Saturday, November 24, 2007

Pengakuan Tentang Kebohongan-Kebohongan

(Pengakuan ke-1)

Tit-tit... Tit-tit...

"Hah..., sms!"

"Istrimu...?"

"Biarin aja dulu... Sekarang ya, Yang...?"

"Jangan... Tahan dulu!"

"...please..."

"Sebentar..."

"...ya...?"

"Ya sudahlah!"

.......

"Hei..."

"Sudah..?"

"He he he... Sudah! Makasih, ya?"

"Ya, sama-sama. Buka smsnya, jangan-jangan istrimu."

"...emm... Minta dijemput lalu makan malam. Males ah, ada meeting aja ya, Yang?"

"Nggak. Aku juga mau pulang. Banyak kerjaan."

"Lho, tapi kamu kan belum, Yang?"

"Terlanjur ngedrop."

"Marah?"

"Ah, kayak nggak biasa aja."

"Nggak juga. Biasanya nggak gitu-gitu amat... Salah sendiri sudah lama kita nggak..."

"Emang ngapain aja kamu sama istrimu?"

Kan beda, Yang. Beda rasanya!"

Ya jelas beda dong, rasa stoberi dengan rasa coklat!"

"He he he... rasa pete dengan rasa jengkol! He he he..."

"Berhenti cekikikan, kamu ditunggu istrimu!"

Kupandangi dia beranjak, memakai pakaiannya helai demi helai. Jujur, tidak ada yang istimewa dari tubuhnya. Tubuh rata-rata orang indonesia : perawakan sedang, kulit sawo matang, rambut rada cepak dan mulai sedikit rontok, dengan wajah yang sangat standar. Bukan pula caranya bercinta, aku sering kali bertualang dengan cara yang lebih sempurna dengan laki-laki lain yang juga lebih sempurna. Bahkan dadanya pun tidak bidang, dengan perutnya yang mulai tambun, semakin tidak sempat berolahraga rupanya. Tapi aku tidak tahu mengapa masih saja begitu aman dalam dekapannya, meletakkan kepala didadanya. Hemmmm...

"Tinggal dulu ya, Yang! Nanti telpon, ya!"

Tanpa ciuman selamat tinggal. Bukan masalah, sudah biasa.

***

Laki-laki itu sudah kukenal sebelum aku lahir. Sejak dia suka mengelus-elus perut ibuku, menciuminya, lalu mendekapnya erat sekali. Sejak kurasakan rasa yang aneh itu. Menembus daster ibuku, menerobos pori-pori perutnya, lalu mengalir bersama darah dalam plasenta hingga menyentuhku yang sedang meringkuk menghisap ibu jari dimulutku. Lalu seperti hangat menjalariku. Melapangkan tidurku. Lalu tidurku. Dan tidur-tidurku. Sejak itu aku mengenalnya, sejak aku merasakan dekapannya. Hangatnya yang aneh. Hangat yang bukan sekedar hangat.

Lama aku kehilangan. Aku baru menemukannya kembali saat aku bersiap pergi. Ibu membawaku pindah ke Jakarta. Rasa itu. Rasa yang pernah akrab kurasakan. Rasa hangat yang aneh. Rasa yang selama ini kurindukan. Rasa yang aku tidak tahu apakah itu sebenarnya. Rasa yang kumaknai sebagaimana air yang gemercik, mengalir perlahan, dengan lembut menyentuh batu, kerikil, pasir, terserap tanah. Tapi sebagia masih saja mengalir, tetap perlahan dan pasti, berirama. Saat dia mengucapkan selamat jalan, mengelus bahuku, menciumiku, lalu mendekapku erat sekali. Sebuah rasa yang telah kukenal akrab, yang seolah adalah diriku sendiri, yang hilang. RAsa yang membuatku kembali utuh. Rasa aneh yang akrab yang kemudian kembali melapangkan tidur-tidurku... Mengusir mimpi-mimpi burukku.

Dekapan yang tidak pernah berubah, selalu dengan rasa yang sama. Rasa nyaman yang sedikit aneh, gemericik air yang hangat. Hangat. Walaupun sebenarnya hangat saja tidak mampu mewakili rasa itu. Karena hangat yang tidak sekedar hangat, hangat yang menyimpan sesuatu. Hangat yang aneh. Aneh yang akrab.

Rasa yang tidak pernah berubah. BAhkan dalam mimpi-mimpiku sekalipun. Rasa yang terlampir dalam surat, telepon,maupun e-mailnya. Dekapannya tidak berubah. Gemericik air itu tetap hangat dan aneh. Akrab.

Bahkan hingga dihari itu, aku menjemput kepindahannya di bandara. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan dihari itu, aku datang di upacara pernikahannya. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan hingga di hari itu, di sebuah kamar hotel, satu malam setelah resepsi pernikahannya. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan hingga di hari-hari ini.

* * *

"Anda MAyang?"

"Ya, Anda sendiri...?". Walau sebenarnya aku tahu pasti siapakah perempuan ini. Aku pernah menyalaminya di hari pernikahannya dulu. Saat itu ternyata sudah cukup lama dari sekarang.

"Saya istri laki-laki yang sering tidur bersama anda."

Aku ingin sekali tergelak sembari bertanya 'Yang mana?'. Tapi aku tidak tega dan hanya diam.

"Saya tahu, Anda hanya inginbermain-main dengannya, kan? Omong kosong kalau sampai Anda bilang mencintainya."

Aku lagi-lagi diam, hanya karena aku memang tidak mempunyai jawaban atas pernyataannya. Bukannya tidak pernah terlintas pertanyaan itu dalam benakku, main-mainkah, cintakah bila dekapannya adalah penawar bagi sekian banyak perih yang kupunya.

"Saya juga yakin bukan karena uang kami. Saya sudah menyelidiki Anda. Anda pintar, mapan, bisnis Anda sedang berkembang. Saya yakin Anda bukan perempuan semacam itu. Carilah laki-laki lain, anda berhak untuk mendapatkan yang lebih baik." Setelah perempuan itu terdiam sebentar, "Oke, setelah pertemuan kita ini saya yakin Anda tahu apa yang seharusnya Anda lakukan."

Aku masih saja diam, sampai perempuan itu menghilang di balik pintuku. Perempuan otoriter yang sok tahu, sok yakin akan terlalu banyak hal... Ah, dia hanya tidak ingin berbagi tubuh laki-lakinya dengan perempuan lain. Tidak ada yang salah dengan itu.

Akupun hanya butuh dekapan suaminya. Tidak lebih. Toh dekapan itupun sudah jadi milikku sejak lama. BAhkan sedari aku masih dalam kandungan ibuku. Dekapan yang membawa rasa itu. Rasa yang tidak dapat kutemukan dalam dekapan puluhan laki-laki lain. Jangan kira aku tidak pernah berusaha mencari. Sampai aku tiba pada lelahku, rasa itu hanya kutemukan hanya ada satu dalam dekapannya. Saat aku meletakkan kepalaku didadanya, lalu dia mengelusku, menciumiku dan mendekapku erat-erat

Aku terdiam untuk waktu yang lebih lama lagi.

* * *

"Ya Ma... Gampang itu, biar orang kantor yang urus... Iya... He-eh... Ini lagi makan malam sambil ngobro-ngobrol dengan Pak Anton... Ya belum tahu, kalau besok sudah selesai ya besok pulang, kalau selesainya lusa ya pulangnya lusa, tapi tak usahain sepat pulang... Ok... See you... Love you too...

Sementara itu kudengar air itu bergemericik. Hangat. Sedikit aneh. Namun sangat akrab. Tidak berubah.

* * *

(Pengakuan ke-2)

Makan malam dengan Pak Anton... Huh, dipikir suamiku mungkin aku sekedar perempuan tolol yang dapat dengan mudah dibohonginya. Sedang Pak Anton-nya suamiku itu sedang pulas tidur di sebelahku. Sedangkan suamiku, seratus persen aku yakin, sedang berbaring memeluk perempuan itu. Seratus persen aku yakin mereka sedang telanjang. Bagaimana mungkin aku akan percaya bahwa mereka berdua, suamiku tercinta dengan Pak Anton-nya, sedang makan malam bersama. Mungkin roh mereka berdualah yang sedang mengadakan makan malam imajiner.

Tidak, aku tidak sedang marah. Jangan salah sangka. Aku juga tidak sedang cemburu. Apalgi balas dendam. Jauh. Jangan salah sangka. Akubukan perempuan kemarin sore yang akan kebakaran jenggot saat mengetahui suaminya selingkuh. Yang pasti aku bukan tipe perempuan yang suka memelihara jenggot.

Basi.

Sejak tiga bualan lalu, kali pertama aku mendapatkan laporan mengenai affairnya dengan perempuan itu, sampai hari ini aku tidak pernah marah pada suamiku. Kenapa mesti marah, akupun tidak marah saat aku mengetahui hubungannya dengan banyak gadis bmuda sebelumnya. Kenapa mesti marah kalau sualiku berbahagia bersama mereka. Kenapa mesti marah, kalau memang suamiku bisanya mencapai orgasme bila bersama perempuan lain, tidak bila bersamaku. Aku juga tidak pernah marah denganperempuan-perempuan muda itu. Toh mereka mendapat manfaat dari hubungannya dengan suamiku. Lagian hubungan-hubungan mereka tidak pernah sampai lebih dari dua bulan. Hubunganku dengan suamikui sudah terjalin bertahun-tahun sejak perkenalan kami di kampus dulu.

Cemburu juga tidak. Cemburu itu katanya adalah tanda cinta. Aku bahkan tidak pernah bertanya pada diriku sendiri bilakah aku mencintai suamiku. Dia suamiku, itu sudah cukup bagiku, itu juga sudah cukup bagi kelangsungan hidup perusahaan dan karyawan-karyawan yang bekerja di dalamnya. Cemburu adalah sebuah perasaan takut kehilangan sesuatu yang kita miliki, dia hanya suamiku. Sedangkan dia adalah milik perusahaan.

Aku akan merasa cemburu saat suamiku mendirikan perusahaan lain. Tapi tidak pada perempuan-perempuan itu.

Apalgi balas dendam. Balas dendam tidak pernah ada dalam kamus kehidupanku. Aku percaya bahwa alam sungguhlah adil. Alam sudah akan memberikan karma yang setimpal tanpa kita, manusia, harus mengupayakannya. Lalu mengapa harus susah-susah balas dendam, bila kita belum merasa bisa berlaku adil pada sesama kita. Serahkan saja pada alam, alam lebih tahu daripada kita. Mengapa harus balas dendam, lagian aku tidak pernah merasa sakit hati dengan semua itu. Ya, sepanjang perusahaan tidak terlantar.

Aku tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Sama sekali tidak. Walaupun kalau mau jujur, sebenarnya aku mengakui bahwa perempuan ini berbeda. Dia tidak seperti perempuan-perempuan suamiki yang lain. Aku tahu bagi suamiku dia adalah pacarnya yang teristimewa. Buktinya dia berusaha menyembunyikan hubungan mereka rapat-rapat, walau akhirnya aku bisa tahu juga. Tidak seperti hubungannya dengan perempuan-perempuannya yang lain, yang cenderung show off. Aku tahu suamiku tidak menginginkan aku mengetahui hubungannya dengan perempuan itu, Mayang.

Aku sudah menyelidiki si Mayang ini. Seorang pengusaha muda yang menjalankan bisnis souvenir yang dirintis oleh ibunya. Dia sudah mulai mengekspor produknya. Masih single, cantik. Ibunya single parent, sekarang sedang dirawat oleh seorang psikiater, depresi. Orang-orangmenjulukinya singa betina, dia terkenal tangguh, dia tidak pernah segan untuk menelan musuhnya mentah-mentah, setelah mencabik-cabiknya terlebih dahulu. Melihat pertama kali aku bisa merasakan bahwa perempuan ini... berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tampak... berbeda.

Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukanperbuatan bodoh yang memalukanitu. Aku mendatangi si MAyang disuatu pagi, sekitar seminggu yang lalu. Intinya aku menyuruhnya untuk tidak lagi tidur bersama suamiku. Bodohnya aku. Apa hakku untuk melarangnya. Dia hanya suamiku. Aku hanya iostrinya. Bukan berarti kami saling membagikan, mempertukarkan sebagian, hati.

Toh aku tidak pernah pedili, sebelumnya, bilamana suamiku tidur dengan perempuan-perempuan lain. Mengapa, ada apa dengan si MAyang ini? Karena dia berbeda? Apa mungkin... karena aku tahu bahwa bagi suamiku dia berbeda?

Tidak, tidak. Bukan karena akku marah, bukan karena aku cemburu, bukan karena kau balas dendam, aku mendatangi si Mayang ini. Bukan. Peristiwa dipagi itu semata-mata hanyalah sekedar kekhilafanku saja.

Buktinya, saat ini, saat mengetahui suamiku masih tetap berhubungan dengan si Mayang inipun aku tidak marah. Aku tidak cemburu. Aku tidak balas dendam.

Toh, demi kepentingan perusahaan, akupun tidur dengan laki-laki lain.

Hei, aku menjadi curiga, jangan-jangan suamiku yang sedang marah, cemburu dan membalaskan dendamnya padaku.



(Pengakuan ke-3)

“Ya, ada apa, Ma…. Hebat dong! Tapi semua beres kan, nggak ada masalah kan?…. Ini lagi makan malam sambil ngobrol-ngobrol sama Pak Anton…. He-eh…. Kayaknya sih, di sini kita juga bakalan dapet, Ma ….. Ya belum tahu, kalau besok udah selesai ya besok pulang, kalau selesainya lusa ya pulangnya lusa, tapi tak usahain cepet pulang …. Ok. Bye ….”

◊◊◊◊◊



Istriku bukan perempuan bodoh, aku bisa pastikan itu. Dia sangat cerdas, cenderung licik. Dia juga licin, selicin belut. Banyak sekali deal bisnis, yang bisa terjadi hanya karena lobi-lobi yang dilakukannya pada klien-klien perusahaan. Setiap kali seorang klien menitip salam pada istriku setelah sebuah kontrak ditandatangani, aku bisa pastikan bahwa istriku telah melobi mereka malam sebelumnya. Apapun itu, perusahaan sungguh berhutang budi pada perempuan itu. Seorang perempuan yang luar biasa.

Perusahaan memang adalah detakkan jantungnya. Dia pernah berkata kalau diapun akan mati jika perusahaan sampai bangkrut. Saat itu adalah saat yang sulit bagi perusahaan. Juga bagi ayahnya, yang sudah menjelang ajal. Sampai kemudian ayahnya mengamanatkan kami agar menikah, untuk bisa bersama-sama menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan hidup sekian ratus karyawan, menyelamatkan sebuah harapan dari seorang tua yang baik hati, yang hampir menemui ajalnya.

Kamipun mengiyakannya, lalu bersepakat untuk menyatukan kemampuan dan impian kami akan perusahaan ini. Aku dengan kemampuan leadershipku, dia dengan kecerdasannya berstrategi. Tidak mudah memang, tapi lambat laun kamipun berhasil. Kami. Kalau aku bisa jujur, sebenarnya aku tahu bahwa istriku sebenarnya mampu tanpa adanya aku. Dia hanya sengaja tidak ingin terlihat ada di depan.

(Atau, mungkin, karena dia memang menginginkan aku?)

Mungkin sekedar karena sebuah amanat, atau sengaja untuk membalas budiku, atau untuk tetap menjaga kelanggengan hidup perusahaan, dia mengajakku menikah. Mungkin sekedar karena sebuah amanat, atau perasaan sungkan menolak, atau kelanggengan sebuah jabatan, aku mengiyakan ajakan menikahnya. Setidaknya, kami mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai selama-lamanya, pada saat aku tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku mencintainya. Pada saat, aku yakin, diapun tidak pernah bertanya pada dirinya apakah dia mencintaiku.

(Satu-satunya hal yang membahagiakanku, dan tentu saja istriku, mertuaku yang baik hati itu pasti tertawa gembira di surga.)

Akupun tidak pernah bertanya cintakah istriku padaku. Untuk apa harus bertanya, bila aku sudah tahu pasti apa jawabannya. Perusahaan adalah cinta istriku, ke dua setelah ayahnya.

Akupun bisa memahaminya. Ayahnya adalah satu-satunya yang dimilikinya sejak awal. Satu-satunya yang menghidupinya. Satu-satunya yang selalu ada bersamanya. Lalu apakah salah bila istriku mencintai ayahnya.

Lalu, perusahaan adalah kerja ayahnya. Diri bagi ayahnya. Sejak awal ayahnya sudah mengajarkannya untuk mencintai perusahaan. Perusahaan yang meminta tumbal keringat dan kerja keras. Perusahaan menghidupi banyak kehidupan. Lalu apakah salah bila istri mencintai perusahaan ayahnya, setelah cintanya pada ayahnya.

Menurutku tidak.

Karena dia mampu melakukan apapun juga untuk kedua cintanya itu. Menjadikan kedua cintanya itu mengalir dalam darahnya, mendenyutkan nadinya; membuat kedua cintanya itu sebagai penguasa bagi hidupnya. Berpeluh untuk kedua cintanya itu. Menangis untuk kedua cintanya itu. Menggadaikan diri untuk kedua cintanya itu. Bahkan aku yakin, dia mampu mati untuk kedua cintanya itu.

Andaikan aku mampu menjadi cintanya yang ke tiga…

Seorang kerabat dekat, yang juga sahabat dekat, menyarankan untuk segera mempunyai anak saja. Katanya untuk menumbuhkan cinta diantara kami. Untuk menghangatkan jiwa kami. Menyalakan roh perkawinan kami. Toh perusahaan sudah mulai mapan kembali. Sudah tidak ada alasan untuk bekerja terlalu keras, mengesampingkan salah satu kewajiban sosial, menjadi sepasang orang tua yang bahagia. Bahwa sudah saatnya memikirkan sebuah keluarga, memikirkan tangis seorang bayi di rumah kami.

Seorang kerabat dekat, yang juga sahabat dekat, yang tidak pernah kuberitahu bahwa kami tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

Ya, selayaknya suami istri kami memang bercinta, dua tiga kali dalam seminggu, dulu, dua tiga kali dalam dua bulan, sekarang, tapi aku tidak pernah sampai bisa ejakulasi, untuk mencapai puncakku. Diam-diam aku juga heran, kenapa tidak sebutir spermapun yang tercecer untuk terbuahinya sel telur istriku. Menuruti anjuran seorang kerabat dari keluarga besar istriku yang terlalu mengkhawatirkan kelangsungan keturunan keluarga Prasojo, nama mertuaku, sebelum menikah kami menyempatkan diri untuk mengecek fungsi reproduksi kami. Saat itu tidak ditemukan masalah.

Sebenarnya sampai saat inipun tidak ada masalah. Aku tidak pernah mempermasalahkannya, pun istriku. Dia sama sekali tidak pernah bertanya, apa lagi mengajak untuk periksa. Mungkin karena dia sudah terlalu asyik dengan puluhan anak terlantar yang disantuninya. Mungkin karena dia tidak tahu bahwa aku tidak pernah mengalami ejakulasi, tertipu oleh tipuan-tipuan ekspresiku. Mungkin, hanya karena dia tidak mau peduli saja.

Aku juga tidak pernah ejakulasi bila bersama dengan pacar-pacarku, karena aku tidak pernah berhubungan badan dengan perempuan-perempuan itu. Pacar-pacar yang hanya semata-mata karena iseng kupacari, setidaknya aku tidak pernah tahu untuk alasan apa sebenarnya. Mungkin sekedar untuk mendapatkan penghargaan sosial, bahwa aku adalah seorang pemimpin sebuah perusahaan. Hanya kencan dua tiga minggu lalu selesai. Bukan untuk bersenang-senang, karena aku sama sekali tidak senang. Bukan karena aku impoten. Karena aku selalu bisa bilamana aku bersama dengan Mayang.

(Mungkin hanya sekedar dikarenakan oleh sebuah perasaan yang selalu saja menyusup, bahwa aku bukan siapa-siapa bila aku ada bersamanya, bersama istriku.)

Mayang.

Mayang adalah sebuah teka-teki. Dia, seekor singa yang buas berkuku runcing yang selalu siap untuk mencabik-cabik penghalang segala inginnya, serta merta akan berubah menjadi kucing yang jinak bila berada dalam dekapanku. Sebuah teka-teki, sebagai singakah atau sebagai kucingkah seorang Mayang, jawabannya adalah dekapanku.

Menurutnya ada yang istimewa dalam dekapanku. Yang tidak bisa ditemukannya dalam dekapan belasan laki-laki lain, yang pernah sedang maupun akan ditidurinya. Dia seperti merasakan air yang bergemericik, mengalir pelahan, dengan lembut menyentuh batu, kerikil, pasir, terserap tanah. Tapi sebagian masih tetap saja mengalir, tetap pelahan dan pasti, berirama. Rasa hangat lalu muncul, rasa yang mampu membuat dirinya kembali menjadi utuh. Rasa hangat yang melapangkan tidur-tidurnya. Menjauhkan mimpi-mimpi buruknya. Menurutnya rasa hangat itu tidak sekedar hangat. Rasa hangat yang aneh. Rasa hangat yang akrab dengannya. Ada-ada saja.

Dan rasa yang dirasakan oleh Mayang sejak kali pertama dia ada dalam dekapanku itu, ternyata memiliki sifat adiktif. Sejak dia akan berangkat pindah bersama dengan ibunya ke Jakarta, sampai kami sepakat untuk berpacaran jarak jauh, sampai aku juga pindah ke Jakarta, sampai aku menikah, sampai aku habis menikah, sampai sekarang, dia selalu menginginkan dekapanku. Dekapanku yang membawanya pada rasa hangatnya yang tidak sekedar hangat. Rasa hangatnya yang aneh. Rasa hangatnya yang akrab itu. Dia sudah sangat tergantung pada dekapanku.

Tapi Mayang tetaplah akan selalu menjadi Mayang yang adalah sebuah teka-teki. Sejak kali pertama aku mengajak berbicara mengenai pernikahan, dulu, dia selalu bilang bila dia hanya butuh dekapanku saja, tidak akan pernah sebuah rumah tangga.

(Selama aku masih bisa mendapatkan ejakulasiku, orgasmeku bersamanya, mengapa aku harus merasa keberatan?)

Apa rupanya yang membuat Mayang menjadi begitu istimewanya… Mungkin bahwa dia adalah sebuah teka-teki, yang belum terpecahkan.

Mayang.

Aku tahu, istriku akhirnya tahu tentang Mayang, setelah sekian lama kusembunyikan rapat-rapat. Ternyata, seperti biasa, dia tidak berkomentar. Apa lagi sakit hati.

Lalu untuk apa selama ini aku mati-matian menyembunyikannya dari istriku, kenapa aku harus begitu peduli mengenai kerahasiaan hubunganku dengan Mayang, tidak seperti hubunganku dengan pacar-pacarku yang lain.

Kalau toh, pada kenyataannya, istriku ternyata juga tidak peduli. Sama saja, sama sekali tidak mempedulikannya.

Seharusnya aku tahu kalau dia memang tidak akan pernah peduli. Tidak akan mungkin mau peduli.

Ya aku tahu, istriku tidak mencintaiku. Hanya akan ada ayahnya dan perusahaan di hatinya …. Selamanya.

Lalu untuk apa sebenarnya semua kebohongan ini?

◊◊◊◊◊

1 comment:

Anonymous said...

kuakui.....
ide yang bagusssss
fantasi yang bisa ditiru niiiih