kursi di barisan depan yang masih tersisa. Dengan enggan, tapi berusaha tetap terlihat elegan, dia pun mengambil tempat duduk di kursi pojok barisan depan. Jauh dari orang tua murid yang lain.

Sedari tadi dia tidak tenang. Seperti ada bara di bawah pantatnya yang menggunung itu. Pantat yang terlalu kencang untuk perempuan yang sudah tiga kali melahirkan. Memang sering kali kulihat mobilnya terparkir di depan fitness center di samping sekolah. Tapi aku curiga, pantat itu bukan hanya didapatnya melulu melalui latihan-latihan di fitness center itu. Entah apa yang sudah dijejalkannya di dalam sana, sehingga si pantat bisa berbentuk sedemikian rupa.

Digeser-gesernya duduknya. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, ke depan, ke belakang. Aku sempat khawatir kalau-kalau celananya yang berbahan halus dan mahal itu akan sobek karena bergesekan dengan kursi yang didudukinya. Bolak-balik diangkatnya tangannya untuk menengok jam berlapis emas putih di pergelangan tangannya itu. Padahal sudah ada jam tergantung di dinding aula. Seakan dia ingin memastikan kalau jarum jam dinding itu sudah berputar sebagaimana seharusnya.

Sesekali dihelanya nafasnya. Beban ribuan ton rupanya menimpa dadanya yang penuh (terlalu penuh juga untuk ukuran perempuan yang sudah tiga kali melahirkan?). Sebentar kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya. Sebentar kemudian diturunkannya. Ganti kaki kirinya yang disilangkan ke kaki kanannya. Begitu seterusnya. Kini kedua kaki langsingnya sedang mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama. Untung saja bunyi ketukan sandalnya tertelan gemuruh suara orang-orang berbisik di aula ini.

Sementara itu kepalanya terus berkeliling. Kalau tidak menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dari dalam tas kulit merk luar negerinya. Sekilas dapat kulihat setitik keringat meluncur di dahinya yang putih mulus. Tentu saja keringat itu tak akan melunturkan riasannya. Maklum harga seperangkat make up yang dikenakannya setara dengan sebulan gajiku sebagai guru di sini.

Aku terpaksa mengangguk (sok) ramah padanya ketika tatapan kami bertemu. Sekedar untuk menyembunyikan seringai yang terlanjur muncul di ujung bibirku. Dia membalasku dengan anggukan dan senyuman teramat tipis sembari dengan angkuh mengangkat dagunya. Kini benar-benar kunampakkan seringaianku, tanpa usaha untuk menutupinya lagi.

Sesaat kemudian aku berpaling, kembali berlagak serius mendengarkan paparan kepala sekolah mengenai pencapaian-pencapaian sekolah kami di tahun ajaran ini. Paparan yang terlalu panjang dan terlalu lebar. Membosankan. Kenapa tidak langsung ke menu utama saja, pengambilan rapor. Aku sudah tak sabar.

****

Tinggal kami bertiga di ruang kelas ini. Aku yang sedang melayani Bu Mira, dan dia yang duduk dengan gelisah di deretan kursi tunggu yang kosong. Perilaku gelisahnya sama persis dengan sewaktu dia ada di aula tadi: pantat digeser-geserkannya, kaki ditopangkan bergantian kalau tidak diketuk-ketukan di lantai, pandangan berkeliling atau menunduk berlagak mencari-cari sesuatu dalam tas, maupun jam tangan yang berkali-kali ditengoknya. Dagunya mendongak setiap kali mata kami bersitatap. Dasar angkuh!

Aku tahu dia sedang memakiku habis-habisan dalam hatinya. Biar saja, memang kusengaja. Setelah pertemuan di aula selesai, para orang tua dipersilakan masuk ke ruang kelas anak mereka masing-masing untuk menerima pembagian rapor. Dan kira-kira sejak dua jam yang lalu dia sudah duduk di sini menunggu giliran kupanggil menghadapku untuk mendapatkan rapor anaknya.

Dari lima belas muridku, anaknya memang nomor absent terakhir. Jadi bukan salahku jika sampai saat ini dia belum juga kupanggil. Aku baru sampai nomor absent empat belas. Rachel, anak Bu Mira. Hanya saja, aku memang sengaja berlama-lama berbincang dengan setiap orang tua murid. Kujelaskan sampai sedetail-detailnya perkembangan anak mereka selama satu tahun ajaran ini. Hal yang tidak perlu kulakukan sebenarnya. Perkembangan setiap anak didik sudah tercantum dalam rapor khusus kami yang berupa laporan narasi deskriptif. Belum lagi jika kebetulan sang orang tua murid memang suka ngobrol, pembicaraan bisa melebar sampai ke mana-mana. Seperti yang sedang kulakukan dengan Bu Mira ini.

“Ibu ini bisa aja!” Bu Mira tertawa panjang. Muka putihnya bersemu merah. Bu Mira bercerita kalau Rachel baru saja menjadi juara satu lomba wajah fotogenik. Aku bilang pantas saja, karena dia mewarisi kecantikan ibunya. Gombal sekali memang, tapi yang seperti ini orang tua murid suka.

Dimasukkannya rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman ke dalam tas, lalu dikeluarkannya sebuah bungkusan dari dalam tasnya.

“Rachel sendiri yang memilih, Bu. Semoga suka!” Tangannya mengangsurkan sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado bergambar kartun Naruto.

“Aduh, malah merepotkan!” Kataku berbasa-basi, “terima kasih banyak lho, Bu!”

“Ah, biasa aja! Terima kasih banyak Bu, sudah membimbing Rachel. Maaf, sudah banyak merepotkan!”

“Tidak apa-apa, Bu, sudah menjadi tugas saya!” Jawaban ini sudah secara mekanis keluar dari mulutku setiap semesternya.

“Mari Bu, saya permisi!” Bu Mira beranjak keluar ruang kelas.

“Terima kasih, Bu. Salam buat Rachel!”

Kutumpukkan bingkisan dari Bu Mira di atas bingkisan-bingkisan orang tua murid sebelumnya. Selain bingkisan-bingkisan itu ada beberapa amplop di dalam laci mejaku. Hatiku bertanya-tanya, apa gerangan yang dibawa oleh perempuan yang kini sedang melangkah menghampiriku ini. Setelah parcel segede gunungnya yang kukembalikan seminggu yang lalu!

Hari gini menyogok guru agar mau mengatrol nilai! Rupanya dia sudah merasa rapor anaknya bakalan jelek. Ardian, anaknya, memang berkebutuhan khusus. Gangguan konsentrasinya membuatnya sulit mengikuti pelajaran. Nilai-nilainya selalu di bawah teman-temannya. Tidak hanya itu, agaknya dia juga mulai sadar kalau kelakuannya padaku selama ini bisa saja membuatku mengurangi nilai-nilai anaknya.

Sebenarnya kesempatan ini sudah kutunggu-tunggu. Pembalasan dendamku untuk perempuan berpantat terlalu kencang dan berdada terlalu penuh yang angkuh ini. Di sinilah ajang pembuktianku bahwa aku bukan orang sembarangan. Bahwa aku punya kekuasaan. Kalau sebenarnya dia tidak bisa macam-macam denganku. Sebagian masa depan anaknya aku yang menentukan.

“Mari, Bu, silakan duduk!”

Tanpa sepatah kata dia hanya tersenyum tipis, duduk di hadapanku. Senyum bernada segan. Bukan senyum sinis seperti yang beberapa kali dilemparkannya padaku, saat dia mencercaku. Untuk penilaian-penilaiannya padaku: guru konvensional, guru pilih kasih, guru yang kurang perhatian, dan lain-lain.

Aku berlagak sibuk menyiapkan rapor, laporan perkembangan, dan beberapa lembar pengumuman yang akan kuberikan kepadanya. Sedangkan sudut mataku mencuri-curi pandang wajah cemasnya. Wajahnya yang pucat. Seperti aku ini hantu baginya. Dalam hatiku tertawa. Mati kau, kutukku.

Kutumpukkan berkas-berkas yang akan kuberikan padanya di sudut meja. “Selamat pagi, Bu!” Kataku sambil menjabat tangannya yang dingin. Tangan yang pernah melemparkan kertas ulangan anaknya ke mukaku, sembari berkata kalau percuma saja bayar mahal-mahal kalau lagi-lagi dapat nilai lima puluh. Tanganku menjadi ikut basah oleh keringat di telapak tangannya.

“Pagi …, pagi Bu,” jawabnya tanpa bisa mengatasi kegugupannya.

Lagi-lagi dalam hatiku tertawa. Teringat aku bagaimana dia meneleponku malam-malam, tanpa ucapan selamat malam, hanya untuk menanyakan keberadaan pensil atau penghapus anaknya yang hilang. Setengah mati aku berusaha menyembunyikan tawaku. “O ya, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Kemarin terpaksa saya mengembalikan bingkisan Ibu. Bukannya apa-apa, Bu. Peraturan sekolah melarang guru menerima bingkisan dari orang tua murid sebelum rapor dibagikan. Saya tidak berani melanggarnya, Bu. Semoga Ibu maklum.” Padahal mana ada sekolah mengatur perihal itu. Macam pejabat saja, dilarang menerima gratifikasi.

“Tidak apa-apa, Bu. Saya yang minta maaf. Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu di sini. Di sekolah Ardian yang dulu diperbolehkan. Saya hanya bermaksud mengucapkan terima kasih saja.” Dia menelan ludah sebentar. “O ya, bagaimana Ardian, Bu Lily?” Wajahnya terlihat sangat memelas. Layaknya pengemis yang sudah tiga hari tidak makan memohon sedekah saja. Ke mana gerangan dongakan dagunya yang angkuh itu? Ho ho, betapa aku rindu!

Kuambil tumpukan berkas di sudut meja. Sengaja tidak segera kuserahkan kepadanya. “Mohon maaf, Bu. Sejak kepindahan Ardi awal semester dua ini, saya sudah berusaha sebaik mungkin membimbing Ardi ….” Kalimatku menggantung. Berkas-berkasnya masih di tanganku.

Wajahnya seperti orang yang sudah mati saja. Seperti tidak ada lagi darah yang mengalir di pembuluh darahnya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. “Ja … jadi … bagaimana, Bu? Bisa tidak naik ke kelas tiga?” Pertanyaannya lebih terdengar sebagai ratapan.

Tapi aku tidak juga jatuh iba. Seperti ketika dia memohonku untuk melupakan apa yang pernah dilakukannya padaku. Mengiba-iba meminta maaf. Semata-mata karena dia takut sakit hatiku akan mempengaruhi nilai rapor anaknya. Ataupun ketika seminggu yang lalu dia memohonku “kebijaksanaanku” untuk menaikkan anaknya. Dia tidak tahu di mana dia akan menaruh mukanya jika anaknya lagi-lagi tidak naik kelas.

Berkas-berkasnya masih kutahan. Biar kunikmati dulu penderitaannya ini. Nikmat, sungguh nikmat! “Seperti yang Ibu ketahui sebelumnya, sekolah kita memang berbeda dengan sekolah yang lain, Bu. Berbeda dari sekolah Ardi sebelumnya. Dari segi metode maupun substansi pembelajarannya. Tapi tetap saja kita mengacu pada peraturan dinas pendidikan, karena kita pakai kurikulum nasional, Bu. Mungkin Ibu juga sudah tahu. Sebagai syarat kenaikan kelas, rata-rata nilai rapor siswa semester satu dan dua tidak boleh lebih dari,” sengaja kuberi penekanan, “empat mata pelajaran yang di bawah KKM[1] …” Akhir kalimatku kembali menggantung.

Manusia di hadapanku ini semakin terlihat mengenaskan. Butir-butir keringat meluncur di dahinya. Sebagian sudah sampai di pipinya. Ada kemungkinan dia sudah akan pingsan dulu sebelum aku menyelesaikan penjelasanku ini. Bahagianya, siang ini aku merasa menjadi Tuhan.

Kubuka rapor Ardi. Kuhadapkan ke arahnya. “Semester ini Bu, nilai Ardi kurang memuaskan. Seperti yang Ibu lihat di sini.” Kutunjuk dengan jariku. “Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ada di bawah KKM. Jadi ada lima mata pelajaran yang ada di bawah KKM ….”

Tangannya sampai gemetar menerima buku rapor ini. “Tidak naik, Bu? Benar-benar tidak bisa ditolong?” Kalau teringat bagaimana dia mengangkat dagunya, ekspresinya kali ini tampak begitu menggelikan.

Kubuka halaman sebelumnya, rapor semester satu. “Semester satu juga ada lima mata pelajaran yang di bawah KKM. PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….” Sengaja aku berhenti untuk memandang wajahnya. Aih, aih. Seperti habis kecopetan uang semilyar!

Dia membolak-balik halaman rapor anaknya. “Lima mata pelajaran, ya?” Suaranya tersendat di kerongkongan.

Aku tersenyum. Lebar. Kini tidak kututup-tutupi. “Lima, Bu ….”

Matanya nanar menatap angka-angka itu.

Senyumku semakin lebar. “Ibu, tapi setelah dirata-rata, ternyata hanya empat mata pelajaran saja yang di bawah KKM. Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan SBK ….”

Dia melongo, tak menyangka. “Ja … jadi … Bu?”

Kini aku ingin tertawa. “Masih naik, Bu. Walau mepet ….”

Seketika wajahnya menjadi bercahaya. Berbinar-binar, seperti seribu kunang-kunang beterbangan mengitarinya. “Syukurlah!” Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Syukurlah!” Dia mendekap rapor anaknya dalam dadanya yang terlalu penuh itu. “Syukurlah!”

Aku manusia biasa, aku menyimpan dendam. Aku pun pantas membencinya, karena aku punya harga diri. Tapi aku juga masih punya nurani. Tidak mungkin aku mengubah angka-angka itu. Walaupun hal itu sebenarnya sangat mudah bagiku. Tidak akan ada seorang pun yang bertanya mengapa anak itu tinggal kelas. Dunia akan memakluminya.

Sudahlah. Aku sudah sangat puas melihat perempuan berpantat dan berdada terlalu bulat yang angkuh itu hampir mati ketakutan. Itu saja cukup. Dendamku sudah terbalaskan.

****

[1] Kriteria Ketuntasan Minimal

Senja Kali Ini

Sedari tadi Laras berdiri mematung di tepi pantai ini. Memencil, jauh dari kerumunan pengunjung pantai yang memang lagi tak begitu banyak. Rambutnya yang terurai masai oleh angin yang bertiup. Berkali-kali harus disibakkannya helaian rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya. Kaki telanjangnya dijilati riak ombak yang mendekat. Dibiarkannya ombak menggerus sedikit demi sedikit pasir tempatnya menapak. Melimbungkan tubuhnya beberapa saat, kehilangan pijakan. Membuat kakinya kemudian tertanam pasir semakin dalam.

Senja kali ini tidak ada bagus-bagusnya. Di langit hanya kelam, tertutup mendung. Tapi mata Laras tetap lekat ke barat. Menunggu gumpal-gumpal hitam itu terkuak. Siapa tahu, masih bisa dinikmatinya warna-warni cantik itu sebelum malam benar-benar turun nanti.

Siapa tahu, dia akan datang.
****

“Buka mata kamu sekarang.”

Sebuah cincin berlian di hadapannya kini. Laras tidak terkejut. Uang pengusaha muda ini lebih dari cukup untuk membeli cincin seindah ini. Adegan seperti ini pun sudah terlalu jamak ditemui di film-film. Si pria dengan penuh kerahasiaan menyuruh si wanita menutup mata. Begitu si wanita membuka matanya, sekonyong-konyong muncul sebuah cincin yang membuatnya terkejut hampir mati. Walaupun sebenarnya ini sudah diduga sekaligus diharapkannya sebelumnya.

“Mau kau, menikah dengan aku?” Tanya Dinar di antara desau angin.

Laras juga tidak terkejut. Alur yang sudah terlalu lazim, mudah tertebak. Tiga tahun mereka pacaran di umur mereka yang sudah kepala tiga, apalagi selanjutnya kalau bukan pernikahan?

Laras tersenyum. Memang semua sudah diduganya. Jauh-jauh hari dia sudah pasti kalau momen ini akan terjadi. Jawaban pun sudah matang disiapkannya. Kini sudah ada di ujung lidahnya. Hanya saja Laras masih ingin berteka teki dengan pria tampan di sampingnya ini.

“Aku ingin kau melahirkan anak-anakku. Sepasang, laki-laki dan perempuan.” Dinar tersenyum menatap Laras yang duduk di sampingnya dalam-dalam. “Kakaknya laki-laki, adiknya perempuan, tapi kalau kamu maunya kakaknya perempuan, adiknya yang laki-laki juga tidak apa-apa. Kalau pun Tuhan memberi laki-laki semua, ataupun perempuan semua, juga tidak masalah. Yang penting aku mau kamu yang melahirkan anak-anakku nanti. Yang penting dua saja. Bumi Indonesia akan semakin sesak kalau kita kebanyakan anak. Mau kan, Laras?”

Lagi-lagi Laras hanya menjawab Dinar dengan senyuman.

“Aku janji akan membahagiakan kamu, Laras. Kita akan sering-sering seperti ini. Duduk berdua di sini, menikmati senja bersama angin laut dan ombak, kesukaanmu ini. Hanya saja bedanya ada anak-anak kita yang sedang kejar-kejaran, atau bermain pasir, atau duduk-duduk saja di sini bersama kita.”

Laras masih saja tersenyum. Bukan sekali ini saja Dinar mengutarakan keinginannya untuk memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan. Bahkan tempo hari saat di toko buku, Dinar membeli buku nama-nama bayi.

“Laras …? Halo …? Omong-omong aku sudah capek megang wadah cincin ini terus. Terimalah ….”

Laras menghela nafas. Balas ditatapnya wajah Dinar yang menanti jawabannya penuh harap itu. Sepasang matanya yang berbinar-binar. Alis tebal yang hampir bertautan. Senyumnya yang mengembang. Kumisnya yang telat dicukur. Jerawat di pipi kirinya. Pria inilah yang diharapkannya akan menggenggam tangannya sampai dia meregang nyawanya kelak.

“Ayolah, mau tak perlu malu. Bilang saja ya ….” Wajah Dinar berubah jenaka. “Ya …!”

Bibir Laras masih rapat. Cincin dengan wadahnya yang terbuka masih dipegang Dinar. Dengan gerakan sangat pelahan, Laras menutup wadah cincin di hadapannya itu. Digenggamkannya wadah cincin itu dalam tangan Dinar. Lalu disorongkannya ke depan dada laki-laki itu. Dramatis sekali, mengikuti adegan film yang pernah ditontonnya dulu.

“Maksudnya, Laras?” Wajah jenaka Dinar seketika berubah bingung. Penolakan Laras ini jauh sekali dari sangkaannya mengingat hubungan mereka selama ini. “Kita sudah sejauh ini …? Kukira …?” Tanya Dinar tak mengerti. “Kau tidak sedang becanda, kan?” Dinar masih saja tidak percaya.

Laras kembali tersenyum. Menyentuh pipi Dinar dengan tangannya yang dingin. Lalu mengecup keningnya. Sebagai tanda kalau memang dia bersungguh-sungguh..

“Sia-sia tiga tahun kita, Laras?! Katamu …?!” Dinar menuntut. “Kenapa?!” Teriaknya. “Kenapa?!” Gelegar suara Dinar bahkan mengalahkan gemuruh ombak.

Senyuman belum juga lepas dari bibir Laras.

Muka Dinar merah memendam amarah. “Jadi selama ini semua cuma bohong, Laras?! Omong kosong?!” Suaranya bergetar oleh emosi yang dalam. “Tega …!” Umpatannya hampir tak terdengar. “Pembohong ….” Jemari Dinar mengepal kencang. Meninju keras-keras pasir pantai, melepaskan marah. Matanya yang memerah nanar memandang lautan di depannya.

Laras memeluk tubuh pria itu. Mengecup pundaknya lembut. “Tenang,” bisiknya sambil mengelus-elus pungungnya dari atas ke bawah. “Tenang.”

“Kenapa?! Kenapa Larasati?! Kenapa?! Jawab!” Desak Dinar.

Laras balas tersenyum simpul. “Kenapa apanya?”

“Jangan becanda! Memangnya kita ini sedang bicara apa!” Dinar berang merasa dipermainkan.

Masih dengan mengelus punggung Dinar, Laras meletakkan dagunya di pundak Dinar. “Apa aku bilang ‘tidak’ tadi?”

“Maksudmu?!” Dinar tidak mengerti.

“Aku tidak bilang ‘tidak’,” kata Laras masih dengan senyum di bibirnya.

“Maksudmu?!” Dinar semakin tidak mengerti.

“Aku mau saja menikah denganmu,” kata Laras datar. “Mau sekali, malah.”

Dinar terpana sesaat. “Lalu, kenapa cincin ini …?” Tanya Dinar sambil menunjukkan wadah cincin dalam genggamannya.

“Aku tidak bilang ‘aku tidak mau’ ….”

“Ayolah! Langsung saja! Jangan bikin aku penasaran, Laras!” Teriak Dinar tidak sabar. “Bilang, sekarang!” Tegasnya.

Laras lagi-lagi tersenyum. Kini sudah waktunya bercerita. “Dengarkan dulu aku, ya?” Pintanya.

Dinar tidak menyahut. Wajahnya membesi menatap pasir pantai yang terserak terbawa angin di atas tikar di depannya.

“Aku sayang kamu, butuh kamu, kamu ta ….”

“Omong kosong!” Potong Dinar. Dia mendengus keras. “Lalu kenapa kau tolak pinanganku?!”

“Dengarkan dulu. Tolong.” Laras menatap mata Dinar. Dinar membuang matanya pada langit senja yang memerah. Keindahan senja ini tak semenarik biasanya.

“Hanya saja,” lanjut Laras, “aku tidak tahu apakah aku adalah perempuan yang kau butuhkan.”

“Sudah kusorongkan cincin ini di depan matamu. Belum juga kau tahu?!” Hardik Dinar. “Bodoh.”

“Tolong, dengar aku dulu. Jangan dipotong dulu.” Kembali pinta Laras. “Bersiaplah mendengar ini.” Diraihnya dagu Dinar.

“Iya, apa?! Bosan aku dengan teka tekimu!” Teriak Dinar sembari melengos.

”Dinar …. dengar. Dengar aku.” Laras memberi jeda sebentar. “Aku tidak punya rahim.” Pelan-pelan, seperti tanpa beban Laras mengatakannya. Bahkan dengan senyum yang masih saja melekat di bibirnya.

Memang seringan itulah kini perasaan Laras setiap kali mengingat kenyataannya ini. Perutnya yang kosong, tanpa rahim di dalamnya. Kemarahannya tiga belas tahun yang lalu kini tak bersisa sedikit pun. Logikanya sudah mampu berpikir bahwa ini adalah takdir yang tak mungkin diubah. Kemarahan adalah kesia-siaan yang bodoh. Sehingga memang tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerimanya sebagai bagian dari tubuhnya. Dirinya.

Dinarlah yang terhenyak. Tak percaya ia memandang Laras yang lurus menatapnya. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Lidahnya kelu. Ingin rasanya ia menelan kembali umpatan-umpatannya tadi.

Laras mengangguk meyakinkan. “Sampai usia dua puluh aku belum mendapat menstruasi. Aku cek ke dokter. Ternyata Tuhan lupa menaruh rahim di dalam perutku. Aku perempuan, tapi tidak berahim.”

Dinar menelan ludahnya. “Bagaimana mungkin?”

“Bawaan. Kelainan sejak lahir.” Laras menarik nafasnya dalam-dalam. “Itulah kenapa aku belum bisa terima cincinmu. Kan, kamu harus pastikan dulu, masih mau memberikan cincin itu padaku atau tidak …?” Kembali Laras tersenyum.

Angin berhembus kencang. Menerpakan dingin pada wajah keduanya. Menyerakkan helai-helai rambut mereka. Menyapu galau dalam hati mereka masing-masing. Laras menatap Dinar yang terdiam menatap ujung kakinya. Cincinnya tergeletak di sebelahnya. Iba merambati benak Laras. Di saat laki-laki ini menggantungkan harapannya, dihempaskannya harapan itu hingga menyerpih. Dia seperti si penjahat, tokoh antagonis dalam cerita ini. Tapi apa dayanya? Peran ini diberikannya begitu saja oleh Sang Sutradara.

“Tidak mungkin punya anak …?” Tanya Dinar lemah masih dengan memandangi ujung kakinya. Suara lirihnya ditelan ombak dan angin yang menderu.

“Tidak mungkin. Bahkan bayi tabung pun tidak.”

Dinar mendesah. Bahkan bayi tabung pun tidak …? Sedangkan dia sudah menyiapkan nama untuk sepasang anaknya nanti. Dia sudah menemukan nama yang bagus dari buku yang dibelinya bersama Laras tempo hari.

“Pikirkan dulu masak-masak. Bisa saja adopsi, tapi tetap saja itu bukan darah dagingmu.” Laras menyandarkan kepalanya di bahu kekar Dinar. “Belum lagi Mamimu. Saat ini pun Mami pasti sudah ingin menimang cucunya dari kamu. Kamu anak laki-laki kesayangannya ….”

Dinar tahu itu, oleh karenanya kembali Dinar mendesah. Kini matanya lurus menatap lautan lepas. Menekuri ombak yang bergulung-gulung yang berlomba menuju pantai. Rasanya ombak-ombak itu seperti pecah di dalam dadanya.

“Kalau pun kamu keberatan dengan keadaanku, tidak mengapa. Aku maklum. Kamu juga bukan yang pertama. Dulu sudah pernah. Sekali. Tidak perlu khawatir. Setidaknya aku sudah cukup berpengalaman.” Lalu Laras tertawa sumbang. Masih jelas dalam ingatannya. Lima tahun yang lalu laki-laki itu melenggang begitu saja setelah tahu keadaannya ini.

Laras bangun dari bahu Dinar, menyentuh pipi Dinar. “Maaf ya, seharusnya aku bilang ini sejak dulu. Sebelum hubungan kita sejauh ini. Jadi, sakitnya pun tidak akan terlalu sakit.” Laras mengecup pipinya. “Maaf ya, aku terlalu egois. Aku takut kau akan segera pergi ….”

Dinar masih diam terpekur.

“Sejujurnya, awalnya sempat terpikir untuk menyembunyikan ini dari kamu. Tapi lalu kupikir-pikir percuma saja. Bangkai toh, pada akhirnya akan tercium juga.”

Kini Dinar memandangi dalam-dalam wajah ayu di sampingnya ini. Entah, dia harus bagaimana. “Laras ….”

Laras menyuruh Dinar diam dengan telunjuknya. “Jangan jawab sekarang. Kalau memang kamu masih ingin menikahiku, kutunggu di sini. Tujuh senja dari sekarang.” Diturunkannya jarinya. “Kalau pun tidak, tak mengapa. Kita belum berjodoh. Tiga tahun bersamamu sudah cukup kini. Terima kasih.” Dihelanya nafasnya. “Aku butuh seseorang menemaniku tua. Yang akan setia menggenggam tanganku saat ajal menjemputku. Kalau pun itu bukan kamu, aku percaya, aku hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku juga tidak.”

Mereka duduk bersisian di atas tikar mereka di tepi pantai ini dalam diam. Dalam kepala Dinar berkecamuk pikiran-pikiran yang hilir mudik tidak karuan. Batinnya tak selesai juga mencaci-maki kenyataan ini. Entah pada siapa dia harus menumpahkan kemarahannya kali ini.

Sedangkan mata Laras menerawang, menuju lautan lepas, sampai di batas cakrawala. Mengikuti ombak yang bergulung-gulung datang mendekati pantai.
Senyum tersungging di bibir Laras.

Setiap ombak pasti menuju pantai. Kesempatan seperti ini pun pasti akan datang padanya. Hanya berbeda waktu dan pelakunya saja. Dan dia selalu siap menghadapinya. Bahkan untuk semua kemungkinan terburuknya.
****

Laras duduk memeluk lutut di atas pasir.

Sepuluh, sembilan, delapan ….

Matanya memejam, dia mulai menghitung mundur ketika senja yang memang tak sempat memerah itu sudah lewat beberapa saat lalu.

… kutunggu di sini. Tujuh senja dari sekarang.

Sedangkan senja ke tujuh itu kini sudah berganti menjadi malam.

… enam, lima, ….

Laras masih berharap sepasang tangan kekar akan mengejutkannya, memeluknya dari belakang.

… dua, satu.

Laras membuka matanya, menelan ludah saat hanya ada gelap malam, debur ombak, dan desau angin saja yang ditemukannya. Tidak ada Dinar.

Terasa getir saat dia mencoba untuk tersenyum. Ternyata Dinar bukan laki-laki itu. Laki-laki yang akan menemaninya menjadi tua, yang akan menggenggam tangannya saat ajal menjemputnya.

Dikuatkannya hatinya. Bukan Dinar, berarti laki-laki yang lain. Diyakinkannya hatinya. Tuhan sudah mempersiapkan laki-laki itu di suatu tempat, di suatu waktu nanti.

Segala sesuatu akan indah pada masanya.

Laras sudah akan beranjak ketika seseorang menyentuh punggungnya dari belakang.

“Laras …”

“Dinar …?” Laras menemukan Dinar berdiri di belakangnya. Di antara gelap tampak wajah Dinar yang lebih bersih daripada terakhir kali dilihatnya tujuh hari yang lalu. “Dinar!” Pekik Laras seakan tak percaya. Senyum merekah di bibir Laras bersamaan dengan kembang-kembang kebahagiaan yang seketika itu bermekaran memenuhi dadanya. Ya Tuhan, ternyata memang benar Dinar mencintainya!

Dinar duduk di samping Laras. “Laras …. Maaf Laras, aku berubah pikiran ….”

Senyum Laras meluruh. Ternyata bukan. Dinar datang hanya untuk sebuah kekecewaan. Kalau hanya untuk mengatakan hal itu, kenapa Dinar harus datang, runtuknya dalam hati.

“Tak mengapa, Dinar. Aku bisa sepenuhnya paham ….” Suaranya bergetar, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Terima kasih, Laras. Aku berubah pikiran, aku tidak lagi ingin memiliki sepasang anak dari rahimmu, Laras. Aku mau sebuah tim sepakbola. Kita akan angkat anak sebanyak-banyaknya.”

“Dinar …!” Air mata Laras pun membuncah. Dadanya seperti hampir pecah, sesak dengan kebahagiaan yang tak terkira.

Dinar merengkuh Laras dalam pelukannya. “Aku butuh kamu melengkapi hari-hariku, jauh melebihi kantong rahimmu.”

Laras hanya mengusap air matanya, dia tak punya lagi kata-kata. Air matanya yang semakin deras sudah cukup untuk merayakan cinta mereka.

Happy ending. Sebuah akhir yang bahagia. Ketika senja kali ini sudah digantikan oleh malam.
****
Jogja, 14 Oktober 2010: Untuk pelukan yang selalu erat
Majalah Kartini No 2288/ 27 Januari-10 Februari 2011

Menggagas Sebuah Pernikahan

“Aku hamil,” kata gadis berbulu mata lentik itu datar. Mulutnya tak lepas mengunyah butir-butir manis jagung rebus yang masih hangat.

Pemuda yang sedari tadi asyik mengupas-kunyah kacang rebus di pangkuannya terbatuk-batuk diserang sedak. Bagaimana tidak, baru saja seseorang melempar bom molotov tepat di ambang daun kupingnya.

“Aku hamil. Telat dua minggu. Aku udah beli test pack, positif,” lanjut si gadis sembari menepuk-nepuk punggung pemuda yang duduk di sampingnya itu.

“Ya sudah,” kata si pemuda susah payah. Diredakannya batuknya dengan berdehem-dehem kecil. “Biar nanti kutelepon Bapak.”

“Buat apa?” Tanya si gadis heran.

“Melamar kamu, to?” Si pemuda juga heran.

“Siapa minta dilamar?” Si gadis bertambah heran.

“Apa?” Si pemuda lebih heran lagi.

****

Pacarku ini ada-ada saja. Masa aku mau dilamarnya cuma gara-garanya aku kepalang hamil? Aneh!

Pacaran ya pacaran aja, hamil ya hamil aja, menikah beda lagi urusannya! Dikiranya gampang apa menikah itu? Apalagi kalo menikahnya cuma karena nggak sengaja hamil. Menikah cap apa itu!

Buat aku pernikahan adalah laiknya pilihan-pilihan hidup yang lain, yang boleh aja ya-boleh aja tidak. Ya-tidak, semua benar. Hanya saja, jika sudah memilih untuk menikah hendaknya didasari dengan pertimbangan yang teramat sangat matang. Komitmen hidup bareng, terutama dalam pernikahan, membawa konsekuensi-konsekuensi yang teramat sangat panjang. Kompromi satu yang berbuntut dengan kompromi berikutnya, dan seterusnya, dan selanjutnya, sambung-menyambung menjadi satu sepanjang hayat dikandung badan.

Bayangkan, sepanjang hayat! Seumur hidup! Sisa umur bakalan dihabiskan untuk berkompromi dengan pasangan kita! Kehilangan diri untuk lebur menjadi satu dengan pasangan sebagai sebuah diri yang baru! Betapa mengerikannya bagi sebuah ego!

Satu contoh sederhana saja. Aku terbiasa tidur dengan lampu menyala, sedangkan dia dalam gelap. Dia memberi solusi untuk sebuah kompromi yang kedengarannya masuk akal, tidur dengan lampu remang-remang. Dipikirnya dengan mengambil jalan tengah seperti itu persoalan beres. Tidak.

Remang-remang adalah remang-remang, jauh beda dengan terang benderang maupun gelap gulita. Lampu tidur remang-remang tetap saja akan memunculkan hantu-hantu berambut panjangku itu. Seremang-remang apa pun lampu tidur juga akan tetap membuat matanya silau, yang otomatis akan menggelisahkan tidurnya. Kompromi cap apa namanya, kalo sama-sama menyakiti seperti ini?

Dia bilang, itu cuma sebatas masalah kebiasan saja. Kebiasan itu katanya, bisa dibentuk. Omong kosong apa lagi ini, setua gini kok mau membentuk kebiasaan. Membentuk kebiasaan itu urusan anak usia SD. Kalo pun kebiasaan itu bisa terbentuk sekarang, akan sangat menyakitkan, sulit, makan waktu pula! Keburu kami jadi kakek nenek yang tak bahagia, bahkan mati dengan muka cemberut yang merana! Kasihan, kan?

Di ujung perdebatan dia selalu bilang dia akan mengalah saja. Dia rela tidur dengan lampu terang benderang. Makin tidak masuk akal bagiku. Mana boleh dia mengorbankan dirinya buatku, sedangkan aku sendiri tidak tega mengorbankan diriku buat dia!

Katanya, saking cintanya dia sama aku. Nggak nyambung!

Itu baru masalah lampu tidur, belum masalah-masalah yang lain. Yang prinsipil, yang kurang prinsipil, maupun yang sama sekali tidak prinsipil.

Bukannya aku ini anti pernikahan. Menikah itu bagus, indah, positif, bila dikerjakan dengan kesengajaan dan kematangan yang optimal. Kelak pun jika aku sudah siap, aku mau saja menikah. Dengan dia pun tak mengapa, walaupun aku setengah mati benci dengan segala pola pikir jaman batunya itu. Kelak, bukannya dalam waktu dekat ini. Bukannya sekarang hanya gara-gara nggak sengaja hamil!

Aku jadi curiga. Kok, seolah kehamilanku ini jadi senjatanya untuk memaksaku menikahinya, ya? Jangan-jangan, memang dia sengaja membuatku hamil ….?

****

Kalau ndak gendheng[1], berarti dia itu goblok. Kadung[2] hamil, dilamar kok ndak mau. Malah nanya, “siapa yang minta dilamar?” Dasar!

Aku juga heran, dukun mana yang dia pakai sampai tak kepalang cintaku sama dia. Feminis gagal seperti itu! Sayangku sama dia memang sampai pol-polan[3]. Tiga tahun pacaran, aku sudah mantap menjadikan dia istriku. Cuma saja, si sontoloyo itu selalu saja berdalih saat aku mengajaknya menikah. Bahkan setelah dia kadung hamil sekalipun.

Katanya hidup berkomitmen itu konsekuensinya teramat sangat panjang. Dia belum sanggup untuk menghabiskan sisa umurnya untuk selalu berkompromi denganku. Padahal bagaimana mungkin coba, manusia bisa hidup tanpa kompromi-kompromi? Bukannya sebenarnya selama ini dia mau tidak mau sudah melakukan berbagai kompromi dengan sendirinya? Dasar, stres!

Dia selalu memberiku contoh-contoh. Favoritnya adalah tentang lampu tidur. Dia suka tetap menyala, aku suka gelap. Aku kasih dia solusi, lampu remang-remang sebagai jalan tengahnya. Dia ngenyel[4], remang-remang beda sama terang juga sama gelap. Remang-remang tetap saja membuat kami berdua susah tidur.

Aku bilang, itu cuma masalah kebiasaan. Dia tetap ndak terima. Kelamaan, katanya. Membentuk kebiasaan baru itu sulit. Keburu kami jadi kakek dan nenek yang hidupnya ndak bahagia.

Waktu aku bilang aku akan mengalah saja, dia semakin berang. Dia ndak mau aku berkorban buat dia, karena dia ndak mau berkorban buat aku.
Dasar sontoloyo! Apa cinta itu namanya, kalau ndak mau berkorban?
Itu baru satu contoh. Belum lagi kalau dia contohkan hal-hal remeh-temeh yang lain. Jadi ndak berujung pangkal perdebatan kami.

Aku tahu kenapa dia itu. Aku pernah baca di majalah, dia adalah tipe orang yang memang takut berkomitmen. Yang biasanya adalah orang yang ndak mampu untuk bertanggung jawab. Anehnya, kalau menurut majalah itu, orang tipe ini biasanya kaum pria berhidung belang. Lha ini, pacarku 100% wanita. Ya mungkin, cuma ada dia di antara sekian ratus juta penduduk wanita Indonesia.

Si sontoloyo itu mungkin mengidap ganguan jiwa!

****

“Ini tubuhku!” Teriak si gadis.

“Jangan lupa di dalamnya ada benihku!” Si pemuda tak kalah garangnya.

“Sebutir sperma nyasar aja!” Cibir si gadis. Lalu ditentangnya mata pemuda itu dengan mata berbulu lentiknya. “Heh, ambil aja kalo memang mau! Ambil rahimnya sekalian, cangkok dalam perutmu!”

“Ngomong sembarangan! Ndak takut dosa kamu?!”

“Kalo aku takut dosa, mana mungkin kamu kubiarkan nidurin aku!”

“Ibu durhaka! Intip[5] neraka kamu!” Si pemuda meradang.

“Sepertinya kita nggak lagi di persidangan, deh!”

Si pemuda sudah siap mengangkat tangannya ketika disadarinya orang-orang sudah berkerumun menonton mereka.

****

Benar-benar aku ini sudah salah menaruh benih. Masak dia mau mengugurkan kandungannya! Jadi pembunuh. Menambal sulam dosa dengan dosa baru.

Dasar, dasar feminis gagal! Kadung hamil, mau dinikahi dengan suka rela kok menolak. Memilih aborsi saja. Sudah takgampangin, malah disusahin!

Katanya paling baru segumpal darah.

Dasar, dasar goblok! Tetap saja benih itu hitungannya sudah jadi manusia. Sel-selnya sudah belah-membelah, bagaimana mungkin dikatakan bukan makhluk hidup? Beraninya dia menafikan kebesaran Sang Empunya Hidup! Benar-benar kurang ajar si sontoloyo itu!

Malah keluar usulnya yang sama sekali ndak bermutu, mencangkokkan rahimnya ke perutku. Dasar, dasar!

Katanya dia ndak mau nambah jumlah anak terlantar di Indonesia. Mungkin dipikirnya aku ini laki-laki dungu yang ndak mampu menyediakan makanan buat anak istrinya. Aku ini laki-laki jantan. Usahaku saat ini memang belum maju-maju amat, tapi kalau nanti dia sudah lulus kuliahnya dia kan juga bisa bantu. Bukannya, di mana ada kemauan disitu pasti ada jalan?

Dasar, dasar! Pikiran cupet[6]!
****

Apa haknya ngamuk-ngamuk saat aku bilang aku mau aborsi saja, coba? Dia cuma nyumbang sebutir sperma. Itu pun cuma sperma nyasar. Sedangkan benih ini tertanam di tubuhku. Aku yang menanggungnya jiwa dan raga. Jadi 99% hak ada padaku.

Dia takut dosa katanya. Takut dosanya datang terlambat. Bangunnya kesiangan! Sedari dulu kek, jadinya nggak ada kejadian kayak gini!

Ngomong-ngomong soal hak, bukannya tiap anak berhak untuk dapat kehidupan yang layak? Akan seberapa layaknyakah hidup seorang anak yang segala keperluannya, dari susu sampai mainan, masih ditanggung kakek neneknya? Gara-gara ibunya belum kelar kuliah, usaha bapaknya nggak maju-maju?

Belum lagi kalo dia saban hari harus mendengar orang tuanya bertengkar. Bapaknya memaki ibunya, ibunya balas meludahi bapaknya. Kalo, berpangkalnya pada perceraian? Mental seperti apa yang akan terbentuk nantinya?

Sambil menepuk dadanya dia bilang dia lelaki tulen yang jantan dan bertanggung jawab. Nggak akan mungkin menyengsarakan anak dan istrinya. Tanggung jawab macam apa jika jatuhnya nanti malah akan bertambah satu lagi anak terlantar di Indonesia?

Dasar patriarkh sejati!

****

Gadis itu menyibakkan poni rambutnya. Matanya mengerjap-ngerjap memainkan bulu matanya yang cantik. Ditengoknya pemuda yang mematung di sampingnya. “Aku keguguran.”

Mata pemuda itu berkilat marah. “Kamu pasti minum jamu!” Tuduhnya.

“Keguguran artinya tidak sengaja gugur. Kalopun jadi kugugurkan, nggak mungkin banget aku pakai cara begituan.”

“Kamu makan nanas muda?”

“Kamu pikir aku ini bodoh, ya?”

“Ya sudah. Kita tetap menikah. Aku sudah terlanjur minta Bapak melamarmu. Aku sudah terlanjur habis dimaki-maki sekeluarga. Kita tetap menikah.” Tandas si pemuda. “Atau, kamu takhamili lagi saja?” Dia tersenyum simpul.

Si gadis mendelik marah.

“Ndak usah takut. Sekarang atau nanti sama saja. Kita pasti bisa kalau bersama. Yang penting kita saling cinta. Iya to?”

Si gadis mencibir.

****

Sontoloyo menghilang, tau-tau bilang kalau keguguran. Keguguran apa aborsi cuma dia yang tau. Tuhan juga. Yang pasti dia tetap saja ndak mau nikah sama aku. Alasannya masih yang itu-itu juga.

Jangan-jangan dia punya pacar baru? Sudah luntur cintanya padaku? Atau benar, sebenarnya dia lesbian?

Feminis gagal itu …?

****

Masa dia masih aja ngotot menikahiku?! Padahal sudah jutaan kali aku bilang aku nggak mau. Percuma, sepertinya hanya keluar masuk kedua lubang telinganya saja. Bahkan aku keguguran pun dia nggak peduli.

Benar-benar aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan patriarkh macam dia!

****

[1] gila
[2] terlanjur
[3] teramat sangat
[4] bersikeras
[5] kerak
[6] pendek