Thursday, July 7, 2011

Perayaan 365 Malam

Suara azan ashar terdengar dari kejauhan. Terdengar riuh ditimpali oleh sahut-menyahut suara gelak anak-anak di pinggir jalan, teriakan penjual makanan keliling, dan deru satu dua kendaraan yang lewat. Cahaya sore menerobos masuk melalui ventilasi, jendela, dan pintu. Angin berdesir halus melalui pintu yang terbuka lebar.

Sejenak kupejamkan mataku, mencoba mendramalisir suasana sore ini. Segera setelah menyadari kekonyolan ini, aku melangkah menuju kursi terdekat.

Kursi bambu di ruang tamu kami berderit saat menerima pantatku yang tepos kebanyakan duduk. Seperti menjerit, tak rela pantatku singgah. Apa peduliku, sekencang apa pun jeritannya takdirnya adalah untuk diduduki. Kulepaskan sandal jepit, lalu bersila di atas kursi dengan tangan bersedekap. Posisi duduk favoritku. Lalu kutengok kalender di dinding sebelah kananku. Mataku terfokus pada bulatan hitamnya.

Ya, hari ini. 12 Mei 2010. Hari Rabu. Wage. Pon. Kliwon. Pahing. Legi. Entahlah. Kalender sekarang terlalu angkuh untuk mencantumkan hari pasaran, takut dibilang ndesa . Hari ini. Peringatan 12 tahun tragedi Trisakti.

“Te, sateeeee ….” Lengingan Yu Sani, penjual sate bergincu tebal, yang melintas di depan rumah. Kulihat dia berhenti sambil melongok-longok, berharap aku memesan satu pincuk satenya. Terlebih lagi berharap aku menggodainya lagi.

Sorry, Yu. Hari ini libur dulu.

“Sate, sateeee ….” Lengkingnya lagi sambil melangkah pergi.

Kecewa, nih ye ….

Sebaiknya, kembali ke kalender saja.

Bukan perkara tertembaknya mahasiswa yang lagi mendemo Soeharto, yang kemudian berbuntut pada amuk massa bahkan pemerkosaan massal itu, jika pada kalender di ruang tamu kami hari ini dilingkari dengan spidol besar warna hitam, melainkan karena hari ini adalah ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Tidak sekedar dilingkari saja, namun dalam lingkarannya pun dihitamkan sehingga angkanya tidak lagi kelihatan.
Istrikulah oknumnya. Dia melakukannya begitu kami menerima kalender ini dari salah seorang kerabatnya yang bekerja di sebuah bank swasta akhir Desember tahun lalu. Siapa lagi kalau bukan dia, karena hanya dia satu-satunya orang konyol di rumah ini.
Biar tidak kelupaan, alasannya waktu itu.

Bagaimana mungkin aku akan lupa dengan hari yang paling bersejarah dalam kehidupanku ini, aku langsung memprotesnya. Akting saja sebenarnya. Bohong, karena memang dasarnya aku tidak pernah mau mengingat-ingat segala tetek-bengek tanggal-tanggal. Aku takut otakku bakal hang karena overload oleh segala macam informasi remeh-temeh semacam itu. Maklum, kapasitasnya cuma terbatas. He he ….

Istriku mencibir tidak percaya, lalu mengingatkan kalau bulan sebelumnya aku sudah melupakan hari ulang tahunnya.

Aku protes lagi, masih pura-pura, bukannya aku lupa hanya agak terlambat memberi selamat saja.

Seharian itu memang sama sekali tidak terlintas dalam kepalaku bahwa hari itu adalah hari ulang tahun istriku. Aku baru teringat setelah sore harinya dia pulang kerja dengan senyum kecut tersungging di bibirnya sambil menenteng beberapa bungkusan kecil-kecil berlapis kertas kado. Teman-teman kantornya iseng memberinya hadiah barang-barang kecil seperti jepit rambut, gantungan kunci, cincin imitasi dan sebangsanya.

Syukur saja gerak refleksku masih bisa berfungsi dengan baik. Selagi dia masih di depan pintu, aku segera datang memeluknya, menciuminya dengan bertubi-tubi, seakan-akan aku tidak kelupaan bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya. Dalam hatiku merapal doa agar rentetan meriam tidak keluar dari mulutnya.

Kebetulan hari itu aku bangun setelah hari beranjak siang, gara-gara menonton bola sampai lewat jam empat pagi. Dengan demikian aku tidak melewatkan pagi bersama istriku. Hanya menggeliat sebentar lalu kembali melanjutkan mimpi ketika dia mengecup keningku, melumat pucuk hidungku. Aku pun punya alibi mengapa tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya pagi harinya.

Hanya karena tadi pagi bangun setelah kamu pergi, bukan berarti aku lupa, dustaku. Bahkan aku sudah menyiapkan the morning surprise buat kamu sedari lima hari yang lalu. Gara-gara bola, bangunku jadi kesiangan. Begitu pembelaan diriku waktu itu.
Sebuah pelukan dan ciuman hangat yang dilanjutkan dengan pernyataan cinta akan menjadi the morning surprise bila sengaja kulakukan pada pagi hari sebelum dia tersadar dari tidurnya. Sebuah ciuman yang dalam, dengan mulutku yang belum tersentuh air kumuran apalagi pasta gigi, yang akan segera memaksanya bangun. Yang sebenarnyalah sebuah surprise yang sudah tidak terlalu mengejutkan lagi dalam satu tahun perkawinan kami ini, saking sudah terlalu sering dan terlalu biasanya hal ini dilakukan untuk ukuran sebuah kejutan.

Beruntung istriku sangat tahu siapa aku, orang yang teramat susah untuk bangun pagi ini, sehingga sebenarnya buatnya the morning surprise yang sudah biasa ini tetap saja selalu terasa istimewa.

Sialnya, saking sangat tahunya dia akan aku, dia pun tahu kalau waktu itu aku berbohong. Dia bersikeras bahwa aku bersalah, argumenku mental.

Kalau pun memang ingat mengapa seharian tidak menelepon, dampratnya.

Sengaja untuk membuat kejutan, tangkisku.

Kejutan apanya, nyatanya tidak terkejut, katanya tambah merengut. Lagipula mana hadiah ulang tahunnya.

Aku hanya bisa cengengesan sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Selanjutnya beragam omelan meluncur dari mulutnya sepanjang sisa hari itu. Isinya tentang sudah betapa keterlaluannya aku. Seorang penulis yang tidak romantis.
Hitungannya masih pengantin baru saja aku sudah tidak menaruh perhatian padanya, lupa hari ulang tahunnya, akan terbayang apa yang akan terjadi jika nanti kami sudah menikah bertahun-tahun lamanya. Bisa-bisa berapa ukuran branya pun aku menjadi lupa.

Untung waktu itu dia tidak mengujiku dengan menanyakan berapa ukuran branya. Soalnya aku tidak tahu, aku tidak pernah sempat melihat label ukurannya sewaktu mencopotnya.

Omelannya baru berhenti ketika kami sudah berbaring di tempat tidur, ketika tanganku merengkuhnya dalam pelukanku. Tidak mau kehilangan kesempatan, segera kulumat bibirnya yang terdiam dan kukatakan betapa aku sangat mencintainya, betapa pun dia menjadi sangat menjengkelkan ketika sedang kumat cerewet.

Dia membalas pelukanku, kecupanku. Katanya betapa dia sangat mencintaiku, betapa pun aku menjadi sangat menjengkelkan karena terlalu cuek, tidak romantis, dan tidak perhatian.

Happy end. Kami habiskan malam itu dengan tidur saling berpelukan. Seperti biasanya juga.

….

Satu bukti, betapa ampuhnya sebuah pelukan, kecupan, dan pernyataan cinta.
Berdasar pengalaman itu maka aku lebih prepare untuk kali ini. Hari ulang tahun perkawinan kami yang pertama ini. Hari ini. 12 Mei 2010.

Perayaan 365 malam kami.

Hari-hari sebelumnya tak sedikit pun kami membahas tentang hari ini, bahkan sampai kemarin sekali pun. Aku tahu dia sengaja menjebakku. Dia pasti sudah bertaruh dengan teman-temannya, bahwa aku pasti melupakan hari ini. Aku pun sengaja tidak menyinggung barang secuil. Akan kubuat dia terkejut dan kalah taruhan.

Walhasil, the morning surprise-ku pagi tadi pun sukses. Dia begitu terkejut sampai hampir mati, akunya. Tidak menyangka bahwa aku sudah berubah kini. Menjadi romantis dan penuh perhatian. Dia lalu tersenyum terlalu lebar, ke-GR-an. Bunga-bungaan kutahu langsung bermekaran di dadanya. Langsung bermekaran begitu saja, sampai-sampai lupa untuk menjadi kuncup terlebih dahulu.

Dengan sedikit nggombal kukatakan, hanya semata-mata karena cintanya saja aku mampu berubah seperti ini, membuang jauh-jauh kecuekanku.

Dia pun tersipu-sipu. GR-nya semakin menjadi-jadi. Dadanya semakin sesak oleh bunga-bunga yang bertambah mekar.

Waktu kutanyakan padanya bagaimana kami akan memperingati hari ini, dia bilang kalau hari istimewa ini sepatutnya dirayakan dengan cara yang istimewa pula. Dia akan pulang cepat, lalu kami akan berboncengan motor keliling kota, menyinggahi tempat-tempat favorit kami, dan puncak perayaan adalah dengan makan malam. Oke, aku langsung saja setuju.

Makan malamnya tentu saja tidak sembarangan, tapi dengan menu yang istimewa: sayur asem, empal goreng, dan sambal terasi. Tentu saja aku yang menjadi kokinya, karena memang selalu aku yang menjadi juru masak di rumah ini. Istriku spesialisasinya memasak mi instan dan menggoreng telur.

Aneh? Tidak juga. Hari ini adalah hari istimewa, sudah seharusnya dirayakan dengan istimewa. Kami akan makan malam dengan menu istimewa itu, sayur asem, empal goreng, dan sambal terasi. Kesukaanku sayur asem, dia empal gorengnya, kesukaan kami berdua sambal terasi.

Kompromi yang sempurna, bukan?

Kompromi yang sempurna di hari yang istimewa.

Kali ini aku sepaham dengannya, memang benar-benar istimewa hari ini. Selama 365 hari ini kami telah menjalani hidup sebagai suami istri. 365 hari kami telah berteduh di bawah atap rumah yang sama. Dan yang terpenting, 365 malam kami tidur di ranjang yang sama dengan selalu berpelukan sepanjang malam. Selalu dengan berpelukan. Betapa pun hebatnya pertengkaran kami pada pagi, siang, ataupun sore harinya. Betapa pun gerahnya cuacanya.

Istimewa, kan?

365 malam yang istimewa sehingga memang sepantasnya dirayakan.
Omong-omong sambal terasi, badanku baunya sudah seperti terasi. Mungkin sebaiknya aku mandi dulu.

Kursi berderit saat kakiku turun dan beranjak.

Sudah pukul empat. Seharusnya istriku sudah sampai rumah. Sebentar lagi, mungkin. SMS-SMS-ku belum juga dibalasnya. Mungkin dia masih sibuk kesana kemari. Mau telepon pulsaku sudah tidak cukup untuk menelepon, tinggal beberapa ratus saja. Tadi waku ku-dial nomornya, hanya ada suara mbak-mbak yang mengingatkan bahwa pulsa sudah tidak mencukupi untuk melakukan panggilan disertai dengan anjurannya untuk segera mengisi pulsa. Untung saja sekarang ini lagi musimnya operator telepon selular jor-joran membagi bonus SMS sampai beratus-ratus SMS. Entah sudah sebelas atau dua belas SMS kukirimkan tadi.

Yang penting sayur asem, empal goreng, dan sambal terasi sudah siap di meja makan. Segelas tehnya pun sudah. Ini, nongkrong di atas meja.

Sabar, suami sabar dikasihi Tuhan.

Setelah pintu depan kututup, aku menuju kamar mandi.
**

Duh!

Kukibas-kibaskan kepalaku yang basah. Air memercik kesana kemari.

Segar, setelah panas seharian ini.Mungkin nanti hujan. Semoga pas malam saja. Istriku pasti senang bukan kepalang. Romantis, menurutnya.

Musim kemarau kok, berharap hujan. Kan, pemanasan global. Hujan bisa kapan saja. Tak perlu memandang musim. Sebagaimana panas yang juga bisa kapan saja, tanpa lagi memedulikan perhitungan bintang-bintang.

Lagian apa salahnya berharap, ini kan hari istimewa kami.

Istimewa kok, cuma berkaos oblong dan berjeans belel seperti ini? Tapi ya masa mau pakai baju batik? Memangnya mau kondangan? Masih ada baju batik di gantungan baju. Hari Minggu lalu kupakai menghadiri pernikahan Hasan.

Aku teringat senyum lebar kedua mempelai itu kemarin. Pasti bahagia sekali. Pasti. Karena dulu kami juga berbahagia sekali.

Momen yang sama. Tepat setahun dari sekarang.

Sebelum larut dalam kenangan, aku teringat jam.

Jam lima. Berarti empat lebih seperempat. Jam di kamar tidur kami sengaja diputar seperempat jam lebih cepat dari seharusnya. Siapa lagi kalau bukan istriku yang melakukannya. Entah konyol, ataukah tolol tindakannya itu. Antisipasi biar tidak telat, alasannya. Tapi tetap saja dia mengurangkan 15 menit setiap kali melihat jam kamar. Percuma.

Hmmm …, seharusnya empat puluh lima menit yang lalu dia sudah pulang, seperti janjinya tadi pagi.

Paling sebentar lagi. Sebentar lagi suara motor tuanya yang gaduh pasti terdengar. Ngakunya saja pecinta lingkungan, anggota green peace, tapi motornya berasap pekat juga.

Biasanya dia berhenti tepat di depan jendela. Setelah dua atau tiga kali dibunyikannya klaksonnya, baru akan kubukakan pintu. Begitu kulongokkan kepala, disuguhinya aku dengan cengirannya.

Segera setelah dimatikannya motornya, berbagai cerita pun mengalir deras dari mulutnya. Mengenai apa saja. Pejabat yang diperiksa KPK, teman kantornya, kliennya, teman kliennya, kenalannya, bekas kenalannya, artis yang baru saja bercerai, bahkan bakul panganan yang setiap hari mampir di kantornya.

Setelah istriku masuk rumah dan duduk, atau berbaring, di kursi bambu di ruang tamu, aku akan segera membawakan segelas teh ginastel -nya. Sebelas dua belas dengan seekor anjing yang duduk di bawah kaki tuannya yang sedang membaca koran, dengan setia aku duduk di sebelahnya dan menampung segala ceritanya. Begitu habis ceritanya, giliranku untuk menceritakan cerita-ceritaku kepadanya. Dia mendengarkan sambil merem melek menikmati teh.

Istriku lalu pergi mandi. Kalau belum puas bercerita, kadang ceritanya bisa sampai berlembar-lembar jika dituliskan, dia akan meneruskan ceritanya dari kamar mandi. Jika begini maka jatah berceritaku pun mundur. Biasanya menjadi setelah makan malam sampai dengan menjelang tidur. Aku mendengarkan istriku dari meja makan. Ruang makan memang berhadapan dengan kamar mandi. Sebaliknya jika ceritaku yang lagi panjang, maka istriku mendengarkan sembari mandi.

Terkadang istriku akan memancing-mancingku dengan sengaja tidak menutup pintu kamar mandi, atau berpura-pura kelupaan handuk, kehabisan pasta gigi atau sabun dan memintaku untuk mengambilkannya. Bisa ditebak, apa yang kemudian akan kami lakukan bersama. Kucing kok, disodori ikan asin.

Acara mandi bareng kami yang terakhir terjadi seminggu yang lalu, terganggu oleh ketukan Pak Kirno yang bermaksud meminjam motor untuk mengantar anaknya pergi berobat. Jangan sampai hal itu terulang di hari istimewa kami ini. Bukannya apa-apa, untuk menjaga mood istriku. Jika sudah terganggu seperti itu, mood-nya langsung drop. Mendekati mustahil untuk mengembalikannya pada mood-nya semula.

Semoga saja nanti dia tidak sengaja memancing-mancing dengan sengaja tidak menutup pintu kamar mandi, atau berpura-pura kelupaan handuk, kehabisan pasta gigi atau sabun. Sekali mood-nya drop, rusaklah semuanya. Perayaan yang sudah kami rancang sedemikian rupa ini akan gagal total.

Bagi kami urusan begituan memang khusus jadwal malam hari, bukan di sore, siang, maupun pagi, sesuai dengan situasi dan kondisi pertetanggaan kami. Tetangga bisa saja mengetuk pintu rumah kami tiba-tiba, dengan alasan yang beraneka rupa. Pak Roni dengan gitarnya. Pak Amir. Bu Dayat. Bu Yanti. Pak dan Bu Prapto. Andi. Bu Mardi. Bu Sadikun ….

Jadi daripada terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, maka lebih baik jika jadwal urusan begituannya dikhususkan malam hari saja. Hanya saja, namanya juga manusia, manusiawi jika kadang kala menyalahi jadwal bikinannya sendiri. Seperti acara mandi bareng kami yang akhirnya berantakan itu.

Tapi tenang saja, kecupan dan sentuhan-sentuhan kecil mungkin masih memungkinkan. Sekedar pemanasan untuk yang benar-benar panas malam nanti.

Hiii …. Membayangkannya aku jadi merinding sendiri.

Sebelum larut dengan imajinasiku, lagi-lagi aku teringat jam. Sudah lewat setengah lima. Lebih baik kutunggu istriku di ruang tamu saja sambil membaca-baca draft novel.

Membaca-baca.

Entah sudah berapa puluh kali draft novel ini kubaca ulang. Yang terakhir tadi malam, masih kusempatkan untuk membacanya sambil memeluk istriku yang sudah dibuai mimpi.
Aku masih saja menyebutnya draft novel, sedangkan Norman sudah gatal untuk mencetak dan menerbitkannya. Norman, sahabat, editor, sekaligus penerbitku, bahkan sampai memohon-mohon. Menurutnya rakyat Indonesia sudah haus akan bacaan yang bermutu semacam ini. Tunggu apa lagi, keburu basi, katanya.

Apaan, dibawanya pula rakyat Indonesia segala.

Entahlah. Aku belum merasa puas. Aku belum mencapai kenikmatan tertinggi sampai dengan saat ini. Seperti orgasme yang tinggal sejengkal. Masih bikin penasaran.
Perfeksionis, gangguan jiwa, atau apalah, mungkin saja benar. Yang kutahu aku hanya ingin menyuguhkan yang terbaik bagi pembacaku. Itu saja.

Menurutku sebenarnya bukanlah hal yang aneh juga. Tolkien saja butuh 12 tahun untuk menyelesaikan trilogi Lord of The Rings-nya. Bahkan dia sudah keburu mati saat film yang diangkat dari novelnya itu menjadi box office, mengeruk keuntungan ratusan dollar.

Dasar, penulis. Penulis itu memang pada sakit jiwa semua, kata istriku.

Plegmatis akut, kata Karen, psikolog sableng sahabat karib istriku.

Kusambar ponselku, langsung masuk kantong celana.

Belum juga dibalasnya SMS-ku tadi.
**

Kurang dari sepuluh langkah aku sudah berada kembali di ruang tamu. Duduk di kursiku tadi, dengan posisi seperti tadi. Namanya juga rumah tipe 45. Bahkan tidak ada satu menit jika memang ingin mengitarinya.

Rumah ini kami beli setahun yang lalu, tepatnya dua bulan sebelum kami menikah. Anak kami sudah dua, rumah ini baru akan lunas.

Sebenarnya mertuaku menawari memberi tambahan uang muka agar kami bisa mengambil rumah yang lebih besar. Kami berdua kompak menolaknya. Gengsi dong, alasan kami waktu itu. Padahal sebenarnya karena ketidaksanggupan kami membayar cicilan per bulannya yang otomatis jatuhnya akan lebih besar daripada rumah tipe ini. Coba kalau yang mereka tawarkan sekaligus uang muka dan cicilan per bulannya, kami pasti langsung tergopoh-gopoh menerimanya. He he ….

Aku cuma seorang penulis pemula, baru dua novelku yang diterbitkan Norman walaupun novel yang kedua sudah dicetak ulang ketiga kalinya ini, sedangkan istriku pekerja LSM kecil yang sepi proyek besar. Bisa terbayang kan, berapa kemampuan finansial kami?

Lagipula rumah ini pun sudah lebih dari cukup. Dengan halaman depan tidak berpagar yang dipenuhi rumput-rumput liar yang kering di waktu musim kemarau, yang meninggi saat hujan datang. Teras selebar satu meter yang kosong, tempat istriku memarkir motornya. Ruangan yang terdiri dari ruang tamu merangkap ruang keluarga, kamar tidur, ruang kerja, ruang makan, dan kamar mandi. Halaman belakang yang difungsikan sebagai dapur dengan lantai semen, atap asbes dan dinding papan.

Sederhana, tapi nyaman.

Salah! Yang benar sederhana dan nyaman.

Lihat saja ruang tamu ini.

Teramat sangat minimalis sekali. Ruangan ini hanya berisi satu set kursi tamu dari bambu wulung, yang sudah terlihat kusam dan satu dua bilah bambu sandarannya patah, dengan bau yang sedikit apek karena keringat kami dan segala macam kotoran yang menempelinya. Pesawat televisi 21 inchi hadiah dari kakak iparku, stereo set hadiah dari kakak iparku yang satunya lagi, DVD player bawaan istriku, menjadi barang yang terlihat mewah di ruangan ini. Dindingnya pun sepi dari hiasan, hanya ada jam dinding dan kalender. Standar banget, ya. Seperti kalendernya, jam dindingnya pun pemberian sepupu istriku yang bekerja di sebuah bank swasta itu.

Kalau Rini, anak gaul masa kini, tetangga seberang rumah kami bilang: nggak modal banget, gitu loh!

Yang penting itu tadi, sederhana dan nyaman. Dengan ruang tamu seperti ini saja, kami, teman-teman kami, tetangga-tetangga kami, sudah sangat betah berjam-jam duduk untuk sekedar mengobrol ngalor ngidul tanpa juntrungan. Ruang tamu kami sedikit lebih mewah saja, aku yakin para teman dan tetangga itu akan susah disuruh pulang. Kalau seperti ini kan, malahan bahaya.

Biar sederhana dan nyaman, yang penting bahagia. Dan punya asuransi kesehatan, tabungan pendidikan, deposito. He he ….

Bahagia? Tentu saja bahagia, apalagi ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang pertama!

“Ya, Tuhan!” Kutepuk dahiku sekeras-kerasnya.

Aku melupakan sesuatu! Bukankah di setiap perayaan itu selalu ada hadiah? Paling tidak sebuah bingkisan kecil yang dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita?
“Celaka!” Bagaimana tidak akan celaka, aku tidak menyiapkan apa-apa, sedangkan istriku pasti sudah menyiapkan sesuatu untukku semenjak satu atau dua minggu yang lalu, yang kemudian disimpan di laci meja kantornya. Entah itu buku yang sedang ingin dibacanya, DVD film-film favoritnya, ataupun CD pelengkap koleksinya, yang selalu saja membuatku heran sebenarnya dia itu sedang menghadiahi siapa.

Apa pun itu, dia pasti sudah menyiapkannya.

Waduh, waduh! Bisa-bisa dia ngambek nanti. Kecewa, karena dianggapnya aku masih saja memperlakukan sebuah hari yang istimewa dengan biasa-biasa saja.

Padahal kami sudah sepakat kalau hari ini adalah istimewa. Bisa-bisa dipikirnya aku tidak konsisten.

”Bagaimana ini?” Kugaruk-garuk kepalaku mencari inspirasi. Sebentar lagi dia sudah akan sampai, tidak mungkin aku keluar untuk mencari hadiah. Bisa ramai nanti. Lagian tidak ada motor juga.

Apa akal?

Ah, the morning surprise tadi pagi anggap saja hadiah perkawinanku untuknya. Sesampainya dia di rumah nanti bisa saja kuhadiahkan padanya lagi, pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta dan ucapan happy 1st anniversary. Sebut saja sebagai the evening surprise.

Dia pasti benar-benar surprised. Tak menyangka akan mendapat hadiah seperti ini dariku. Lebih tepatnya, tak menyangka hanya akan mendapat hadiah seperti ini saja. He he …

Biar saja, daripada tidak sama sekali.

Lagi pula dia tahu betul kalau di dunia ini tidak ada yang lebih istimewa dari pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta. Betapa pun sudah seringnya itu dilakukan. Bahkan kukira dia akan setuju kalau semakin sering pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta diberikan akan semakin istimewalah dia.

Dia juga tahu betul kalau pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta adalah yang dibutuhkannya.

Pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta, adakah yang bisa mengalahkannya?

Tentu saja tidak ada.

Sayur asem, empal goreng, dan sambal terasi di meja makan, adakah yang lebih lezat darinya?

Tentu saja mereka yang terlezat.

Lagi pula masih ada segelas besar teh sebagai bonusnya. Segelas besar teh nasgithel , kesukaannya yang selalu tersedia sepulangnya dari kerja.

Tapi ngomong-ngomong kok, belum pulang juga , ya?

Aku sudah mulai gelisah.

“Jangan-jangan ….” Segera kutepis pikiran burukku. Aku yakin Tuhan masih begitu mencintai kami berdua. Dia tidak mungkin mengijinkan bencana menimpa istriku di hari istimewa kami ini.

Kalau begitu apa. Macet …? Tidak mungkin. Semacet-macetnya Solo, tidak bakalan membuatnya sampai sebegini telatnya. Masa sampai dua jam lebih. Atau motornya rewel …? Mungkin saja, dasarnya motor tua. Tapi hari Sabtu baru saja servis.

Kok ya, tidak menelepon, dasar.

Mungkin saking sibuknya.

SMS-ku belum juga dibalasnya. Coba ku SMS lagi saja.

Kok telat?

Send.

Tit-tit.

Terkirim.

Paling-paling dia ada kasus. Entah bocah dicabuli kakeknya, istri disetrika suaminya, atau kalau tidak pembantu digebuki majikannya. Rapat. Apa hari ini jadwalnya hearing di DPRD ya? Sepertinya kemarin dia sempat menyinggungnya.

Hearing-pun masa sampai sebegini sore.

Mbuh . Apa pun itu, kerja lembur di hari yang katanya istimewa ini, betapa menyedihkannya!

Seharusnya aku maklum. Istriku tidak seperti pekerja kantor lainnya yang jam lima tet sudah bisa pulang. Kalau pun harus tinggal di kantor lebih lama akan ada hitung-hitungan over time-nya. Istriku tidak. Jam kerjanya sering kali tidak tetap, tanpa adanya konsekuensi perhitungan biaya tambahan. Namanya juga pekerja LSM. LSM kecil, lagi. Lebih dari setengahnya menjadi kerja sosial.

Memang selama ini aku maklum. Untuk hari ini sepertinya agak susah untuk memakluminya. Dia sendiri yang bilang kalau hari ini adalah hari yang istimewa. Dia akan pulang cepat untuk merayakannya. Maksimal setengah empat. Tadi pagi dia mengatakannya dengan sangat meyakinkan. Kurasa juga tidak akan sulit baginya untuk pulang sedikit lebih cepat sekali ini saja. Paling tidak untuk satu hari ini saja.

Mataku tertuju pada televisi di depanku.

Aku sebenarnya paling benci dengan kotak ajaib di hadapanku ini, si nyinyir yang semakin nyinyir dari hari ke hari. Demi membunuh waktu tak urung kuraih juga remote control untuk menyalakannya.

Begitu menyala sang televisi langsung berdakwah mengenai pentingnya bagi perempuan memiliki wajah cantik berseri. Iklan baru sebuah produk pemutih wajah.

Jika istriku ada di sini dia pasti akan segera berkomentar dengan komentar yang bisa sangaaaat panjaaaang.

Dasar kapitalisme, tiada henti melakukan inovasi untuk melanggengkan komodifikasinya atas tubuh perempuan.

Terus saja harga diri perempuan direduksi sebatas tubuh yang dimilikinya saja. Lebih kurang ajar lagi, perempuan telah sengaja dibuat kehilangan kesejatian dirinya, karena dikondisikan agar terlalu sibuk untuk memburu cinta laki-laki. Hidupnya dibuat habis untuk memenuhi standar nafsu seksual laki-laki.

Dia bisa bicara mengenai hal ini sampai setengah jam. Tanpa memberi jeda untuk memberiku kesempatan bicara. Ngomong terus.

Sampai di bagian akhir dia akan mengutip beberapa bacaan, berikut dengan pengarang, penerbit, dan tahun terbitnya, lalu membuat analisa yang njlimet dengan mencampur-aduk beberapa macam teori, dan membuat kesimpulan yang selalu saja bernada bertanya.
Apa lagi ini, kesimpulan kok isinya pertanyaan. Kesimpulan kok malah menjadi permasalahan baru. Ada-ada saja.

Ada saja. Dan hanya dia satu-satunya.

Sekarang setengah enam. Mungkin lebih baik kubeli pulsa di sebelah sebentar.
**

Brakkk!

Ponselku menghantam tembok ruang tamu. Chasing-nya sampai lepas. Setelah berkali-kali tak sengaja terjatuh, ini sudah yang kedua kalinya ponsel itu kuhantamkan tembok. Sebelumnya saat istriku tidak juga mengangkat teleponku setelah kutelepon puluhan kali. Waktu itu aku ingin mengabarkan kalau ada saudara yang meninggal.

Tidak tahunya ternyata ponselnya ketinggalan di bawah bantal.
Bisa kupastikan kali ini ponselku pasti tamat riwayatnya.

Biar saja.

Istriku tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif. Tidak kutemukan di bawah bantal waktu aku merapikan tempat tidur tadi. Paling baterenya drop. Dia terlalu malas untuk sekedar meng-charge ponsel. Charger juga belum tentu kebawa. Kutelepon ke kantornya dibilang dari pagi dia di lapangan. Ada kasus.

Benar kan, pasti kasus.

Sudah hampir jam enam. Kok ya, tidak menelepon.

Bagaimana dia bisa meneleponku coba, ponselnya mati sedangkan nomor teleponku saja dia tidak hapal. Begitu mengakunya istri yang penuh perhatian pada suaminya. Tapi memang istriku ini mengidap kelainan yang aneh. Memorinya selalu saja kesulitan untuk mengingat sesuatu yang berbau angka. Nomor teleponnya sendiri saja dia tidak hafal.

Kelainan apa males, aku juga tidak begitu pasti.

Kubolak-balik draft novel di pangkuanku dengan pikiran yang melayang-layang.
**

Di antara banyak orang yang berlalu lalang, duduk maupun berdiri bergerombol, di sepanjang selasar kampus ini, gadis yang memakai rok pendek kotak-kotak merah hitam dengan kaos ketat hitam yang berdiri di dekat tangga itulah satu-satunya yang menarik perhatianku.

Entah apanya. Rambut ikal pendeknya yang terlihat masai. Wajah lelahnya yang tetap berusaha sumringah . Kantung matanya. Caranya berbicara. Caranya tersenyum. Mengacak rambutnya, berkedip. Menggerakkan tangan. Melambai. Menyentuh lawan bicaranya. Mencibir.

Dia menangkap basah pandangan mataku. Tersenyum lebar, dan seketika meninggalkan gerombolannya. Menuju aku.

Caranya berjalan. Caranya menatap. Matanya.

Tepat dia di depanku.

Aromanya.

“Hei ….”

Suaranya.

Segala sesuatu lalu diam sebagai es. Tersihir oleh sapaannya, yang seakan adalah mantra yang bahkan mampu memaksa bumi seketika berhenti berputar, membuat waktu tidak kuasa berdetak menghilangkan sepenggal peristiwa ini. Segala sesuatu pun tetap diam pada tempatnya, pada adanya. Sepertinya momen ini terlalu indah untuk berlalu, ditinggalkan, dan tertinggal sebagai sejarah yang dilupakan.

Dia saja yang memenuhi ruang anganku saat itu, tanpa menyisakan sedikit pun tempat bagi kesadaranku. Sampai kemudian dia tersenyum lebar. “Naksir, ya? Ngelihatin terus. Tapi nggak apa-apa, memang saya sudah biasa ditaksir, kok!” Lalu terbahak.

Caranya tertawa. Lepas. Bebas.

Mengulurkan tangannya. “Lena!”

Caranya menyebutkan namanya.

Kusambut jabatan tangannya. “Pras!”

Genggaman tangannya.

“Sudah saya duga.” Lalu nyengir kuda. “Tadi kesini bareng Norman, kan? Kebetulan saya lihat.”

Cengirannya.

“Novelnya bagus. Saya suka. Bener. Saya orangnya nggak ngerti sastra, tapi nggak tahu baca novel Anda, kok suka ya. Tempo hari saya beli, langsung dari Norman. Tadinya saya nggak tertarik, tapi Norman maksa. Setinggi langit pujiannya, sampai keluar buih dari mulutnya. Terang aja, dia yang nerbitin. Tapi suer, bagus kok! Hebat! Sayangnya mutu cetakannya jelek, cover-nya norak. Awalnya aja saya mikirnya, ini buku kok nggak meyakinkan banget gini. Biasa kan, orang beli buku karena penulisnya terkenal. Kalau nggak ya karena penulis baru yang diulas bagus oleh orang yang terkenal. Nah, kalau pun semua tidak, ya karena cover-nya yang bagus!” Dia berhenti untuk terkekeh-kekeh. “Eh, sekarang Normannya mana?” Matanya melihat berkeliling. “Itu dia, jalan sambil ngupil! Kebiasaan jelek! Ih, lihat senyumnya itu! Pasti sedang ada pikiran jorok di kepalanya!”

Norman menyeringai ke arah kami.

Perempuan di depanku ini mencibir. “Sok ganteng …”

Mungkin karena kesukaannya berbicara ini.
**

Demikianlah cara kami saling jatuh cinta. Aku dan perempuan itu, Maria Magdalena Prasojo-ku. Belahan jiwaku yang belum juga pulang itu.

Norman, hanya karena Norman hati kami bertautan. Sesuai dengan prinsip hidupnya bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatu sebenarnya telah diatur oleh Sang Sutradara untuk saling berkaitan satu sama lain. Bahkan sekedar satu lembar daun kering yang jatuh pun, menurutnya sebenarnya punya makna. Hanya saja seringnya manusia terlalu bebal untuk bisa menangkap maknanya.

Terkadang memang sok berfilosofi temanku yang satu itu.

Namun ketika kutelaah, Norman bisa jadi benar. Tidak kebetulan saat Norman dikeluarkan dari kampus gara-gara dalam satu semester hampir semua nilainya E karena memang tidak pernah masuk kuliah. Tidak kebetulan jika kemudian kakak-kakaknya marah dan tidak mau lagi menanggung hidup si Sastrawan Bengal itu, sehingga membuatnya terpaksa menghidupkan kembali percetakan kecil peninggalan mendiang ayahnya dan bergelut dengan urusan cetak-mencetak undangan pernikahan maupun sunatan. Tidak kebetulan saat dia kemudian mengenalku yang adalah salah seorang karyawannya, dan terkagum-kagum membaca tulisan-tulisanku lalu nekad mendirikan penerbitan hanya untuk menerbitkan novelku. Tidak kebetulan juga jika Norman yang sekaligus sahabat, editor, dan penerbitku itu lalu menawarkan novelku pada teman-temannya, termasuk pada Maria Magdalena Prasojoku itu.

Dia yang sedang kutunggui itu.

Enam kurang sepuluh. Baru juga telat dua jam lebih empat puluh menit. Belum seberapa lama. Biasanya juga lebih lama. Janjian jam berapa, datangnya jam berapa. Molor kayak permen karet. Memang dia sudah begitu sejak pacaran dulu. Aku saja yang salah, berharap terlalu berlebihan.

Ini hari istimewa, katanya.

Sabar, sabar ….

Kembali kubuka-buka draft novelku dengan sembarangan.

‘Plap’. Tangannya. ‘Plap’. Randu. ‘Plap’. Bau. ‘Plap’. Tante Hesti. ‘Plap’. Menulis. ‘Plap’. Ketas. ‘Plap’. Kaku. ‘Plap’. Satu. ‘Plap’. Memergoki. ‘Plap’. Ini. ‘Plap’.

‘Plap’!!

Sebenarnya aku sudah tidak sabar. Sangat tidak sabar! Tapi kata Karen, aku bisa belajar sabar. Untuk itu harus tenang.

Tenang. Tenang. Tenaaanggggg …..

Relaksasi. Pejamkan mata. Tarik nafas pelan-pelan. Tahan sebentar. Hembuskan pelan-pelan. Ulang beberapa kali. Hadirkan sebuah perasaan tenang. Bayangkan air sungai bening yang gemericik, mengalir pelan. Tenang. Tenaanggggggg ….

Aku kaget setengah mati saat wajah Karen muncul tiba-tiba berbarengan dengan suara azan maghrib. Buyar sudah relaksasiku.

Karen, dia seorang psikolog lulusan UI. Pintar, tapi tidak beretika. Sableng. Dia pernah bilang kalau Randu, tokoh dalam novel yang sedang kukerjakan ini, adalah aku. Pribadi ringkih yang krisis jati diri itu katanya hasil proyeksiku. Konflik si Randu itu sebenarnya punyaku.

Si Randu yang ‘sakit’ itu. Dia memang selalu lari tanpa tahu apa yang sedang dihindarinya, ataupun apa yang menakuti dan sedang mengejarnya. Bagaimana mungkin bisa tahu, untuk sejenak menatapnya saja dia tidak punya cukup keberanian. Dia memilih terus berlari.

Pengecut seperti itu dibilangnya aku.

Sialan.

Sejak itu aku benci sekali dengan psikolog itu. Kukira dia sudah menyalahi kode etik profesi dengan menuduhku seperti itu. Menyesal aku sudah memintai pendapatnya mengenai dinamika psikologi si Randu.

Huh, dasar psikolog kurang ajar!

Ketika sampai di ambang jendela baru kusadari kalau hari sudah mulai gelap. Jalan di seberangku sepi. Gerimis rapat. Barusan siang tadi aku berandai-andai hari ini hujan.
Apa mungkin dia kehujanan? Mungkin saja. Tapi ada jas hujan kok, di jok motor. Lagian cuma gerimis juga. Mungkin di kantornya hujan sudah deras.

Gerimis, hujan, di musim kemarau, di ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Pertanda apa ini.

Pertanda bumi semakin tua. Pemanasan global. Cuaca jadi susah diprediksi. Es di kutub mencair. Kiamat 2012!

Tidak usah menunggu 2012, malam ini nanti pun bisa kiamat kalau dia tidak sampai di rumah secepatnya.

Setelah menutup jendela, aku beranjak menghidupkan lampu teras, lampu ruang tamu, lalu duduk kembali di kursiku semula.

Kok ya, gerimis, ya. Kok ya, kebetulan sekali. Kurasakan dadaku sesak, lalu mataku mengabut.

Tepat satu tahun yang lalu dari sekarang, sore seperti ini, gerimis seperti ini, aku menghadapi istriku di altar gereja. Terpana oleh senyumnya yang merekah indah, mengalahkan indahnya sebuket lili putih di tangannya. Membawa hangatnya menjalar di sekujur tubuhku, melawan semilir dinginnya hujan dari pintu yang terbuka di belakangku.

Dia seperti bidadari. Bukan. Kebaya putihnya membuatnya terlihat seperti malaikat. Dia memang malaikatku. Setelah almarhum ibuku.
**

“Di hadapan Tuhan Allah dan jemaat Kristen di sini, saya menyatakan … menerima seutuhnya Maria Magdalena … Prasojo sebagai istri saya, karunia … Tuhan. Saya berjanji akan senantiasa mengasihi dan menolongnya …, dan setia baik suka maupun duka …, sesuai dengan kewajiban suami yang … baik. Saya dan istri saya … akan mempersembahkan segenap … kehidupan bersama kami bagi … kemuliaan nama Tuhan, dengan hidup … suci dan mematuhi firman-Nya. Ikatan ini tidak bisa … diceraikan, karena … Tuhanlah yang telah menyatukan … kami.”
**

Setelah aku mengucapkan janjiku dengan tersendat-sendat, istriku pun lalu melakukannya dengan cara yang sama.
**

“Di hadapan … Tuhan Allah dan jemaat Kristen di sini, saya menyatakan … menerima seutuhnya Prasetyo sebagai … suami saya, … karunia Tuhan. Saya berjanji akan senantiasa mengasihi … dan menolongnya, dan setia baik suka … maupun duka, sesuai … dengan kewajiban istri … yang baik. Saya dan suami saya akan … mempersembahkan segenap kehidupan bersama kami … bagi kemuliaan nama Tuhan, dengan … hidup suci dan mematuhi firman-Nya. Ikatan … ini tidak bisa … diceraikan, karena … Tuhanlah yang telah … menyatukan … kami.”
**

Setelah istriku selesai mengucapkapkan janjinya, dengan setengah hati kulepaskan genggaman tanganku pada tangannya. Tidak rela. Aku masih ingin mendekap tangannya lebih lama, karena kurasakan seperti ibu sedang hadir. Ada hangat di punggungku seperti ibu sedang memelukku. Ada suara lirih hinggap di telingaku. Seperti ibu yang kembali berbisik untuk tidak pernah melupakan sebuah pelukan, ciuman, dan pernyataan cinta.

Jangan pernah lalai, pesannya katika kubawa Lena kepada beliau di rumah sakit.
Seperti dinginnya air mata ibu yang sedang menitik di daun telingaku.

Ibu menangis, tanyaku waktu itu.

Ibu bahagia, jawabnya.

Ibu bahagia, tanyaku

Ibu mengangguk, mempererat pelukannya, menciumku, dan mengatakan cintanya padaku.

Lakukan ini pada istrimu ya, Le, katanya.

Pasti, Bu.

Menikahlah hanya dengannya. Maria Magdalena Prasojo.

Pasti, Bu.

Seumur hidupmu.

Pasti, Bu.

Air matanya semakin membanjiri telingaku.

Pelukan, ciuman, dan pernyataan cinta terakhirnya, karena setelah itu Ibu koma dan dua hari kemudian Ibu pergi.

Perempuan tangguh itulah yang telah mengajariku untuk selalu memeluk, mencium, dan menyatakan cinta, dengan senantiasa memeluk, mencium dan menyatakan cintanya padaku. Walau tidak pernah lagi dalam lebih dari separuh usianya dia mendapatkan itu semua dari suami yang menghilang di rimba raya Sulawesi sejak aku masih berupa janin di perutnya.

Berharap dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik, ayah memutuskan menjadi transmigran. Ibu yang sedang hamil muda ditinggalkannya di rumah berdinding papan milik mereka, dengan janji akan kembali datang untuk menjemput kami setelah kehidupan di sana mantap.

Nyatanya hanya surat-surat Ibu pada tahun pertama saja yang dibalasnya.

Nyatanya tak selembar wesel pun yang dikirimkannya.

Nyatanya kami dengar kabar burung dia telah beranak pinak di sana.

Nyatanya Ibu tetap hidup di rumah berdinding papan itu sampai aku sanggup mengganti dindingnya dengan tembok setelah aku bekerja selepas SMA di percetakan ayah Norman.

Lelaki itu pun akhirnya terlambat pulang. Dia hanya bisa memeluk pusara Ibu, menciumi nisannya, sambil meraung-raung bahwa dia menyesal karena sebenarnya masih tetap mencintainya.

Tak sudi aku memanggilnya ayah. Memandang mukanya pun aku tidak. Aku hanya melihat dari balik jendela punggungnya yang menjauh di antara lebatnya hujan sore itu. Punggungnya jatuh, seperti tentara yang kalah perang.

….

Jika mau jujur, ada kemungkinan si Karen benar. Aku si Randu itu.

Kubuka sembarang halaman novelku. Lalu mulai memaksakan diri berkonsentrasi membaca.

Membunuh waktu.
**

“Plap!!!”

Mati-matian kucoba untuk berkonsentrasi, gagal. Pikiranku bercabang kesana-kemari. Mereka-reka kemungkinan yang menyebabkan istriku belum juga sampai rumah sampai saat ini.

Sudah setengah tujuh. Punggungku sudah mulai pegal, dia pun sudah mulai menyebalkan.

Sabar, sabar.

Mungkin benar, di jalan sudah sedari tadi deras. Mungkin dia lagi berteduh. Mungkin saat ini dia sedang memaki-maki terjebak hujan. Mungkin …

Aku terlonjak mendengar suara pintu diketuk orang. Tidak mungkin dia. Aku tidak mendengar deru motornya. Lagipula mana pernah dia pulang dengan mengetuk pintu. Paling banter mengklakson berulang kali sambil nongkrong di atas motornya.
Ngerjain, mungkin.

Kursi berderit saat kutinggalkan.

Kalau bukan Pak atau Bu Prapto, ya Bu Yanti. Atau Pak Kirno mengabari anaknya meninggal. Hush!

Kusibakkan tirai sambil memutar handel pintu. Benar saja, Bu Mardi.

Dengan latar belakang hujan yang deras, ibu-ibu paro baya ini berdiri di depan pintuku lengkap dengan senyumannya yang mengembang, daster kedodoran bermotif kembang-kembang, dan payung besarnya yang penuh dengan gambar kembang. Kumbang mana juga, yang mau menghinggapi ibu ini. Selain kumbang jantan bernama Mardi tentunya.

“Malam …”

Ya, Tuhan! Suaranya mendesah sambil mengerling genit lagi!

“Mbak Lena belum pulang, Mas …?” Tanyanya dengan penekanan berlebihan pada kata “mas’, sambil memutar-mutar gagang payungnya dan menggoyang-goyangkan badannya. Air hujan memercikiku.

“Belum, Bu. Kayaknya lembur. Ada apa ya, Bu?” Pertanyaanku masih ada di ujung lidahku, aku sudah bisa menduga apa jawabannya. Rabu malam, sinetron favoritnya.

Rabu malam adalah jadual kunjungan tetap Bu Mardi ke rumah kami setelah mengunci kedua anaknya di rumah. Bu Mardi ini maniak sinetronnya sudah mendekati ambang kritis. Akunya kalau sampai ketinggalan satu episode saja, badannya bisa meriang tiga hari. Sudah satu bulan ini televisinya dijual suaminya yang kalah judi. Alhasil dalam satu bulan ini juga, setiap Rabu malam Bu Mardi selalu mengunjungi kami. Setiap Rabu, dalam segala cuaca.

“Biasa, malam Kamis kan, Mas!” Jawabnya sambil kembali menerling dan tersenyum lebar. “Masa sih, lupa?”

“O iya, ya! Sinetronnya Bu Mardi, ya! Mari masuk saja, Bu!” Basa basi, basi! Bilangnya mari masuk saja, tapi aku tidak juga bergeser dari tempatku berdiri, tetap di tengah-tengah pintu.

“Kalau Mbak Lena belum pulang, ya ndak usah aja, Mas! Ndak enak sama tetangga. Dikira nanti kita berdua ngapa-ngapain ndak ada Mbak Lena gini! Atau malah kita jadi ngapa-ngapain beneran. Malam-malam apalagi hujan begini suka ada setan lewat kan, Mas!” Katanya sambil terkekeh-kekeh.

Setannya lagi berdiri di depanku, batinku. Mak Lampir. Nini Pelet. Kuntinak. Wewe Gombel. Buto Ijo. Dan lain-lain.

“Permisi dulu, Mas! Saya ke tempatnya Jeng Rini saja! Pareng ya Mas, ya!” Pamit Bu Mardi sambil meninggalkan kerlingannya. Dalam waktu kurang dari lima menit sudah tiga kerlingannya kudapatkan.

Untung setannya sudah lewat.

Aku menutup pintu sambil menghela nafas lega. Kenapa tidak setiap Senin saja istriku pulang malam, ya? Dasar manusia! Barusan memaki-maki keterlambatannya, sekarang malah mensyukurinya!

Bu Mardi ini sering kali menjadi bahan pertengkaran kami. Aku tidak suka istriku sering-sering kumpul dengan dia, sang penggosip nomor satu di kompleks perumahan ini. Istriku terlalu lemah kepadanya. Apa pun maunya dikasih. Berjuta alasannya: ‘cuma dengerin dia ngomong, kok!’, ‘kasihan, dia tuh sebenarnya cuma kesepian’, ‘dia itu korban, sepatutnya ditolong’, dan lain sebagainya.

Yang kutahu, Bu Mardi itu norak, menjengkelkan.

Aku bahkan belum beranjak dari depan pintu saat pintu kembali diketok. Tanganku pun masih memegangi handel pintu. Dari jendela, aku tahu kalau Pak Prapto yang datang berkunjung.

Dengan latar belakang hujan deras sebagaimana Bu Mardi tadi, Pak Prapto dengan memakai sarung dan kaos oblong, sambil menenteng papan catur di tangan kiri dan payung di tangan kanan, terkekeh girang begitu kubukakan pintu.

“Skak, skak …!” Katanya.

Sebagaimana Bu Mardi juga, Pak Prapto ini juga salah satu orang yang menjadi alasan aku dan istriku bersitegang. Perkara abu rokoknya yang bertebaran di mana-mana, asap rokoknya yang selalu mengepul layaknya lokomotif, tertawanya yang nyekakak menggelegar, celetukannya yang sering kali mendiskreditkan perempuan, dan lain-lain.

Aku cuma punya satu jawaban untuk itu semua. Jawaban yang menjadi pertanyaan untuk dia: jika demikian, kenapa kamu masih juga membukakan pintu untuk Bu Mardi?

Ah, Pak Prapto, Pak Prapto. Satu lagi, the wrong man in the wrong place and wrong time! Pokoknya parah! Bisa kubayangkan apa yang akan terjadi jika Pak Prapto masih disini saat istriku pulang nanti.

B untuk B E N C A N A !

“Nak …? Nak Pras …?”

Aku tersadar dari lamunanku. Segera kuperlebar senyuman artifisialku, mempersilakannya masuk. “Ayo, masuk Pak!”

Pak Prapto segera menuju kursi bambu kami, meletakkan papan catur dan tanpa ijin menyalakan televisi. Disingkapkannya sarungnya untuk mengambil rokok yang disimpan di celana kolor di balik sarungnya.

Pertunjukan pun dimulai. Minimal dalam waktu tiga jam kedepan aku ikut menikmati asap rokok Pak Prapto, yang akan menjebolkan paru-paruku sepuluh tahun lagi.

Rokok Cap Mbako, asli bikinan Kudus. Super nikmat, tiada tanding, tiada banding. Konon Pakdhenya, atau Pakliknya, atau apanyalah, adalah sang pengusaha si rokok cap Mbako. Dialah yang selalu setia mengirimi Pak Prapto rokok yang super nikmat, tiada tanding, tiada banding itu.

elum lagi abunya. Bertaburan di mana-mana, layaknya abu vulkanik Gunung Merapi!
Untuk kedua kalinya aku merasa beruntung istriku belum pulang.

Kuhempaskan nafasku bersamaan dengan daun pintu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi istriku yang membukakan pintu untuk Bu Mardi. Dia sebenarnya kadang, mungkin, atau pasti, juga mengalami dilema yang sama. Dengan gontai kulangkahkan kaki ke kursi di seberang kursi Pak Prapto. Ya, beginilah susahnya hidup rukun dengan tetangga.

Rukun dengan tetangga sih, rukun. Tapi apa jadinya nanti kalau sampai istriku pulang sebelum Pak Prapto pulang?

Benar-benar kiamat 2012 dipercepat menjadi malam ini.
**

Suara motor kami yang berisik semakin mendekat. Lampunya menyorot jendela.
“Nyonyah, Nak?” Tanya Pak Prapto sambil terus memelototi bidak catur.
“Sepertinya, iya.” Perasaanku sangat tidak enak. Sesuatu yang buruk sepertinya akan terjadi.

Kursiku berderit. Aku melangkah mendekati pintu, memutar handelnya. Istriku sudah di depan pintu. Dia tersenyum sambil mematikan mesin motornya. Aku balas tersenyum.

“Kok telat?” Tanyaku.

“Ada kasus. Maaf, ya?” Katanya sambil mengusap pipiku dan memonyongkan bibirnya. “Rindu kamu juga, suamiku. Muah-muah …!”

“Lembur, Nak Lena?” Sapa Pak Prapto sembari menganggukkan kepala.

Seketika ekspresi wajah istriku berubah 180 derajat. Diam, diturunkannya tangannya dari pipiku. Mukanya merah, memendam marah. Perlahan dipalingkannya wajahnya ke arah Pak Prapto. Kutengok Pak Prapto kembali mengangguk dan tersenyum. Perlahan istriku memalingkan wajahnya padaku kembali. Kulihat mukanya semakin merah. Seperti menahan sesuatu, sepertinya tidak sekedar marah.

‘Brak!’ Sepeda motor didorongnya jatuh. Lalu kulihat perlahan warna merah tampak menjalari kupingnya, lehernya, tangannya, lalu sampai kakinya.

Sekujur tubuhnya berwarna merah.

Merah semakin merah. Dia masih seperti menahan sesuatu. Kini aku yakin lebih dari sekedar marah.

Dibukanya mulutnya. Lalu keluar dari mulutnya suara ‘hhrruaaa ….aahhhh!’ yang sangat keras. Angin yang keluar dari mulutnya membuatku terpelanting menghantam tembok. Dia kembali membuka mulutnya, akan mengeluarkan suaranya. Aku tiarap menutup ku ….
**

“Giliran Nak Pras!”

Aku tersentak dari lamunanku yang ngglambrang . Terinspirasi komik Hulk, raksasa hijau, pahlawan kesukaanku.

Papan catur sudah tertata di hadapanku. Pion Pak Prapto sudah maju satu. Tanpa berpikir kumajukan pionku.

Sinetron Bu Mardi di televisi. Seorang artis agaknya berperan sebagai nenek-nenek, rambutnya disasak tinggi, make up-nya tebal, tidak menampakkan kerut-kerut ketuaan, padahal rambutnya sudah putih semua. Rupanya dia sedang berakting marah, matanya melotot, seperti bola matanya mau mencolot keluar.

Hujan di luar bertambah lebat.

….
**

“Skak mat!!”

Hampir saja jantungku lepas mendengar teriakan Pak Prapto. Kutatap papan catur tak percaya. Ini sudah untuk keduakalinya aku kalah oleh Pak Prapto dalam dua jam permainan kami. Padahal biasanya Pak Prapto harus berdarah darah dulu untuk bisa mengalahkan aku.

“Nak Pras mainnya nggak asyik!” Sungut Pak Prapto sambil menyandarkan punggungnya.

Aku mengangkat bahu. “Tidak bisa konsentrasi. Tidak tahu nih, Pak!”

“O,saya tahu! Gara-gara Nak Lena belum pulang, ya?” Lalu ngakak. “Seperti pengantin baru saja, Nak, Nak! Pengin terus!” Ledeknya.

“Padahal tadi pagi bilangnya mau pulang cepet lho, Pak! Ini malah sampai malam ….”

“Paling juga sebentar lagi to, Nak! Sudah tidak sabar minta jatah, ya?

“Bisa saja Pak Prapto ini!”

“Iya, ngerti, ngerti! Punya istri kalau tidak untuk dikeloni untuk apa ya, Nak!” Lalu suara tertawanya membahana memenuhi ruang tamuku. Untung tidak banyak perabot disini. Tidak ada guci-guci cina yang cantik. Kalau ada bisa-bisa pecah karena getaran suara Pak Prapto.

Untung lagi, istriku tidak ada. Mendengar kalimat Pak Prapto dia bisa meradang: pelecehan pada perempuan! Memangnya buat laki-laki perempuan itu cuma sebatas sebagai teman tidur saja? Jadi pemuas nafsu laki-laki saja!

Ditambah lagi dengan suara tawa Pak Prapto yang bervolume tinggi itu. Dia pasti bersungut: dasar bar-bar!

Begitu pasti. Dengan muka merah dan kedua tangannya di pinggang. Tentu saja semua itu dikatakannya padaku setelah Pak Prapto pulang. Dengan suara ditekan pula.

Lagi-lagi aku mensyukuri keterlambatannya.

“Lha, melamun lagi! Ya sudah, saya tinggal saja. Silakan Nak Pras bengong sendiri, biar disambar gerandong!” Katanya sambil membenahi papan catur dan memasukkan kembali bungkus rokok cap Mbakonya ke dalam celana kolornya. “Saya ke pos saja, Nak!”

Puji syukurku pada Tuhan Semesta Alam!

“Masih hujan, Pak. Tidak disini saja? Nonton TV? Tambah lagi kopinya?” Ujarku basa-basi.

“Kalau cuma mau nonton TV, mbok di rumah saja nonton TV sama istri! Bisa sambil melakukan hal yang lain, lagi!” Katanya sambil melangkah menuju pintu. “Besok lagi mainnya tenanan lho ya, Nak!”

Aku mengikutinya dari belakang. Mengantarkannya sampai depan pintu.
Dingin menghantam wajahku. Pak Prapto ini ada-ada saja. Mana ada orang di pos ronda di malam dengan hujan begini lebat.

“Mari, Nak!”

“Ya, Pak!”

Kututup pintu dengan gamang. Sudah sembilan lewat. Istriku belum juga pulang. Kuhampiri kursi panjang. Kursi berderat-derit saat kurebahkan tubuhku.
Abu rokok Pak Prapto bertebaran di mana-mana. Biar saja. Malas membersihkannya.
Sembilan lewat. Kemana dia? Terjebak hujan?

Tak ayal sesal menyusup juga. Ponselku hancur di sudut ruangan.

Kuraih remote control.
**

Sudah hampir jam sepuluh.

Aku sudah bosan mengganti-ganti saluran televisi. Tidak ada acara yang bagus. Acara komedi yang mengandalkan kelucuan dari adegan gebuk-gebukan styrofoam. Kuis cari jodoh. Obrolan ringan, saking ringannya tidak ketahuan sebenarnya tema yang sedang diperbincangkan itu apa.

Tidak ada yang menarik, bahkan dari ini. Goyangan sensual seorang penyanyi dangdut.

Ah, mungkin lebih pada suasana hatiku saja yang lagi tidak bagus saja. Akhirnya kumatikan televisi sebelum kulemparkan remote memecahkan layarnya.

Seperti orang bego, aku duduk menonton layar televisi yang mati.

Hitam.

Hanya suara hujan.
**

Sepi. Hujan sudah berhenti. Televisi masih mati.

Jika film kartun maka sekarang ini mukaku sudah sangat merah, asap pun sudah mulai keluar dari ubun-ubunku.

Semoga saja bukan hal buruk yang sedang terjadi padanya.

Masa bodoh apa yang sedang terjadi padanya!

Ada kasus. Menangani kasus sampai begini malam. Di hari yang katanya istimewa!

Omong kosong! Selalu saja orang lain yang utama. Salut sih salut, dengan segala dedikasinya selama ini. Tapi toh, dia punya teman yang bisa dimintai tolong terutama di hari tertentu seperti ini. Tidak harus semua-semuanya dihandelnya sendiri.

Lagian hanya sekali ini saja, setelah berkali-kali sebelumnya dalam satu tahun pernikahan kami ini dia tidak menepati omongannya sendiri.

Coba saja kalau dia yang berada di posisiku sekarang ini. Dia yang menunggu aku. Bisa kubayangkan akan seberapa marahnya dia. Aku membuatnya menunggu lima belas menit saja sudah bisa membuatnya mengomel seharian tanpa peduli argumen yang kuajukan. Apa jadinya kalau dia harus menunggu tanpa kepastian sampai enam jam seperti ini!

Lihat, betapa tidak konsistennya istriku itu! Mau menangnya sendiri saja! Selalu menuntutku untuk mengerti dirinya, tanpa peduli kepentinganku! Dasar, egois!

Mungkin juga aku saja yang terlalu bodoh, mau-maunya jadi kerbau bodoh di hadapannya!

“Brak!!!” Rasanya sakit juga saat kepalanku mendarat di kursi yang sedang kududuki.

Tidak peduli.

“Brakk!!” Kini draft novel yang menghantam tembok.

“Brakkk!!” Meja kena tendanganku. Meja menghantam kursi di seberangku. Bolpen terlempar ke bawah kursi. Remote control jatuh. Gelas bekas kopi Pak Prapto jatuh. Gelas teh terguling, airnya membasahi meja, lalu menetes ke lantai.

Sialan!

“Pranggg!” Gelas teh ambyar menghantam tembok. Pecahannya berhamburan di lantai. Ini adalah gelas kelima yang kulempar ke tembok dalam setahun ini. Biar saja. Kalau perlu semua gelas di dapur kupecahkan sekalian. Biar dia tahu betapa besar kemarahanku kali ini.

“Brraakkk!!” Kembali meja yang menjadi sasaranku.

Kejadian seperti ini memang bukan yang pertama kali dalam kehidupan perkawinan kami, tapi haruskah terjadi juga hari ini? Dia sendiri yang ngotot, hari ini hari istimewa kami!

Sialan. Sialan. Seenaknya saja mempermainkan aku! Dianggapnya aku ini apa!

Persetan.

Ya, persetan.

Persetan kau, sayur asem!

Persetan kau, empal goreng!

Persetan kau, sambal terasi!

Persetan kau, pelukan, ciuman, dan pernyataan cinta!

Persetan kau, Maria Magdalena Prasojo!

Biar. Biar saja. Biar tahu rasa.

Tidur saja, sampai besok pagi. Tidak usah bangun kalau pun dibangunkan. Bahkan tidak perlu melihat wajahnya malam ini.

Besok pagi pun aku masih tidak akan membuka mataku sebelum suara motornya tak terdengar. Aku tidak akan menjadi babunya. Aku tidak akan memasak, bersih-bersih, ataupun melakukan pekerjaan rumah lainnya. Biar. Biar saja. Seharian aku akan menulis. Jika perlu sampai pagi lagi aku tidak akan berhenti.

Mungkin aku memang harus lebih tegas. Lebih keras. Biar dia tidak lagi menganggapku remeh. Biar dia bisa lebih menghargaiku sebagai suaminya. Biar dia ….

Ah, Ibu pasti tidak suka ini ….
**

Suara motor kami yang berisik semakin mendekat. Lampunya menyorot jendela. Sampai di teras dia berhenti dan membunyikan klaksonnya dua kali, memberitahukan kepulangannya.
Aku tidak bergeming dari dudukku, dengan kedua siku di lututku, dan kedua telapak tangan memegangi kepalaku yang menunduk.

Biar saja.

Mesin motor sudah dimatikan. Suara klakson dua kali lagi.

Aku tetap tidak bergeming.

Sebentar kemudian terdengar daun pintu terkuak.

Kuangkat wajahku, menemukan wajah dengan senyum konyolnya di ambang pintu. “Ada kasus. Maaf, ya?” Lalu katanya sambil memonyongkan bibirnya. “Rindu kamu juga, suamiku. Muah-muah …!” Dilanjutkan dengan rentetan meriam keluar dari mulutnya.

Tak sedikit pun yang kutangkap.

Dia semakin menerocos.

Tetap saja tak satu pun kutangkap.

Dia terus saja menerocos.

Lama kelamaan kurasakan mukaku panas, kupingku panas, leherku panas. Rasa panas ini terus turun ke anggota tubuhku yang lain, dada, perut, tangan, kaki. Kurasakan sampai di ujung-ujung jemariku. Panas yang semakin panas saja.

Seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari tubuhku. Aku tidak kuasa menahannya lagi.
Sampai kemudian kurasakan aku sudah benar-benar tidak bisa menahannya, aku bangun.

Dia terbeliak seperti melihat setan.

Mungkinkah aku setan itu, batinku kebingungan.

Tiba-tiba kulihat lenganku mulai membesar, kakiku membesar, tubuhku membesar.
Suara baju robek. Rupanya bajuku tak mampu lagi memuat tubuhku yang terus membesar.
Sedangkan di hadapanku istriku masih terbeliak. Suara tak keluar dari mulutnya yang menganga.

Semakin kurasakan panas yang sangat dalam tubuhku. Ada yang memberontak dalam diriku, ingin lepas. Namun tak juga lepas.

Mungkinkah ini amarah, batinku bertanya-tanya.

Istriku menggigil, terkencing-kencing.

Lalu suara ‘hhhrruuuaaaa … hhh!! Yang keras keluar dari mulutku.

Dia terpelanting menghantam tembok. Pingsan.
**

Lalu aku akan memungutnya, mencabiknya. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Setelah tubuhnya menjadi serpihan, memakannya, seserpih demi seserpih. Menelan tanpa mengunyah.

Huh! Memangnya hanya dia yang berhak marah di rumah ini?

Tidak akan lagi aku menengok jam, dan malam ke 365 kami ini pun benar-benar akan menjadi malam yang istimewa, benar-benar berbeda dari 364 malam sebelumnya. Malam ini akan menjadi malam pertama dimana kami tidur tanpa berpelukan. Malam ini akan menjadi malam pertama tanpa pelukan, ciuman, dan pernyataan cinta.

Semoga saja dia belajar dari malam istimewa ini.

Kursi panjang berderit saat aku berbaring.

Ah, persetan kau malam ke 365 ….
**

Keseluruhan tubuhku berwarna putih. Bersinar terang. Seperti ada ribuan kunang-kunang hinggap, rapat menutupi tubuhku. Sebuah bidak catur berdiri tepat di hadapanku.

Raja hitam. Hitam mengkilap.Kilapnya sampai menyilaukanku. Dia berdiri sama tingginya dengan aku. Dia berdiri dengan pongah.

Di mana aku ini?

Entah ruangan atau apakah ini. Tanpa dinding, pintu, jendela, ataupun atap. Hanya gelap selain lantai kotak-kotak yang kuinjak. Hitam putih, berselang-seling.

Papan catur!

Ini papan catur, aku adalah bidaknya! Aku dan raja hitam di depanku ini!

Apa maksudnya ini? Apa?

Seni instalasi?

Apa maksudnya?

Hanya tersisa dua bidak catur …?

Aku dan raja hitam ini …?

Jika tinggal dua bidak saja yang tersisa, berarti aku juga raja …?

Berarti ini …. Skak mat!

Ya, benar sekali! Skak mat! Permainan catur telah usai! Sebuah kesempatan yang langka. Raja bertemu dengan raja. Berhadapan satu lawan satu.

Busyet!!

Tapi giliran siapakah ini …? Aku atau dia …?

Ouuchhh…! Susah sekali kugerakkan tubuh ini! Kakiku tak mau melangkah, seperti terpaku pada papan catur yang kupijak. Bahkan tangan, kepala, seluruh anggota tubuhku menolak kugerakkan!

Aku menjadi patung …?

Ya Tuhan, apa ini maksudnya …?

Sebuah mimpi burukkah ini …?
**

“Mimpi sialan!” Keringat membanjir di seluruh tubuhku. Bisa-bisanya bermimpi seperti itu!

Pasti gara-gara dua kali skak mat oleh Pak Prapto tadi itu.

Hampir jam sebelas.

Pintu depan hanya diam.

Aku bersumpah tak akan membuka mataku untuknya malam ini! Aku bersumpah!

Kursi berderit saat kembali aku berbaring.
**

Suara motor kami yang berisik semakin mendekat. Lampunya menyorot jendela. Sampai di teras dia berhenti dan membunyikan klaksonnya dua kali, memberitahukan kepulangannya.
Aku tidak bergeming dari kursi panjangku. Dengan tubuh terbaring menghadap sandaran kursi , mata terpejam, kaki meringkuk, dan tangan bersedekap.

Biar saja.

“Hon! Honey! I’m home! The door, please!” Teriaknya masih dari luar, tentu saja masih dengan bertengger di atas motornya.

Aku tetap tidak bergeming. Mungkin dipikirnya aku ini kacungnya yang harus selalu menjalankan perintahnya. Enak saja. Bahkan dia tidak menggajiku untuk itu.

Sebentar kemudian suara daun pintu dibuka. Dinginnya angin malam mengenai kakiku.

“Hon!” Suara langkahnya mendekat.

Aku tetap diam.

“Sudah bobok, ya?”

Kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Tapi tidak, aku tidak akan membuka mataku untuknya malam ini. Aku tak sudi melihatnya malam ini.

Kursiku berderit. Dia duduk di dekat kakiku. Memegang kakiku. Kurasakan tangannya begitu dingin.

“Hon …” Dia menggelitiki kakiku. “Hon …”

Aku tetap diam.

“Tidur apa marah, sih?”

Masih saja bertanya. Tidakkah dia lihat seisi ruang tamu ini? Tidakkah dia merasa bahwa dia sudah bersalah?

“Tidur, ah! Masa iya sih, marah. Ada kasus penting datang, kan ya harus ditangani dulu. Masa sih, tidak mau mengerti.” Kursiku berderit. Dia beranjak dari duduknya.
Suaranya melangkah. Suaranya memasukkan motor. Uaranya menutup pintu depan. Suaranya mengunci pintu depan. Suaranya mematikan lampu ruang tamu. Suaranya melangkah menuju kamar. Suaranya membuka lalu menutup pintu kamar. Suaranya menjatuhkan tubuh di ranjang.

Suaranya mendengkur.

Ya Tuhan, isitri macam apa yang kunikahi satu tahun ini?
….


Dan malam ke-365 ini pun akan kurayakan dengan penyesalan ini.
**

Seharusnya mataku tetap terpejam saat kurasakan dingin yang lembut itu melumat ujung hidungku. Seharusnya tetap kukeraskan hatiku untuk meneruskan amarahku sampai, paling tidak, tuntasnya hari ini. Tapi aku tidak mampu untuk menahan diri.

Belum sepenuhnya sadar dari tidurku, kulihat dia sudah duduk dengan ujung pantatnya di pinggi kursi tempatku terbaring. Dia menatapku dengan wajah lelahnya, mata bulatnya yang dibelalakkannya paksa melawan kantuk, rambut kusut masainya, dan sebuah senyum kecilnya yang, sumpah, sangat cantik.

Bagaimana mungkin aku akan kuasa tidak membuka mataku untuk keindahan semacam ini?

Senyumnya melebar, seiring dengan kesadaranku yang semakin penuh. Aku tahu dia pasti merasa bersalah. Dia pasti segera tanggap tentang apa yang sudah terjadi demi melihat posisi meja yang tidak simetris, air teh yang menumpahi meja dan lantai, draft novelku yang terpuruk di sudut ruangan, pecahan gelas yang berhamburan, asbak, abu dan puntung rokok yang berantakan. Belum lagi bangkai ponselku itu.

“Hi, husband.” Sapanya lembut sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku. Melumat ujung hidungku sekali lagi, sembari mengusapkan telapak kanannya pada pipi kiriku.

Dan demikianlah, sehingga semua kemarahan yang kupunyai malam ini pun seketika lenyap oleh lumatannya yang lembut itu. Kedongkolan yang tadinya sesak dalam dadaku juga menyublim, seketika dia mengusap pipiku.

“Maafkan aku ya, Sayang, ya?” Rajuknya dengan mimic memelas yang sangat tampak bila dibuat-buat.

Akting yang sangat buruk.

“Maaf ….” Sengaja kugantungkan kalimatku, berupaya terdengar galak.

“Yaaa ….?” Masih saja diteruskannya aktingnya yang payah itu, juga gaya merajuknya yang menjijikkan.

“Sudah biasa,” jawabku dingin.

“Sayang … Maaf …. Batere ngedrop, nggak sempet nge-charge. Sibuk banget, seharian di lapangan.”

Tentu saja seperti biasa, segala sesuatu dengan mudah bisa dimaafkan. “Kenapa sampai sebegini larut?” Hampir saja kutambahkan kata ‘Sayang’, untung saja segera kutelan kembali.

Dihelanya satu nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaanku. Seperti mengumpulkan tenaga. “Sore, udah mau pulang, eh ada korban datang.”

“Aku duga. Seperti biasa, kan.”

“Nggak, yang ini luar biasa. Ini bakalan rame lho, Sayang.” Aku hampir terlonjak kaget, saat tiba-tiba saja dia mempertinggi nada suaranya, mempercepat ritme bicaranya, dan menambahkan ekspresi dan gesture yang berlebihan pada kelanjutan ceritanya. “Pembantu habis diperkosa sama majikannya. Pejabat, lho, Sayang. Kurang ajar bener. Besok pasti rame di koran. Mesti ngurusin itu dulu tadi. Dari konseling, sampai visum, lapor polisi, cari shelter juga. Pejabatnya pasti kena, Sayang. Ini tadi juga udah ditahan. Kalau nantinya dia bisa lolos, kami akan bikin rame sekalian. Jelas-jelas barang bukti, saksi, lengkap semua. Lagipula, kabarnya ini bukan kali pertama dia ngerjain pembantunya. Harus dikasih pelajaran, Sayang. Jangan mentang-mentang ….”

Diam sejenak, kemudian dia berbisik. “Sayang, maaf ya? Ya?” Kembali rajuknya.

Bisa apa aku selain mengangguk. Tentu saja mengangguk, tanda bahwa alasan bisa diterima.

Padahal kalau dia yang marah, alasan apa pun tidak bisa membuatnya berhenti mengomel seharian.

Padahal sudah kurencanakan tadi, tidak akan lagi memberi maaf dengan mudah seperti sebelum-sebelumnya.

Ah, biar saja. Ternyata aku tak bisa apa-apa selain memeluk, mencium, dan menyatakan cintaku padanya.

Tanpa upaya berpura-pura galak lagi, kutarik tubuhnya yang ternyata sedikit basah, membuatnya terjerembab dalam pelukanku. Pelukanku yang hangat. Kucium bibirnya, ciumanku yang hangat. Dan kunyatakan cintaku, “happy 1st anniversary, darling. I love you.”

Matanya seketika berkaca-kaca. “Makasih banget buat pengertianmu, my lovely husband. I love you much, honey. Much and too much. Happy 1st anniversary.”

Kebahagianku pun terasa sampai ke ubun-ubun.

Apa kubilang, mana ada yang bisa mengalahkan pelukan dan ciuman hangat, juga pernyataan cinta!

….

Ah, lagi-lagi aku seperti mengalami de ja vu. Bukan, ini bukan de ja vu, memang ini adalah kenyataan yang selalu saja berulang.

“Sudah makan, kan, Sayang?” Kudalami matanya. Keletihan yang tertera di sana membuatku menyesal tadi telah memendam amarah padanya.

“Enak aja!” Teriaknya, bangun dari pelukanku. “Bagaimana mungkin aku akan makan malam sendirian dihari ulang tahun pernikahanku yang pertama. Malam seistimewa ini tentu saja tidak akan kulewatkan dengan makan malam sendirian!” Lalu tatapnya mesra kepadaku, dan direndahkannya suaranya. “Suamiku yang tampan, yang penulis hebat itu, yang masakannya paling enak sedunia akhirat itu, di rumah sudah menyiapkan makan malam yang istimewa. Empal goreng, sayur asem, dan sambal terasi yang super, super lezat.” Dia tersenyum dengan sangat cantik lagi.

Aku balas tersenyum dan bangun dari tidurku. Digesernya pantatnya, memberiku tempat. Kursi pun berderit-derit, kami duduk bersisian. “Tentu saja. Kompromi kita yang sempurna, sudah terhidang di meja.” Sejak berjam-jam yang lalu. Sekarang sudah terlanjur dingin.

“Terima kasih, Sayang.” Dikecupnya pipiku cepat. “Aku ada sesuatu buat kamu. Coba tebak ….”

Ini dia, kado ulang tahun pernikahannya untukku. Ada beberapa alternatif jawaban di kepalaku, aku yakin salah satunya pasti cocok.

Diambilnya sesuatu dari dalam tasnya di atas meja. CD The Beatles pelengkap koleksinya. Tebakanku benar. Kutengok matanya sambil tersenyum lebar. Dia tahu arti senyumanku. Buktinya dia balas menatapku, dan tersenyum lebih lebar dari senyumanku.

‘Kita kan, sama-sama penggemar The Beatles, Sayang ….”

“Kamu kali, aku lebih menikmati Mozart ….”

“Daripada kamu, pasti nggak nyiapin apa-apa …,” bela dirinya. Lalu dia bangkit dan mengulurkan tangannya mengajakku turut bangun.

Kusambut tangannya, kugenggam erat. “Habis, tidak ada kertas kado yang bisa cukup buat membungkus hadiahku buat kamu, Sayang ….”

“Gombal.” Cibirnya. “Ya, udah. Nggak usah dibungkus kertas kado nggak apa-apa.” Dilepaskannya genggamanku, lalu mulia menghitung dengan jari-jarinya. Telunjuknya. “Honda jazz warna putih?” Jari tengahnya. “Apartemen Kusuma Mulia, lantai 21?” Jari manisnya. “Mengajukan diri jadi calon walikota periode mendatang?” Dia melonjak kecil dengan riangnya. “Apa saja deh, yang penting mahal!”

“Memangnya kebun ganja kita sudah dipanen?” Kataku sambil menjentik ujung hidungnya.

Kami pun tertawa sambil berpelukan. Berciuman, kemudian saling menyatakan cinta.

De ja vu lagi?

“Sayang, besok kita ketemu Karen, ya? Biar kubikinin janji.”

“Karen …?” Lagi-lagi dia menyuruhku untuk konsultasi gratisan pada Karen.

Istriku mengangguk. “Karen.” Lalu matanya mengarah pada pecahan gelas, draft novel, ponsel.

“Buat apa? Novelku kan sudah selesai, aku sudah tidak perlu lagi tanya-tanya sama dia. Buku-bukunya juga sudah kekembalikan semua.”

“Hayo, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!”

Mungkin benar, aku kura-kura, tapi aku tahu. Tapi tetap saja kuangkat bahuku berlagak tidak tahu.

“Apa yang kau lakukan kalau lagi marah itu lho, Sayang. Sudah gelasku yang kelima, kan?”

“Yaaa … lalu …?”

“Yaaa, lalu?!!!” Teriaknya galak.

Kembali kuangkat bahuku.

“Ya, sudahlah!” Katanya berputus asa. “Sekarang aku ganti pakai gelas plastik saja! Begitukah solusinya, wahai suamiku tercinta?”

“Ya, istriku tercinta. Begitu jauh lebih baik!”

“Atau kalau bukan Karen, psikolog yang lain?”

“Biar kupikirkan dulu, ya.” Jurus terakhirku untuk menghindar.

“Ya, wis. Let’s eat saja, husband!”

“Eat, what, wife?”

“Eat me, oh, please!” Disapukannya lidah pada bibirnya. Gaya sok seksi andalannya yang konyol.

Kami pun tergelak bersama. Kembali saling mempererat pelukan. Berciuman.

“Love you much!”

“Love you, too.”

De ja vu …? Lagi …?

Begitulah. Setelah didahului dengan beberapa kali lagi pelukan dan ciuman hangat, hampir jam dua belas malam kami berdua pun beranjak dari ruang tamu menuju meja makan untuk merayakan ulang tahun perkawinan kami yang pertama. Dengan sayur asem, empal goreng, dan sambal terasi kami. Dengan kompromi terindah kami.

Tentu saja aku bahagia sekali. Aku yakin istriku pun demikian. Kebahagian kami bahkan sampai meluap-luap, tumpah ruah ke lantai. Menggenangi seantero rumah kami. Keluar ke teras. Sebentar lagi turun ke halaman. Sampai ke jalan.

Sehingga malam ini adalah perayaan 365 malam kami, yang kami rayakan dengan istimewa. Karena begitulah hari-hari kami selama satu tahun ini, dan bertahun-tahun selanjutnya, istimewa.

Istimewa.

-- Selesai --
Tegal, 24 Mei 2010

Majalah Kartini No 2298 s/d 2300 Tahun 2011