Saturday, November 24, 2007

Aku Melihat Paus Merah Itu

Sungguh. Aku tidak bohong.

Kala itu, belum terlalu lama dari sekarang, aku berada di atas sebuah kapal sedang berangkat dari sebuah pelabuhan. Aku memandangi langit malam yang sedang memayungi lautan yang gelap. Aku seperti melihat ratusan bintang yang sedang berenang-renang di lautan. Bermain-main dengan ombak.

Tiba-tiba saja aku terkejutkan oleh ikan paus merah itu. Wajahku tersentak oleh percikan air yang tersembur dari punggungnya. Bagaimana mungkin ikan paus itu bisa begitu dekat denganku, terlihat dengan begitu jelasnya.

Aku melihat seekor ikan paus berwarna merah.

Di bawah langit malam itu, aku tidak ragu-ragu melihat paus itu berwarna merah karena begitu dekat dan begitu jelasnya olehku. Bahkan aku bisa menemukan manik matanya. Sepersekian detik bahkan matanya menatap lekat ke dalam mataku. Begitu teduh, menyimpan kasih. Mengesimakanku. Sesaat setelah menyemburkan air dari punggungnya diapun menghilang ke dalam lautan.

Saat itu juga aku teringat sebuah cerita yang pernah kubaca. Cerita mengenai seekor paus merah yang diceritakan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai seorang musafir yang tidak memiliki tujuannya. Hanya berpindah dari satu kapal ke kapal yang lain, menuju satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Dalam ceritanya itu dia menceritakan cerita-cerita orang mengenai paus merah itu, karena dia sendiri belum pernah sekalipun melihat si paus merah yang diceritakannya tersebut. Betapapun inginnya dia untuk melihat paus merah itu dengan mata kepalanya.

Seekor ikan paus yang berwarna merah.

Katanya, menurut cerita orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan pengembaraannya, ikan paus merah itu memang terkadang muncul di senja hari, menampakkan keberadaannya pada seseorang di atas kapal, di saat laut sedang memantulkan cahaya senja yang keemasan. Mendadak dia akan muncul dari dalam lautan, meloncat di kejauhan, dan menghilang setelah menyemprotkan air dari punggungnya. Air yang terkadang berwarna merah oleh darah yang masih saja mengalir dari panah yang tertancap tegak lurus di punggungnya. Konon seorang pemburu yang telah memanahnya. Ikan paus merah itu telah terluka beratus-ratus tahun lamanya. Amboi, betapa tidak masuk akalnya!

Betapapun tidak masuk akalnya itu, ikan paus merah itu adalah kenyataan. Buktinya mataku telah melihatnya sendiri, dengan begitu dekat dan jelasnya.

Sekali lagi, dalam keterkejutanku aku telah melihatnya. Seekor ikan paus berwarna merah. Seakan aku tidak percaya. Tapi memang sungguh seekor ikan paus merah!

Tapi mengapa aku melihatnya dimalam hari, di bawah bintang yang bergermelapan bukan senja yang kemerahan. Bahkan dia terlihat dekat dan jelas, menatapku sejenak memancarkan keteduhannya. Dalam cerita musafir itu tidak ada bagian yang mengatakan bahwa ikan paus merah itu menatap mata orang yang melihatnya.

Mungkin saja bagian itu terlupakan olehnya, atau diedit oleh si empunya koran.
Ikan paus merah itu juga tidak berdarah. Memang dia berwarna merah, memang kulitnya yang berwarna merah. Merah yang bukan darah, merah yang bukan seperti warna darah. Merah yang bersinar keemasan. Merah yang indah.

Akupun tidak melihat panah itu. Tidak ada panah dipunggungnya. Tidak ada apa-apa dipunggungnya, mulus. Tanpa ada sebuah bendapun yang tertancap di punggungnya.
Apa lagi darah yang mengucur. Sama sekali tidak terlihat.
Air yang keluar dari punggungnyapun bukan darah. Tidak berwarna merah dan tidak amis amis, tapi harum. Aku tidak bisa mencari padanan bau harumnya. Harum yang…. Aku tidak mampu membuat definisinya.

Dalam ceritanya, musafir itu juga mengatakan bahwa paus merah itu menjerit pada setiap kemunculannya. Menjerit dalam kengiluan yang kemudian akan membawa kesedihan bagi pendengarnya disepanjang hidup pendengarnya itu. Tapi tidak. Bukan jeritan kepiluan yang kudengar. Bukan. Sama sekali bukan. Tapi sebuah senandung yang maha lembut. Bukan kesedihan yang kurasakan. Sama sekali bukan. Tapi sebuah kedamaian yang menyejukkan. Menyejukkan hatiku dari setelah aku mendengar senandungnya itu sampai saat ini.
Mungkin lukanya sudah sembuh. Mungkin seseorang telah menangkapnya lalu menolongnya, mencabut panah yang menancap di punggungnya, lalu membalut lukanya hingga mengering. Luka yang mengucur selama berabad-abad itu tetap membekas di kulitnya, sudah terlanjur menyatu dengan dirinya. Membuat warna merah itu menetap, menutupi warna kulitnya yang sebenarnya.

Setelah sembuh ikan paus merah itupun kembali berkelana ke segala samudra. Mempertontonkan keberadaannya yang baru pada orang-orang yang sedang berada di atas kapal, salah satunya adalah aku. Dia bersenandung bukan menjerit, karena sudah tidak lagi dirasakannya kesakitannya. Lukanya sudah sembuh. Air yang keluar dari tubuhnya harum, sebagai pertanda bahwa seseorang telah berbuat kebaikan padanya. Bukankah kebaikan itu adalah hal yang positif, dan bukankah keharuman itu juga adalah hal yang positif? Dia menatapku untuk menyalurkan energi positifnya, membalaskan kebaikan orang yang telah menolongnya itu kepadaku. Bahkan hingga hari ini kelembutan di matanya itu masih terbayang lekat di mataku.

Menjelaskan mengapa tidak ada lagi panah, tidak ada lagi darah, hanya warna merah keemasannya. Bagaimana jeritan ngilu berubah menjadi nyanyian merdu, tatapannya, dan keharuman yang keluar dari tubuhnya.

(Mengapa malam hari bukan saat senja seperti dalam cerita, satu hal ini belum mampu terjawab olehku.)

Masuk akalkah? Berbagai cerita orang dari tujuh lautan dari masa ke masa menyuarakan hal yang sama. Mungkinkah sebuah legenda berubah? Mungkinkah sebuah legenda mengkhianati sejarah?

Lalu mengapa bisa menjadi sangat berbeda. Apakah musafir itu berbohong, ataukah aku yang hanya bermimpi bertemu dengan ikan paus merah itu. Tidak, aku tidak sedang bermimpi kala itu. Aku sepenuhnya sadar. Tetapi, apakah juga mungkin seorang musafir telah menuliskan sebuah kebohongan di surat kabar, sebuah cerita rekaannya mengenai seekor ikan paus merah. Apakah itu artinya buatnya.

Dia hanya menuliskan cerita-cerita orang yang mengaku telah bertemu dengan paus merah itu. Mungkin orang-orang itu yang salah, atau mungkin orang-orang itu hanya mengaku-aku sudah pernah bertemu dengan ikan paus merah itu, padahal sebenarnya belum. Mungkin, mereka hanya sekedar membual untuk mendapatkan sedikit ketenaran. Mungkin ikan paus merah itu sama sekali tidak ada. Tapi banyak orang yang telah bercerita demikian sebelumnya, banyak orang dari segala jaman di seluruh penjuru dunia. Mungkinkah sedemikian banyak orang telah membuat bualan-bualan yang serupa?

Atau mungkin yang kulihat bukanlah ikan paus merah yang dilihat orang-orang itu yang kemudian diceritakan oleh musafir itu. Yang kulihat adalah ikan paus merah yang lain, yang tentu saja membuat mereka terlihat berbeda satu sama lain, karena memang tidak sama.
Semua kemungkinan yang terlintas di kepalaku sama tidak masuk akalnya dengan cerita mengenai ikan paus merah itu sendiri.

Entahlah. Setidaknya dalam hati kecilku aku merasa sepenuhnya pasti dan yakin bahwa aku telah benar-benar melihat ikan paus merah itu. Kenyataanku mengenai ikan paus merah itulah kebenaranku.

Itulah. Aku ingin sekali menceritakan pengalamanku bertemu dengan paus merah ini kepada musafir itu, yang pernah menuliskan cerita tentang paus merah itu. Aku ingin dia tahu, bukan seperti itu kenyataan yang sebenarnya. Untuk menyadarkan musafir itu bahwa mungkin dia telah berbuat salah dengan menuliskan sebuah kebohongan di koran, atau bahwa dia mungkin telah termakan oleh bualan orang-orang yang mengaku telah melihat ikan paus merah itu. Aku ingin mengatakan sebuah kebenaranku ini. Mengenai seekor ikan paus merah yang telah pernah kulihat.

Untuk itulah aku saat ini aku seperti dipaku di mejaku, mengetikkan judul ceritaku tentang paus merah itu, yang akan segera kukirimkan ke sebuah koran lokal; bahwa “Aku Melihat Ikan Paus Merah Itu”. Sejak kala itu, sepulangku dari sebuah perjalanan dengan kapal, belum terlalu lama dari sekarang.

“Aku Melihat Paus Merah Itu”…. Ikan paus merah yang benar-benar berbeda dengan ikan paus merah dalam cerita musafir itu.

Mungkin dia yang akan menuduhku berbohong, sekedar mencari sebuah ketenaran. Tapi mungkin juga dia akan sangat berterima kasih padaku yang telah menuliskan pengalamanku melihat paus merah itu untuk dia. Bukankah di akhir ceritanya dia sangat berharap untuk mendapatkan cerita mengenai paus merah itu dari orang yang telah pernah melihatnya? Agar orang yang melihat paus merah tersebut menuliskan di koran, siapa tahu dia membacanya dalam perjalanannya.

Sungguhkah dia ingin mendengar ceritaku? Bagaimana bila tidak? Bagaimana bila ternyata permintaannya untuk menuliskan cerita tentang paus merah itu hanya basa-basi belaka? Bagaimana bila dia malah kecewa, ketika aku menuliskan hal yang berbeda mengenai paus merah itu. Bukankah yang diharapkannya adalah sebuah kenyataan mengenai ikan paus merah seperti halnya yang dia tuliskan berdasarkan cerita-cerita orang mengenai ikan paus merah itu? Kenyataanku mengenai paus merahku adalah hal yang sangat jauh berbeda. Hanya ada satu persamaan bahwa ikan paus merah itu berwarna merah.

Betapa akan sangat menyakitkan sebuah kekecewaan.

Bagaimana jika dalam perjalanannya yang terakhir dia telah bertemu paus merah itu dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata ikan paus merah yang seperti cerita banyak oranglah yang dilihatnya. Bukan seperti ikan paus merahku.

Mungkin benar dugaanku bahwa ikan paus merah yang kulihat adalah ikan paus merah yang lain, bukan ikan paus merah yang ada dalam cerita musafir itu.

Mungkin hanya sebuah halusinasi hasil dari imajinasi yang kebablasan.

Bagaimana jika dalam perjalanannya yang terakhir musafir itu telah bertemu paus merah itu dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata ikan paus merah seperti ceritakulah yang dilihatnya. Bukan seperti ikan paus merah orang banyak.

Aku masih saja duduk seperti di paku di depan mejaku menuliskan judul ceritaku yang akan kukirim ke sebuah koran lokal, “Aku Melihat Ikan Paus Merah Itu”. Sejak kala itu, sepulangku dari sebuah pelabuhan, belum terlalu lama dari sekarang.

Masih terngiang suka cita yang disenandungkan ikan paus merah itu, masih terbayang tatapan keteduhannya. Membawa kedamaian yang menyejukkan yang menetap hingga sekarang.


* Cerita ini sepenuhnya terinspirasi pada cerita pendek berjudul “ Ikan Paus Merah” dalam buku kumpulan cerita pendek “Sepotong Senja Untuk Pacarku” oleh Seno Gumira Ajidarma. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2002.

No comments: