Tuesday, November 24, 2009

Dongeng Cinderella

Namaku Cinderella.

Masih sebagai Putri Abu, aku terlihat begitu menyedihkan. Bergaun buruk dan tentu saja belepotan abu. Duduk terpuruk di sudut dapur setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang melelahkan. Untung saja ada dua ekor tikus putih itu yang menghibur lara hatiku. Mereka yang tidak berhenti menyuruhku bersabar, sampai Peri itu datang.

Ya, aku sedang menanti Peri itu. Peri yang nantinya akan mengayunkan tongkatnya sihirnya ke arahku. Mengeluarkan bunyi ‘cling’, lantas menaburkan kerlip bintang yang akan membasuh abu dari badanku dan mengganti gaun burukku menjadi gaun putih berenda-renda yang panjang menyentuh tanah. Belum habis rasa takjubku, dia sudah akan mengubah labu di dekat pintu dapur menjadi kereta mewah, dan dua ekor tikus putih ini menjadi kudanya yang gagah. Kereta kuda yang akan mengantarku memenuhi undangan pesta dansa Pangeran.

Tentu saja Peri itu juga akan memberiku sepasang sepatu kaca. Agar bisa kutinggalkan satu untuk Pangeran begitu jam berdentang dua belas kali nanti. Saat aku sudah harus kembali menjadi Putri Abu, kereta menjadi labu, dan dua ekor kudanya menjadi dua ekor tikus putih yang mencericit dengan berisik. Agar kemudian Pangeran bisa menemukanku bersama dengan pasangan sepatu kacaku yang tertinggal itu, membawaku ke istananya, hingga akhirnya pun kami bisa hidup berbahagia selama-lamanya.

Duh, betapa lamanya selama-lamanya itu!

Peri itu, penolongku. Aku menantinya di emper warung ini.

Seharusnya dia sudah mengucapkan mantra sihirnya satu jam yang lalu, ketika aku harus menuntun motorku yang tiba-tiba ngadat. Dia benar-benar terlambat, sehingga gerimis pun dalam waktu singkat jatuh semakin lebat. Menjadi hujan deras yang memaksaku berteduh di emper warung ini. Sampai saat ini.

Dengan tubuh basah, aku duduk meringkuk memeluk lutut. Gigilku tak kuasa melawan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit di bawah blazerku. Kusembunyikan wajahku di antara kedua lututku dengan mata terpejam. Jauh di sudut hatiku tumbuh sebuah harapan, saat nanti aku menengadah kembali Peri itu sudah berdiri di depanku.

Ketika kuangkat wajahku, tidak ada kulihat Peri itu. Hanya remang lampu jalan dan hujan. Jalanan pun masih saja lengang. Hanya ada aku yang tak berdaya, lemah, dan menyedihkan. Dalam penantianku akan Peri itu.

Aku tahu. Peri harus datang terlebih dahulu sebelum aku dapat hidup berbahagia selama-lamanya bersama Pangeran. Tanpa dia, tidak mungkin aku bisa pantas untuk datang ke pesta Pangeran. Tanpa datang ke pestanya, tidak mungkin Pangeran ternganga melihat kecantikanku. Tanpa terpesona pada kecantikanku, tidak mungkin Pangeran akan mengajakku berdansa. Tanpa berdansa dengannya, tidak mungkin aku lupa waktu. Tanpa terburu-buru pulang, tidak mungkin sepatu kacaku tertinggal satu. Tanpa Pangeran berusaha mencari pasangan sepatu kacaku, tidak mungkin Pangeran akan bisa menemukanku dan menjadikanku Permaisurinya. Sehingga kami pun dapat hidup berbahagia sampai selama-lamanya.

Peri itu kuncinya.

Atau mungkin aku memang masih harus menjadi Putri Abu untuk waktu yang lebih lama lagi. Mungkin memang belum waktuku menjelma menjadi Cinderella cantik yang bergaun indah. Belum waktuku datang ke pesta dansa Pangeran. Belum waktuku ketinggalan sebelah sepatu kacaku. Belum waktuku untuk berbahagia.

Tidak seperti Mirna. Rupanya Peri mendatangi sahabatku itu terlebih dahulu. Menyulapnya menjadi Putri cantik yang bergaun indah yang akan menikah esok hari. Demi turut merasakan kebahagiaannyalah aku duduk meringkuk di emper warung ini malam ini. Agar besok aku bisa ijin, aku harus lembur menyelesaikan pembukuan hari ini. Semula kuperkirakan setengah tujuh aku sudah bisa keluar kantor, tapi gara-gara aku salah posting hampir setengah sepuluh aku baru bisa selesai.

Kesialanku pun berlanjut ketika motor bututku tiba-tiba macet di jalan ini. Jalan yang kanan kirinya hanyalah gelap persawahan saja. Tidak ada satu pun rumah penduduk di sepanjang jalan ini. Hanya ada sebuah warung nasi yang biasanya melayani buruh sawah. Warung tempatku berteduh kini yang tak begitu jauh dari tempatku berdiri waktu itu.

Dengan berharap akan menjumpai seseorang di sana yang bisa kumintai tolong, maka aku pun mulai menuntun motorku. Sepasang sepatu hak tinggi ini cukup mengganggu perjalananku. Satu dua mobil dan motor lewat tanpa menghiraukan kemalanganku. Hatiku sudah mulai merapalkan permohonan agar Peri itu sudi segera datang. Mengayunkan tongkat dan mengucapkan mantra sihirnya, membebaskanku dari penderitaan ini. Agar bisa segera kujelang kebahagiaanku bersama Pangeran.

Beberapa saat sudah aku menuntun motorku. Beberapa kali aku hampir terjatuh. Peluh membasahi blusku, sedangkan dingin angin sawah menembus blazerku. Aku merana. Peri itu belum juga datang. Semakin merana ketika sebentar kemudian gerimis datang.
Setengah berlari aku berpacu dengan hujan yang dalam waktu singkat semakin deras. Tidak berhenti aku berdoa agar Peri segera datang, ada seseorang yang bisa menolongku di warung itu. Sesampainya aku di depan warung, sejenak aku tertegun.

Sudah tutup.

Di antara hujan, langkahku gontai menuju warung nasi. Aku hanya bisa duduk meringkuk memeluk lutut di bangku kayu panjang ini. Sembari mengigil di bawah remang lampu jalan yang menyala di seberang warung. Dan berharap, Peri itu segera datang.

Ah …. Peri itu belum juga datang sampai sekarang. Tak seorang pun menyusulku berteduh di sini. Satu dua pengendara motor memilih menerobos hujan. Bahkan beberapa saat ini hanya lengangnya malam bersama air hujan yang nampak di depanku.

Hujan masih saja deras, malam semakin larut, dingin semakin menusuk sampai ke tulang. Aku pun jatuh tertidur.

Dalam tidurku aku seperti bermimpi bertemu dengan Pangeran. Dia terlihat gagah di atas kuda putihnya. Sambil menatapku dia tersenyum. Sampai-sampai aku ternganga oleh pesonanya. Walaupun kurasa agak aneh juga, Peri itu belum lagi datang ….

Begitu turun dari kuda putihnya, Pangeran meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. Mencengkeram pundakku, membungkam mulutku, menyeretku ke tengah sawah yang gelap. Mengancam akan membunuhku bila aku berteriak.
***

Sudah Selesai

Segera setelah bercinta dengan suamiku aku selalu mandi.

Membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Membilas tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Berlama-lama di bawah kucuran shower. Merasakan air mengalir dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Begitu terus, sampai aku yakin bahwa tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, telah benar-benar bersih. Saat air yang mengalir menuju lubang pembuangan air di sudut kamar mandi sudah tidak lagi berwarna hitam oleh kotoran yang tadinya lekat pada tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, melainkan telah berwarna bening, bersih dari kotoran itu.

Seumur hidupku aku hanya bercinta dengan suamiku saja, dan aku selalu mandi segera setelah bercinta dengannya.

Aku hanya tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku. Membuat nafasku sesak mencium baunya yang busuk menyengat. Membuat perutku mual melihat noda-noda hitam menjijikkan yang menempel di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kaki. Segera setelah mandiku selesai, kurendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai. Aku juga tidak tahan dengan kotoran yang melekat di sprei, sarung bantal, dan bajuku. Seperti halnya aku tidak tahan kotoran yang sama yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Segera setelah bercinta dengan suamiku, aku mandi, lalu merendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai sebelum bercinta dengannya. Tengah malam sekali pun. Suamiku berkali-kali bilang bahwa aku butuh menemui psikiater. Aku menolaknya, berkali-kali juga. Aku bukan orang gila. Aku hanyalah orang yang tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku, sprei, sarung bantal, dan bajuku saja. Itu tidak berarti gila, bukan?

**
….

Aku sedang membilas tubuhku. Sebentar lagi aku selesai.

Sejak dua bulan lalu suamiku baru menyentuhku lagi sekarang. Itu pun karena aku yang menggodanya. Dia selalu saja merasa bersalah setiap kali kami selesai bercinta, melihatku segera berlari menuju ke kamar mandi, mendekam beberapa lama di sana, lalu merendam segala sprei dan sarung bantal. Apalagi bila dia tahu aku belum orgasme. Kadang dia tidak bisa dibohongi. Saat aku mengatakan sudah, padahal aku belum mendapatinya. Yang terakhir, sebelum hari ini, dua bulan yang lalu.

Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, suamiku menyentuhku, mendapatkan kebutuhannya, dan sangat merasa bersalah karenanya. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, aku sengaja ingin suamiku menyentuhku, sengaja memberikan kebutuhannya, membohonginya, dan kemudian sesak dan mual oleh kotoran yang melekat di tubuhku, rambutku sampai ujung kuku kakiku, spreiku, sarung bantalku, dan bajuku. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, selesai aku mandi kulihat suamiku tercenung di pinggir tempat tidur, meratapi apa yang telah terjadi.

Setiap kali aku seperti mengalami de javu, tapi sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi.

Aku hampir selesai. Saat ini pun aku seperti mengalami de javu. Saat ini pun sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi. Aku sudah hampir selesai. Sebentar lagi aku selesai. Keluar dari kamar mandi lalu mendapati suamiku duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah penuh rasa salahnya.

Dia suamiku, aku menyayanginya sepenuh hatiku. Tentu saja, dia suamiku. Aku mengerti kebutuhannya. Tentu saja dia suamiku, aku sangat memahaminya. Aku akan lebih merasa sakit bila dia sampai melakukannya dengan orang lain. Mencampakkan komitmen kami berdua, bahwa seks adalah dan hanyalah karena cinta. Tapi tidak akan mungkin, karena aku yakin tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pikirnya. Untuk memikirkannya pun, sungguh, aku berani bersumpah, dia tidak akan mungkin.

Sebentar lagi aku selesai. Aku sudah membilas tubuhku. Dari rambut sampai ujung kuku kakiku.
….

**
….

Aku mendengar ibu melenguh lirih dari depan pintu kamarnya malam itu. Aku tahu ibu sendirian di dalam sana. Ibu tidak pernah lagi membiarkan laki-laki menyentuh tubuhnya, setelah dulu bapakku melakukannya dengan paksa.

Ibu pun tidak membiarkan laki-laki menyentuh tubuhku. Ibu menamparku, lalu menyeretku ke kamar mandi begitu melihat Rudi mencium pipiku di teras rumah. Ibu bilang najis, kotor, sehingga aku harus membersihkan tubuhku dari rambut sampai ujung kakiku. Aku sampai gelagapan karena seperti kesetanan Ibu menyiram tubuhku.

Malam itu, orgasme pertamaku dengan telingaku lekat di daun pintu kamar ibu.

….

**
….

Aku sudah hampir selesai. Aku sudah membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, membilas tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Aku sudah cukup berlama-lama berdiri di bawah kucuran shower. Menikmati air mengalir dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Aku telah menemukan tubuhku kembali bersih. Air yang mengalir ke lubang pembuangan di sudut kamar mandi sudah berwarna bening. Kotoran itu sudah luruh. Noda-noda hitam menjijikan itu sudah hilang. Bau busuk menyengat itu sudah tidak tercium.

Aku sudah bersih. Aku sudah hampir selesai. Suamiku pasti sudah terlalu lama menungguku keluar dari kamar mandi dengan cemas. Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih. Aku akan bilang tidak apa-apa, sudah dua bulan dia tidak mendapatkan kebutuhannya. Aku akan menghiburnya, aku ikhlas melakukan kewajibanku sebagai istrinya.

Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih.

Sebentar lagi aku selesai.

….

Aku kembali mendengar ibu melenguh lirih.

….

Aku orgasme.

….

Aku sudah selesai.

….

**

An Angel Face

Satu

“God, thank you for the food and drink …! Amen!”

Pandangan mataku mengitari wajah-wajah belia yang berdiri berkeliling membentuk lingkaran di tengah-tengah kelas. Setting kelas yang menempatkan kelompok-kelompok meja di pinggir kelas memungkinkan kelasku ini memiliki space kosong di tengah. Dalam diam mereka gelisah menantikan saatnya istirahat. Ruben menatap Risa, mengharap dipilih sebagai anak yang pertama kali istirahat. Digigitinya kuku kelingkingnya. Angga dan Dika menggoyang-goyangkan badannya tidak sabar. Kudengar tadi mereka berdua berbisik-bisik akan mengambil kepompong di pohon pisang di halaman belakang sekolah. Boni memegangi perut gendutnya yang pasti sudah keroncongan. Sophie dan Catherine saling mengedipkan mata, entah sebagai isyarat apa. Mereka berdua biasa duduk mojok membicarakan teman perempuan lain, sembari menghabiskan bekal mereka. Fani menguap lebar-lebar tanpa ditutupi. Aku yakin ini disengajanya untuk memancing tawa teman-temannya. Untung saja tidak ada yang sedang memperhatikan badut kelas ini. Sebelum tawaku membuncah melihat tingkah polah para bocah ini, segera kuijinkan mereka beristirahat. “Baik anak-anak, sekarang semua boleh beristirahat. Ingat, makan dulu, baru main. Silakan dipilih, Risa! Yang tertib duluan!”

Risa mulai menunjuk temannya satu per satu. Anak yang sudah ditunjuk segera keluar kelas. Entah untuk mengambil bekal mereka, jajan, ataupun bermain. Dan seperti biasa, para teman dekatlah yang dipilih pertama kali oleh sang pemimpin doa. Seperti biasa juga, Ruben selalu menjadi yang terakhir, sebelum Maggie si biang kerok kelas. Hari ini Maggie tidak masuk sekolah, praktis Rubenlah yang menjadi yang terakhir.

“Ruben, silakan!” Tanpa menunggu Ruben beranjak, Risa sudah menghambur keluar kelas, menghampiri Nares yang sudah sedari tadi menunggunya di depan kelas. Sedangkan Ruben masih tetap berdiri sambil menggigiti kuku kelingkingnya.

Kuraih pundak Ruben. “Ben, Ruben sudah boleh istirahat ….”

Ruben malah menangis tanpa suara sambil menghentak-hentakkan kakinya dan masih menggigiti kuku kelingkingnya.

“Ruben, Ruben mengapa menangis?” Tanyaku sambil memeluknya.

“Ruben mau dipilih duluan …! Ruben mau dipilih duluan …!” Pipinya basah oleh air mata.

“Bu Linda tahu, Ruben sedih, selalu dipilih terakhir. Besok lagi, Ruben yang tertib ya, biar tidak dipilih terakhir. Bu Linda tahu, Ruben anak hebat, Ruben bisa tertib!” Kataku sambil menepuk-nepuk punggung Ruben. Belum lagi Ruben tenang, Boni sudah menarik-narik bajuku.

“Bu, Bu Linda, bukain!” Katanya sambil mengacungkan bungkus coklatnya. Di antara semua muridku, Boni inilah yang paling kolokan. Sekedar membuka bungkus makanannya pun, dia masih mengandalkan aku.

“Boni, Boni pakai gunting, ya? Bu Linda tenangin Ruben dulu,” kataku minta pengertian Boni.

“O, iya! Ruben nangis. Boni ambil gunting ya, Bu! ” Tanpa bertanya lebih lanjut, anak itu berbalik pergi. Dia memang tidak perlu bertanya, karena Ruben sudah terlalu sering bersikap seperti ini.

Setelah Boni pergi menghampiri rak tempat gunting, baru kusadari kalau Ruben sudah tidak ada di dekatku. Mataku berkeliling mencari-cari sosok anak itu. Ternyata dia sudah duduk membuka bekalnya. Terpencil dari teman-temannya di kursi kesayangannya di meja art, di pojok kelas.

Kuhela nafasku. Ruben memang memiliki kendala dalam berkawan. Dia cenderung melakukan apa-apa sendirian. Bahkan dalam mengerjakan kerja kelompok sekali pun. Teman-temannya pun mulai bisa melihat “perbedaan” Ruben dari mereka. Kalau tidak merasa terpaksa, mereka enggan untuk bersinggungan dengan Ruben.

“Ruben, Ruben sudah nggak sedih, kan?” Tanyaku setelah tiba di samping Ruben.

Bukannya menjawab pertanyaanku Ruben malah balik bertanya padaku. “Bu Linda, Bu Linda guru kelas berapa?” Flat, ekspresinya datar saja.

“Bu Linda guru kelas satu, Ben. Gurunya Ruben.”

“Ruben sekarang naik kelas satu?”

“Iya, Ruben kelas satu. Ruben anak hebat, makanya naik kelas satu. Tidak di TK lagi.”

“Ruben hebat?”

“Iya, Ruben hebat!”

“Harus fokus?”

“Iya, Ruben hebat makanya harus fokus. Ayo, sekarang fokus, makan dulu!”

Tanpa berhenti menggoyangkan badannya, Ruben menikmati bekalnya. Keripik ketela, menu dietnya. Ruben pun larut dalam dunianya sendiri. Sesekali berdiri dan menirukan iklan-iklan televisi sambil mengunyah makanannya. Dia tidak lagi mengindahkan aku yang berdiri di belakangnya.

Kutinggalkan Ruben lalu duduk di kursiku. Setumpuk pekerjaan anak-anak ada di depanku. Ulangan Matematika pagi tadi, belum dinilai. Bagian dari pekerjaan rutin, yang membosankan, seorang guru.

Aku sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi guru, apalagi guru SD. Waktu kuliah pun aku tidak mengambil jurusan kependidikan. Bagiku nggak ada keren-kerennya menjadi guru. Namun aku tidak bisa mengelak saat takdir menuntunku ke tempat ini. Gara-gara aku mengikuti seminar Pak Tanto, aku jadi tergiur untuk menjadi salah satu dari pahlawan tanpa tanda jasa itu. Sok-sokan menjadi salah satu agen perubahan, sebagai ujung tombak terciptanya tunas-tunas bangsa berkarakter yang berkualitas. Generasi bangsa yang, semoga saja, kelak bisa membawa republik ini keluar dari keterpurukannya.

Di seminar Pak Tanto itu mataku dicelikkan. Sekolah selama ini telah tereduksi sebagai tempat belajar hafal-menghafal untuk mendapatkan nilai seratus. Pembelajaran yang terjadi hanya sekedar di ranah kognitif saja. Itu pun di tataran yang paling rendah, knowledge. Padahal sebenarnya hakekat sekolah adalah tempat untuk belajar hidup. Tempat yang memberi kesempatan anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi unik anak yang kelak berguna untuk kepentingan survival mereka. Yang mengelola anak secara holistik, ya kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya.

Tadinya aku magang di sini hanya sebagai pengisi waktu sambil mengerjakan skripsi. Tapi malah jadi keterusan sampai sekarang. Bahkan kini semakin lengket, tak bisa lepas. Layaknya orang kecanduan.

Anak-anak itu memang adiktif. Bersama mereka selalu menjadi saat yang sangat menyenangkan buatku. Aku selalu saja tertawa bersama mereka. Menikmati setiap penggal pengalamanku bersama mereka: wajah-wajah tulus maupun kekonyolan-kekonyolan maha cerdas yang mereka miliki. Menjadi bagian dari mereka memberiku sensasi-sensasi yang sangat luar biasa. Aku merasa menjadi hebat berada di tengah-tengah anak-anak itu. Kurasa-rasa, tempat ini kemudian seperti menjadi tempat pelarianku. Dari rasa nyeri itu ….

“Tet … teeettt …!”

Bunyi bel masuk membuyarkan lamunanku. Kulihat kotak bekal Ruben masih terbuka di atas meja. Kosong. Sisa-sisa makanannya berceceran di atas meja. Sedangkan Ruben berlarian di dalam kelas, sambil bertepuk tangan dan sesekali melambaikan tangannya.

Kupandangi Andre yang berbisik-bisik di telinga Rara sambil tersenyum dan melirik Ruben. Padahal baru kemarin Andre kutegur karena tidak berhenti mengejek Ruben cheerleaders. Hanya karena kebiasaan Ruben berlarian di dalam kelas sembari melambaikan tangannya itu. Andre hanya meringis ke arahku. Merasa terancam, dia meninggalkan Rara menuju tempat duduknya.

“Ada yang mau bermain loncat angka sebelum pulang …?”

“Hore, loncat angka ….!” Sambut seluruh kelas.

Ruben menghampiriku. “Kita bermain loncat angka?” Tanyanya sambil memegang tanganku.

“Iya, Ben. Tapi setelah semua bekal dibereskan, ya?”

“Semua bekal dibereskan?”

Aku mengangguk. “Tuh, kotak bekal Ruben masih di sana!” Tunjukku. “Bereskan dulu ya, Ben.”

“Bereskan dulu?”

“Bereskan dulu kotak bekalnya, lalu kita bermain loncat angka. Ruben mau bermain loncat angka?”

Ruben mengangguk. “Loncat angka? Asyik?!”

“Iya. Sekarang, Ruben bereskan bekal Ruben dulu, ya?”

“Bereskan dulu? Lalu loncat angka?”

Aku mengangguk. “Silakan Ruben beresi bekalnya, ya …!”

Ruben lalu melepaskan tangannya dari tanganku dan menghampiri kotak bekalnya. Ditutupnya kotak bekalnya, lalu berlari ke pintu. Setelah membuka pintu dan menegok kanan kirinya, dia kembali ke mejanya. Dimasukkannya kotak bekalnya ke dalam tas bekalnya. “Que sera sera ….!” Serunya menirukan jingle iklan di televisi sambil membawa tas bekalnya menuju ke rak tempat bekal. Lalu dia kembali ke mejanya, mengambil kotak pensilnya. Lalu bergabung dengan teman-temannya yang sudah menungguku di circle, duduk melingkar di lantai.

Sebenarnya Fani sudah akan mendorong Ruben yang tiba-tiba saja duduk di antaranya dan Nuel. Tapi begitu melihatku mengawasinya, diurungkannya niatnya. Malah digesernya duduknya untuk memberi Ruben tempat. Dengan terpaksa.

Ruben duduk bersila dengan menggoyang-goyangkan badannya. Sesekali bertepuk tangan dengan kotak pensil masih di tangannya. Mulutnya sibuk berbicara, entah mengenai apa. Ketika melihat kotak pensil Nuel yang tergeletak di depan Nuel, spontan diambilnya kotak pensil itu. Kotak pensil berbentuk bus yang sering kali menyita perhatiannya sejak Nuel membawanya ke sekolah seminggu ini.

“Ngeeeengggg ……. Ciiiittt! Duer!” Kotak pensil Nuel ditabrakkan pada telapak tangannya. “Aduuh …. Mati!” Serunya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kirinya.

“Punyaku!” Bentak Nuel sambil merebut kotak pensilnya dari tangan Ruben. “Bu Linda, Ruben ngambil kotak pensilku tanpa ijin!” Adunya.

“Ruben …!” Tegurku setengah hati. Entah perasaan apa ini saat kulihat Ruben dengan mudahnya mengacuhkan kemarahan Nuel. Kini dia sudah kembali menggoyang-goyangkan badannya sambil berbicara sendiri, larut dalam dunia kaca rekaannya sendiri.

Sambil kuhela nafasku kudalami wajah anak itu. Wajahnya yang begitu murni. Jernih, tanpa dosa. Tipikal wajah anak autis. An angel face.
***

Dua

Sekolah sudah agak sepi. Kelas satu dan dua sudah pulang beberapa saat yang lalu. Sedang kelas tiga, empat, lima, dan enam sedang belajar di kelas masing-masing di lokal bawah. Sekolah ini memang terbagi dalam dua lokal. Lokal atas di bagian depan sekolah untuk kelas kecil, ruang komputer, perpustakaan, dan kantor. Lokal bawah di bagian belakang sekolah untuk kelas besar, lapangan, laboratorium, dan kantin. Kontur tanah pegunungan yang naik turun yang menjadikan sekolah didesain seperti ini.

Aku masih mengoreksi ulangan Matematika anak-anak ketika Bu Rahmani, kepala sekolahku, menghampiri mejaku.

“Bu Linda, bisa ke kantor sebentar?”

“Sekarang, Bu?”

Bu Rahmani mengangguk. “Bisa ditinggal sebentar, kan?”

“Tanggung, Bu. Tinggal satu aja, punya Ruben,” tawarku.

“Ya sudah, saya tunggu di kantor,” katanya sambil berbalik pergi.

“Ada apa, kok tumben dipanggil menghadap beliaunya?” Tanya Bu Endah, guru kelas dua, yang duduk di seberang mejaku.

“Aku mengangkat bahuku. “Nggak tahu. Mau dinaikin gajinya, kali!” Jawabku sekenanya.

Bu Endah hanya tertawa. “Pakai nawar, lagi!”

“Biarin! Bener-bener nanggung kok, tinggal satu, nih!” Kembali kutekuni pekerjaan Ruben.

Yap selesai! Dan seperti ulangan-ulangan Matematikanya sebelumnya, pekerjaan Ruben sempurna. Ada rasa puas saat aku membubuhkan nilai seratus di kertas ulangannya. Ditambah tanda bintang dan tulisan excellent!

Kemampuan logis-matematisnya memang sangat menonjol. Di samping tidak adanya kecenderungannya untuk berperilaku destruktif, kelebihannya ini juga menjadi pertimbangan Pak Tanto menerima Ruben bersekolah di sini. Tentu saja ditunjang dengan uang pangkal dan uang sekolah yang berlipat. Pendidikan yang berkualitas memang mahal harganya! Bravo!

Setelah membenahi kertas ulangan anak-anak, aku beranjak dari mejaku.

“Good luck, ya!”

Aku hanya tersenyum dan melambai pada Bu Endah.

Tidak biasanya Bu Rahmani memanggilku secara pribadi seperti ini. Biasanya kalau ada hal-hal yang hendak disampaikannya, selalu disampaikannya secara langsung. Tidak pernah memanggilku secara khusus seperti ini. Kalaupun ada hal-hal yang menyangkut kepegawaian, biasanya Pak Tanto yang akan menyampaikannya langsung kepada guru yang bersangkutan.

Bu Rahmani mempersilakan aku masuk saat kuketuk pintu kantornya.

“Ada apa ya, Bu?” Tanyaku begitu aku duduk di hadapannya.

Bu Rahmani tidak langsung menjawab pertanyaanku, matanya masih lekat di layar komputernya. Sebentar kemudian dialihkannya perhatiannya padaku. “Maggie masuk atau tidak ya Bu, hari ini?”

Maggie tidak masuk hari ini tanpa pemberitahuan. Diam-diam aku bersyukur dia tidak datang. Kelasku jadi jauh lebih tenang tanpa keusilannya. “Tidak, Bu. Tidak tahu kenapa. Orang tuanya tidak menitipkan surat ijin, juga tidak menelepon saya. Saat saya tanyakan pada Bu Susan, Bu Susan juga tidak tahu menahu.” Bu Susan adalah petugas front office kami. “Ada apa ya, Bu?” Aku mulai mereka-reka arah pembicaraan Bu Rahmani. Mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian di kelas kemarin.

“Bapak ketemu Pak Hartono, papanya Maggie, pagi tadi ….” Yang disebut Bu Rahmani sebagai “Bapak” adalah Pak Tanto. “Kemarin pulang sekolah Maggie menangis. Hari ini pun tidak mau berangkat ke sekolah. Kemarin di kelas ada apa ya, Bu?”

Benar dugaanku, ini semua tentang kejadian di kelas kemarin. Tapi aku tidak menyangka dampaknya akan sejauh ini.

“Kemarin saya agak lepas kendali, Bu. Maggie saya bentak karena terus-menerus usil sama Ruben. Ruben sampai teriak-teriak his ….”

Bu Rahmani memotong penjelasanku. “Tapi Bu Linda kan tahu, seperti yang selalu ditekankan Bapak, guru-guru di sekolah ini pantang membentak muridnya. Kalau ada masalah selalu kita selesaikan dengan cara demokratis, tidak dengan cara main bentak seperti itu. Akibatnya Bu Linda tahu kan sekarang, Maggie jadi stress. Pak Hartono langsung maju ke Bapak. Lagi-lagi saya yang kena, saya dianggap kurang kontrol pada anak buah!”

Aha! Seperti biasa, bagi Bu Rahmani ini hanya sekedar siapa yang bersalah saja. “Maaf, kalau Ibu yang kena marah Bapak. Sebenarnya Bapak bisa saja langsung memarahi saya. Ini sepenuhnya salah saya. Seharian kemarin Maggie terus-menerus menggoda Ruben. Puncaknya saat kami di circle akan berdoa pulang, Maggie menyebut Ruben tidak waras.” Kemarin kupingku langsung merah mendengar perkataan Maggie ini. Aku tahu kali ini dia bukannya sengaja mengejek Ruben gila. Pernyataan itu tidak lebih dari spontanitas kebocahannya. Seperti biasa Ruben tidak bisa langsung menenangkan dirinya saat kami bersiap berdoa pulang. Digoyang-goyangkannya badannya dengan sesekali bertepuk tangan dan melambaikan tangan. Mulutnya pun asyik berbicara sendiri. Sedangkan Maggie hanyalah seorang anak kelas satu SD yang tidak tahu-menahu apa itu gangguan perkembangan autisme. Memang Maggie tidak bersalah, tapi perkataan Maggie ini benar-benar membuatku meradang. Kucengkeram lengan Maggie, kuhardik dia untuk diam dan tidak lagi menyebut Ruben seperti itu. Maggie tidak berkata-kata, hanya wajahnya merah ketakutan. Kurasa dia kaget, tidak menyangka reaksiku akan seperti ini. Aku memang tidak pernah memperlakukan anak seperti ini sebelumnya. Aku tahu, reaksiku ini berlebihan. Tapi ini benar-benar spontan.

“Tapi seharusnya Bu Linda bisa lebih bijak lagi. Bapak sangat menyayangkan sikap Bu Linda ini. Saya tahu, Bu Linda memiliki kedekatan dengan Ruben maupun orang tuanya. Tapi saya rasa itu tidak bisa dijadikan alasan untuk bereaksi berlebihan seperti ini. Bu Linda juga tahu kan, siapa papanya Maggie?” Aku mengangguk. “Bu Linda paham?”

Kembali aku mengangguk. Tentu saja aku tahu siapa Pak Hartono, pengusaha yang dekat dengan pejabat daerah. Memang untuk beberapa urusan sekolah mengandalkan Pak Hartono. “Saya minta maaf, Bu. Nanti biar saya hubungi orang tua Maggie untuk minta maaf ….”

“Ya sudah. Yang penting jangan sampai terulang lagi!”

Kutinggalkan kantor Bu Rahmani dengan hati dongkol. Kuakui, aku salah. Yang membuatku jengkel adalah sudut pandang Bu Rahmani dalam melihat masalah ini. Dia hanya gusar karena ikut disalahkan oleh Pak Tanto. Juga inkonsistensiannya. Dia bilang sebagai guru harus adil, tapi kemudian dia mengingatkan aku siapa papanya Maggie. Terlebih lagi, dia sudah menuduhku memihak pada Ruben karena kedekatan hubunganku dengan Bu Rosa, mama Ruben. Bu Rahmani salah, bukan bingkisan-bingkisan Bu Rosa yang membuat Ruben begitu spesial bagiku. Ada sesuatu dalam diri anak itu, seperti tangan yang tidak terlihat, yang menarikku lekat padanya. Ketertarikan ini terjadi begitu saja. Layaknya magnet yang menarik besi.
***

Masalah Maggie belum juga tuntas sampai aku pulang ke rumah. Akan bersambung entah sampai berapa episode nantinya. Baru saja aku meletakkan pantatku di sisi Ibu, Bu Rosa meneleponku. Entah dari siapa dia mendengar masalah ini.

“…. Aduh, Bu. Saya benar-benar merasa tidak enak, Bu …. Saya minta maaf ….” Entah sudah untuk yang keberapakalinya Bu Rosa minta maaf dalam satu kali kesempatan ini.

“Tidak apa-apa, Bu. Bukan salah Ibu. Ibu tidak perlu minta maaf pada saya ….” Entah untuk yang keberapa kali juga aku sudah mengatakan hal ini.

“Bener-bener saya minta maaf, Bu. Gara-gara Ruben Ibu jadi susah. Gimana coba kalau sampai Ibu dipecat ….”

“Tidak mungkin dong, Pak Tanto berani memecat saya. Rugi dong, mecat guru berpotensi seperti saya …,” candaku. “Sudah, Bu, tidak usah dipikirkan, bukan masalah besar!”

“Bu, terima kasih banyak, lho ya! Maaf, kami sudah merepotkan ….”

“Sekali lagi bilang maaf Ibu dapat payung, lho Bu ….”

Bu Rosa tertawa panjang lalu menutup teleponnya.

“Siapa, Lin?” Tanya Ibu sembari meletakkan majalahnya. “Gayeng banget?”

“Biasa Bu, mamanya Ruben,” jawabku sambil menghempaskan badanku di sandaran kursi.

“Ruben terus ….”

“Barusan ada masalah, Bu.” Lalu kuceritakan semuanya pada Ibu. Ibu mendengarkan ceritaku sampai selesai tanpa menyela sedikit pun.

“Begitu ceritanya.” Ibu tersenyum bijak. “Tapi Lin, kalau anak lain yang diejek Maggie kamu tidak akan seberang itu, kan?” Aku hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. Bisa jadi Ibu benar. “Mana, sudah kamu foto apa belum bocah itu? Seperti apa dia itu, kok bisa begitu istimewanya sampai-sampai kamu sayang banget sama dia,” kata Ibu menagih janjiku kemarin. Ibu penasaran ingin melihat rupa anak emasku yang saban hari selama empat bulan ini selalu kuceritakan itu.

“Pokoknya cakep, Bu! Ini Bu, tadi sebelum pulang Linda ambil fotonya. Eksklusif untuk Ibu!” Kataku sambil mencari-cari foto Ruben di ponselku. Ponsel pemberian mama Ruben. Ponsel dengan fitur lengkap seharga dua bulan gajiku. Bagaimana Bu Rahmani tidak akan curiga coba? Setelah kutemukan, kutunjukkan foto close up Ruben dengan ekspresi datarnya.

“Mana ….” Ibu mengambil ponsel dari tanganku. Ibu mengamati foto Ruben beberapa lama sambil mengerutkan keningnya. “Matanya …,” guman Ibu kemudian.

“Kenapa Bu, matanya …?” Tanyaku heran.

Ibu terhenyak, lalu buru-buru mengangsurkan foto Ruben padaku. “Tidak, matanya bagus sekali. Ganteng. Apa, jangan-jangan kamu mau nunggu dia gede dulu, Lin? Sampai-sampai umur segini belum mau menikah juga?” Ibu kembali menekuni majalahnya.

Lagi-lagi, soal itu lagi! Tidak di rumah, di sekolah, di gereja, bahkan di jalan status lajangku ini dipersoalkan. Agar hal ini tidak lagi ditanyakan orang mungkin perlu kubuat pengumuman di koran bahwa aku memang tidak akan menikah. Tapi tidak mungkin, karena aku menjadi harus menjelaskan alasannya. Padahal hal itu terlalu menyakitkan bagiku.

Ini dia, rasa nyeri di dada kiriku itu kembali datang!
***

Tiga

Setiap Sabtu sore minggu terakhir kami selalu berkumpul di rumah Ruben untuk mengevaluasi perkembangan Ruben selama satu bulan. Yaitu aku sebagai guru kelas Ruben, Bu Mona terapis Ruben, Pak Sam guru les Ruben, Bu Rosa sendiri dan Pak Kris, papanya Ruben, jika beliau tidak sedang luar kota. Sebenarnya kami sudah selesai dari tadi. Tinggal aku yang belum pulang, menunggu Pak Bagyo, sopir Bu Rosa, yang sedang menjemput Pak Kris di bandara. Di antara kami, memang aku yang spesial diantar jemput oleh Pak Bagyo. Sebenarnya aku bisa saja naik bis kota, tapi Bu Rosa bersikeras untuk memberiku fasilitas antar jemput. Kecuali nanti kalau aku sudah ada pacar yang mau mengantar jemputku, katanya.

Sudah hampir satu jam aku menunggu di ruang keluarga ini. Tehku sudah habis dari tadi, bahkan ini sudah gelas yang kedua. Bengong sendirian, lagi. Bu Rosa mandi dari tadi tidak selesai-selesai juga. Ruben barusan masuk kamarnya meninggalkan legonya berserakan di lantai. Berkali-kali sudah mataku mengitari seantero ruang keluarga ini. Meneliti perabotnya satu per satu sembari mengagumi penataannya yang sangat mengesankan. Modern minimalis.

“Aih, kok melamun! Makin jauh jodoh lho, Bu!” Bu Rosa mengagetkan aku. Dia masih memakai jubah mandi. Bahkan handuk masih bertengger di kepalanya yang basah. “Sabar, sebentar lagi pasti nyampai. Barusan papanya Ruben telepon sudah di jalan. Pesawatnya terlambat!” Dibukanya handuknya lalu dikibas-kibaskannya kepalanya. Dengan rambut basah seperti itu muka putihnya kelihatan lebih segar. “Makanya buruan punya pacar, Bu!”

Aku hanya tersenyum simpul lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Jengah telingaku, terlalu sering perkara jodoh dijadikan olok-olok untukku. “Gimana Bu, udah jadi ketemu sama yang mau kerja sama buka cabang restoran?” Begitu pindah ke kota ini, Bu Rosa merintis usaha restoran masakan Jepang. Baru sebentar buka, omzetnya sudah lumayan. Katanya saat ini dia sedang mencari rekanan untuk membuka cabang baru di luar kota.

Bu Rosa meraih cangkir teh di hadapannya. “Oh, itu. Sepertinya sih gagal, Bu. Janjian ketemu saja saya batalkan terus. Ini orangnya belum menghubungi saya lagi. Habis gimana lagi, Bu. Kalau lagi waktunya meeting pasti Ruben nggak bisa ditinggal. Dulu itu Ruben demam, habis itu minta dianterin renang, terakhir besoknya ternyata Ruben ulangan. Ya udah, janji ketemunya saya batalin terus!”

“Wah, sayang ya, Bu!”

“Biar saja, Bu! Bisnis kan hanya sampingan, anak nomor satu!”

Memang beruntung sekali Ruben memiliki mama seperti Bu Rosa ini. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk Ruben. Dari Ruben kecil Bu Rosa sudah mengurusi Ruben dengan tangannya sendiri. Sampai sekarang pun tidak mengambil pengasuh untuk Ruben. Semua kebutuhan Ruben disediakan oleh Bu Rosa sendiri.

Bahkan Bu Rosa seakan tidak mempunyai waktu untuk dirinya sendiri. Menurutnya untuk sekedar ke salon atau berbelanja pun belum tentu dua bulan sekali Bu Rosa sempat. Bu Rosa memang terlihat terlalu sederhana untuk ukuran seorang istri pengusaha kaya. Sangat berbeda dengan para mama muridku yang lain yang tampak sangat glamour.

Belum lagi biaya yang sudah dikeluarkannya untuk Ruben. Untuk membayar terapinya, lesnya, uang sekolahnya, juga pemberian-pemberiannya padaku. Biar pun baginya mungkin uang bukan masalah, tapi kupikir cukup besar juga biaya yang dikeluarkan Bu Rosa untuk Ruben setiap bulannya.

Dan yang paling mengesankan dari Bu Rosa, tidak pernah sepatah keluhan pun yang pernah kudengar keluar dari mulutnya. Alih-alih menggerutu menghadapi anaknya yang membutuhkan perhatian khusus, malah semangat hiduplah yang selalu kudengar dari mulut Bu Rosa.

“ Melamun lagi!” Tegur Bu Rosa. “Ada apa sih, Bu?”

Kembali aku tersenyum. “Tidak kok, Bu, tidak apa-apa. Saya cuma kagum sama Bu Rosa!”

“Kagum boleh, tapi ingat saya sudah ada yang punya lho …,” candanya sambil tertawa panjang.

Aku pun tergelak sejenak. Lalu mimikku kuubah serius. “Serius, Bu. Saya berani jamin, cuma ada satu diantara sejuta orang tua seperti Bu Rosa ini. Orang lain mungkin lebih memilih nyembunyiin rapat-rapat, malu punya anak dengan kebutuhan khusus. Kalau pun mau ngurusin paling sekedarnya saja, nggak kayak Ibu yang all out kayak gini ….”

Wajah Bu Rosa juga berubah jadi serius. “Selalu saya bilang, Bu. Buat saya, anak itu amanah. Bukan yang bisa dibuat main-main ….” Lalu kulihat matanya berkaca-kaca. “Tapi kalau disuruh milih, jujur saja, saya mau anak yang normal-normal saja. Yang nggak perlu guru les khusus, nggak perlu terapi ini itu, nggak perlu diet segala macemlah. Yang perkembangannya sewajarnya. Yang bisa berkomunikasi lancar, bergaul dengan baik ….” Bu Rosa terdiam untuk menghapus air matanya. “Bu Linda bisa bayangkan bagaimana perasaan saya. Saat Ruben sedang bersama dengan anak-anak lain. Mau tidak mau saya membandingkan mereka, dan betapa pedih hati saya melihat perbedaan Ruben dengan anak-anak yang lain ….” Bu Rosa lalu diam sebentar, menarik nafasnya dalam-dalam. “Tapi saya mikirnya gini. Nggak semua orang dipercaya untuk merawat anak seperti Ruben. Cuma orang-orang tertentu saja. Dan Tuhan sudah percaya saya, saya harus mengemban kepercayaan yang diberikan sama saya ini. Saya harus melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan buat Ruben. Karena Tuhan sudah percaya sama saya, Bu ….”

Aku mengangguk membenarkan Bu Rosa. “Bagaimana pun adanya Ruben, Ruben adalah darah daging ibu sendiri ya, Bu ….”

Bu Rosa tersenyum. “Apakah harus, Bu?”

Dahiku mengernyit, tidak memahami maksud Bu Rosa. “Maksud Bu Rosa?”

“Apakah kita harus, hanya, menyayangi yang darah daging kita sendiri?” Bu Rosa menatapku tersenyum penuh makna. “Kalau pun Ruben bukan anak kandung saya sendiri, saya dilarang menyayanginya seperti ini?”

Aku balas menatap Bu Rosa tidak mengerti, sedangkan Bu Rosa masih dengan senyuman penuh maknanya. Kepalaku berputar-putar, menebak-nebak, arah pembicaraan Bu Rosa.

Senyum Bu Rosa semakin lebar. “Tidak perlu kaget ya Bu, Ruben bukan anak kandung saya, Bu ….”

Tentu saja aku kaget setengah mati. “Yang benar, Bu?” Tanyaku tidak percaya.

Bu Rosa mengangguk. “Benar.”

“Adopsi?” Tebakku.

“Bukan. Bawaan suami saya.” Bu Rosa kembali meneguk teh di hadapannya. “Saya percaya, kalau pertemuan saya dengan Ruben bukanlah kebetulan. Sudah diatur sama Tuhan. Tuhan sudah menanamkan benih cinta di hati saya buat suami saya, memang karena Tuhan ingin saya menjaga Ruben. Maka saya jagai Ruben.”

Dadaku sesak oleh haru. Tak habis-habis kekagumanku akan perempuan satu ini. Entah terbuat dari apa hatinya ini. “Ruben adalah anak spesial yang dititipkan pada orang yang spesial ya, Bu?”

Bu Rosa tersenyum lebar sambil menatap Ruben yang muncul di ambang pintu. Dia berbisik, “saya minta tolong ya, Bu? Tolong jangan sampai Ruben tahu kalau saya bukan ibu kandungnya. Biar Bu Linda saja yang tahu.” Bu Rosa ganti menatapku penuh harap. “Selain keluarga, hanya Bu Linda yang saya beritahu. Nggak tahu kenapa, saya pengin saja Bu Linda tahu. Mungkin karena saya tahu, Bu Linda orangnya tulus sama Ruben.”

Aku tersenyum ikut menatap wajah malaikat itu. “Tentu, Bu!” Aku berpaling pada Bu Rosa. “Ibu ini, ibu yang hebat!” Kataku sungguh-sungguh.

“Bukan saya yang hebat, Bu! Tapi anak itu yang hebat, karena membuat saya bisa merasa hebat!” Bu Rosa lalu tersenyum menggoda. “Makanya, cepetan punya anak sendiri. Jangan melulu ngurusi anak orang saja, biar tahu rasanya gimana jadi ibu ...!”

Lagi-lagi …. “Saya pun sudah merasa hebat, Bu! Punya dua puluh anak yang hebat-hebat di kelas…!”

“Kalau anak sendiri sensasinya lain, Bu …. Mau saya kenalin sama anak buah suami saya? Ganteng ….”

Dadaku sesak. Pembicaraan ini malah jadi menyakitiku. Ini, rasa nyeri ini.
***

Pukul satu dini hari! Peluh membanjiri tubuhku. Nafasku terengah-engah di antara hening dan remang ruang kamarku. Kusambar air minum yang selalu tersedia di meja kecil samping tempat tidurku. Segelas air minumku pun tandas dengan cepat. Lalu air mata tahu-tahu sudah membasahi wajahku.

Lagi-lagi mimpi itu.

Sepertinya kami sedang berjalan menikmati malam sembari menyusuri tepian pantai. Pasir-pasirnya menggelitiki kaki telanjangku. Deburan ombaknya hinggap di telingaku. Desiran anginnya lembut memainkan rambutku. Langit gelap tampak begitu indah berhiaskan milyaran bintang yang berkelap-kelip. Bulan entah ke mana, tidak terlihat sepotong pun.

Tangan mungilnya lembut dalam gandenganku, langkah-langkah kecilnya seirama dengan senandung yang keluar dari mulutku. Kurasakan ketentraman yang sangat memenuhi rongga dadaku.

Kutengok dia di sampingku. Di antara kerlip bintang hanya siluetnya saja yang tampak. Tak mengapa, karena tangan mungilnya lembut dalam gandenganku. Begini saja aku sudah merasa cukup. Aku pun berharap pantai ini tidak berujung, malam ini tidak berakhir. Aku mau kebahagiaan ini tinggal tetap begini adanya.

Namun harapanku sirna. Entah apa yang telah merenggut tangan kecil yang kugandeng itu dengan begitu saja. Secepat kilat genggamanku terlepas, tanganku hampa kehilangan jemari kecil itu. Aku tidak kuasa berbuat apa-apa, hanya merasa kosong yang begitu menyakitkan di dadaku. Yang kemudian berubah menjadi nyeri.

Aku pun menjerit, lalu terbangun dengan peluh membanjiri tubuhku. Masih dengan rasa nyeri di dada kiriku.

Seperti biasanya setelah meminum segelas airku, aku pun menangis tergugu. Seperti biasa pula, aku meratap. Bukankah seharusnya aku bisa menggenggam tangannya lebih erat ….?

Tapi bagaimana mungkin, bahkan dia tidak akan pernah bisa kusentuh ….
***

Empat

I love Monday!

Sejak pertama kali mengajar di sini, aku selalu menyukai hari Senin. Buatku hari Senin begitu menyenangkan karena aku bisa kembali bertemu dengan malaikat-malaikat kecilku. Ruben yang paling utama.

Kami sudah duduk berkumpul di circle. Setiap pagi sebelum kami memulai aktivitas belajar kami, kami akan duduk melingkar untuk membahas apa yang akan kami lakukan sehari penuh nanti. Kadang kesempatan ini kugunakan untuk sekedar intermezzo mendengarkan celoteh anak-anak.

Anak-anak belum tenang. Mereka masih berbicara satu sama lain. Kecuali Ruben, dia berbicara dengan dirinya sendiri. Kuhela nafasku, lagi-lagi menyadari perbedaannya dengan yang anak lain.

“Yang dengar suara Bu Linda, tepuk tanganmu satu kali!” Seruku untuk menenangkan mereka. Segera sebagian anak yang mendengar suaraku menepuk tangannya. Kulihat Boni masih asyik berbicara dengan Angga, Maggie sibuk menata kartu Narutonya, Nuel memainkan kotak pensilnya, Sophie dan Catherine berbisik-bisik, Fani menggembung-gembungkan pipinya, Ruben menggoyang-goyangkan badannya.

“Yang mendengar suara Bu Linda, tepuk tanganmu dua kali!” Kini lebih banyak anak yang ikut menepuk tangannya dua kali.

“ Yang mendengar suara Bu Linda, taruh telunjukmu di mulut!” Kataku dengan suara lebih pelan. Pandanganku mengitari anak-anak yang duduk melingkar sembari membuat tanda untuk diam dengan telunjukku. Tatapanku berhenti pada Maggie yang masih tampak sibuk dengan kartu Narutonya. Menyadari tatapanku, Maggie cepat-cepat menyimpan kartunya di dalam saku. Tentu saja dia khawatir kartunya akan bernasib sama dengan milik Boni yang kusita kemarin. Kembali pandanganku mengitari anak-anak. Fani menggembungkan pipinya, lalu mengempeskannya begitu pandangan kami beradu. Setelah kurasa semua tenang, kusapa mereka. “Selamat pagi anak-anak …!”

“Selamat pagi Bu Linda …!” Jawab mereka serentak.

“Siapa suka hari Senin …?”

“Saya!” Kembali jawab mereka serentak sembari mengacungkan telunjuk.

“Masih dengan mengacungkan telunjuknya, Ruben yang duduk di sebelahku bertanya, “Bu Linda, ini hari Senin …? Hari Senin bawa foto keluarga untuk cerita?”

“Benar Ruben, terima kasih diingatkan. Siapa yang sudah bawa foto keluarga?”

“Saya!” Sebagian anak mengacungkan jarinya.

“Bu, aku belum!” Teriak Boni. “Kata mamaku besok aja! Soalnya tadi bangunnya kesiangan!”

“Aku nggak punya!” Teriak Catherine.

“Aku ketinggalan di mobil!” Sahut Risa.

“Taruh telunjukmu di mulut!” Kataku sambil memberi isyarat untuk diam. Pandanganku kembali mengitari mereka. “Oke, yang sudah bawa boleh diambil dulu! Yang belum bawa besok dibawa, ya!” Lalu kupanggil nama mereka satu per satu untuk mengambil foto dari dalam tas mereka.

Sebentar kemudian mereka sudah kembali duduk di circle. “Yang tertib, boleh cerita duluan!”

Kontan saja semua anak, termasuk yang belum membawa foto, mengambil sikap tertib ala mereka. Mulut tertutup rapat, tangan bersedekap. Semua berharap menjadi yang pertama. Setelah beberapa saat, aku memilih Nares untuk bercerita lebih dahulu. Nares tersenyum bangga, sedangkan yang lain menghembuskan nafas kecewa.

Si centil Nares memperlihatkan fotonya pada seluruh temannya. Foto pernikahan adat Jawa. Setelah beberapa saat memamerkan lesung pipitnya, dia mulai ceritanya. “Dulu itu, tanteku menikah sama omku. Ini tanteku, ini omku, ini aku, ini papa, ini mama. Ini Dik Yen Yen. Dulu itu aku sama Dik Yen Yen tugasnya mengipasi tante sama omku, biar mereka nggak kepanasan. Ini kami pergi ke Jogja naik mobil. Lalu tidurnya di hotel. Di hotel ada ac-nya. Udah.” Dia mengakhiri ceritanya sambil mengangguk ke arahku.

“Terima kasih Nares! Siapa yang mau bertanya pada Nares?” Seperti biasa semua anak, kecuali Ruben yang duduk di sampingku, mengacungkan tangannya. Ruben kulihat melamun sambil melipat-lipat foto di tangannya. Badannya masih bergoyang-goyang. “Ruben, fotonya nanti rusak!” Tegurku.

“Rusak?” Ruben berhenti melipat-lipat fotonya. Dia menatapku. “Nanti rusak?”

“Iya, kalau rusak sayang! Bu Linda yang simpan, ya?” Kataku sambil mengambil foto dari tangan Ruben yang terlipat-lipat tak karuan.

“Kalau rusak sayang?”

“Iya, sayang ….” Kubuka foto Ruben. Tiba-tiba saja aku merasa tercekik. Lalu dadaku sesak seperti akan kehilangan nafas. Sejurus kemudian kurasakan nyeri di dada kiriku. Rasa sakit yang biasanya itu. Tanpa minta ijin pada anak-anak aku segera meninggalkan circle, berlari keluar kelas menuju kamar mandi. Satu kesepakatan kelas dengan sangat terpaksa kulanggar. Masih bisa kudengar suara anak-anak yang riuh keheranan. Aku tidak lagi peduli.

Begitu masuk kamar mandi, segera kututup dan kukunci pintunya. Setelah kuatur nafasku beberapa saat kembali kubuka foto Ruben yang tergenggam di tangan kananku. Kurapikan foto itu, kucermati gambarnya. Rasanya aku tidak percaya.

Tiba-tiba saja air mataku jatuh begitu saja. Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa Ruben bisa membawa foto Om Tinus. Laki-laki dari masa laluku, yang sudah menggoreskan luka yang cukup dalam di hatiku. Luka yang tidak juga sembuh, hingga sakitnya pun masih saja terasa sampai kini.

Tidak terasa air mata di pipiku semakin deras saja. Kuhapus dengan telapak tanganku. Kembali kucermati foto Ruben yang menjadi basah oleh air mataku. Foto ulang tahun. Dari angka di lilinnya, ini Ulang tahun Ruben yang ke enam. Dua tahun yang lalu, Ruben delapan tahun sekarang. Ruben tersenyum lebar diapit oleh Om Tinus dan Bu Rosa yang juga tersenyum lebar. Wajah Om Tinus masih sama dengan wajahnya yang ada dalam ingatanku. Dia tidak bertambah tua, masih sama tampannya, matanya masih menyinarkan keteduhan. Diam-diam rasa rindu menyusupiku. Segera kutepis, karena aku kini begitu membencinya.

Wajah Ruben menyembul di belakang kue ulang tahunnya. Dia terlihat begitu lucu dengan topi kerucutnya. Dadaku berdesir, saat kudapati kesamaan mata Om Tinus dengan mata Ruben. Mata teduh mereka serupa. Mata mereka sama. Tangan kanan Ruben mengacungkan mainan berbentuk bus.

Bu Rosa. Iya, ini Bu Rosa yang kukenal. Tidak mengherankanku jika dia mendampingi Ruben saat ulang tahun Ruben. Kalau Om Tinus? Mengapa dia ada di foto ini? Apa hubungannya dengan Ruben dan Bu Rosa? Apakah dia saudara Pak Kris? Atau Bu Rosa? Atau malah jangan-jangan, Ruben anak Bang Tinus …?

Segera saja kubersihkan mukaku. Hatiku berdebar-debar, menyimpan pertanyaan apa hubungan laki-laki keparat itu dengan keluarga Bu Rosa.
***

Saat istirahat kudekati Ruben. Seperti biasa dia menikmati bekalnya di kursi favoritnya, kursi di meja art di pojok kelas. Badannya bergoyang-goyang. Sesekali dia berdiri sambil melambaikan tangannya.

Begitu kusentuh pundaknya, dia menegokku. “Pakai terus Simpatinya, ya …!” Serunya menirukan iklan salah satu kartu pra bayar. Aku hanya tersenyum sambil mengambil duduk di sampingnya.

“Enak makannya, Ben?” Keripik seperti biasanya. Aku bertanya-tanya, apakah anak autis tidak bisa merasakan bosan. Keripik lagi, keripik lagi.

“Enak?” Katanya sambil mengunyah keripiknya banyak-banyak.

Kembali aku tersenyum, lalu kukeluarkan foto Ruben dari dalam kantongku. Kurapikan, lalu kuperlihatkan pada Ruben. “Ben, ini foto siapa, ya?”

Ruben melihat fotonya, lalu menatapku. Dadaku berdesir, foto itu tidak berbohong. Kembali kudapati mata Om Tinus di mata Ruben. Bodohnya aku, selama ini tidak menyadari kemiripan mereka.

“Foto keluarga? Bawa foto keluarga untuk cerita? Hari Senin?”

Aku mengangguk. “Benar, hari Senin bawa foto keluarga untuk cerita. Ini foto siapa, Ben?”

“Ini foto Ruben? Foto keluarga untuk cerita?”

“Foto keluarga Ruben?”

“Foto keluarga Ruben?” Ruben mengangguk.

“O ya, coba Ruben ceritakan siapa saja dalam foto ini!”

Ruben merebut foto dari tanganku. Lalu dengan jarinya dia menunjuk satu-satu. “Ini mama, ini Ruben, ini papa!” Lalu dikembalikannya foto itu padaku. Aku tertegun, tak percaya. Om Tinus papa Ruben?

“Ini siapa, Ben?” Sambil kutunjuk Om Tinus.

“Ruben melihat sekilas, lalu menjawab, “Papa!”

“Ini Ben, siapa?” Tanyaku untuk memastikan.

“Papa!” Teriak Ruben marah. Ruben memang tidak suka bila didesak-desak. Aku pun mengalah. Kubiarkan dia keluar dari kursinya meninggalkan sisa keripiknya, berlarian menyeberangi ruang kelas.

Kembali kuamati foto Ruben. Batinku membuat analisa.

Mungkin saja Ruben anak Om Tinus. Lihat saja, mata mereka sama. Seperti yang diajarkan ibu kepadaku. Di dalam mata tersimpan kebenaran, mata tidak mungkin berbohong. Waktu itu Bu Rosa juga pernah cerita kalau sebenarnya Ruben bukan anak kandungnya, tapi bawaan suaminya. Kalau begitu, Bu Rosa sudah menikah dua kali. Pertama dengan Om Tinus, kedua dengan Pak Kris.

Jika memang benar Ruben anak kandung Om Tinus, kenapa Ruben malah ikut Bu Rosa? Tidak ikut papa kandung atau mama kandungnya saja? Betapa anehnya ….

Tapi tidak, tidak aneh. Sebenarnya tidak perlu heran lagi jika laki-laki itu kabur meninggalkan tanggung jawabnya. Paling tidak, dia sudah cukup berpengalaman untuk itu. Seperti yang sudah diperbuatnya padaku dulu.

Masih ada sisa pertanyaan lain yang berkecamuk di benakku. Siapa istri pertama Om Tinus? Ibu kandung Ruben? Yang lebih penting lagi, di mana Om Tinus sekarang? Laki-laki gombal yang pernah sampai berbuih-buih mulutnya melambungkan aku dengan kata-katanya, namun setelah meninggalkan aku ternyata dengan mudahnya dia menanamkan benihnya di rahim perempuan lain. Rasa cemburu yang tiba-tiba menyelinap segera kutepis jauh-jauh. Tak ada lagi cintaku yang tersisa untuk laki-laki itu! Karena sudah bejat, teramat bejatnya dia!

Ingin sekali rasanya kujumpai laki-laki bejat itu sekarang juga, menyumpahinya dengan segala macam caci maki, untuk semua yang sudah diperbuatnya padaku ini!

Amarah berkobar-kobar membakar hatiku, sedangkan sakit kurasakan di dada kiriku. Kembali, nyeri itu.
***

Lima

Jantungku berdebar. Kuhampiri Bu Rosa yang duduk sendirian di dekat kolam taman sekolah. Kebetulan Ruben masih di kelas seni suara jadi aku masih punya sedikit waktu untuk mengobrol dengan Bu Rosa. Mencari jejak laki-laki tak berperasaan itu!

“Siang Bu Linda …!” Seperti biasa begitu melihatku suara riang Bu Rosa segera menyapaku. Siang ini penampilannya begitu kasual dengan kaos ketat warna cerah dan jeans selututnya. Warna rambutnya berubah, rupanya Bu Rosa sudah sempat pergi ke salon.

“Siang, Bu!” Aku duduk di dekat Bu Rosa. “Penampilan baru, Bu? Tambah seger, lho!” Ujarku berbasa-basi.

“Bisa aja Bu Linda ini!” Bu Rosa tersenyum lebar menampakkan rentetan gigi putihnya yang tertata rapi. “Gimana Ruben hari ini, Bu?” Selalu itu pertanyaan Bu Rosa setiap kali bertemu denganku di sekolah.

“Tadi lagi-lagi ribut sama Nuel, gara-gara kotak pensil. Ruben ngambil kotak pensil Nuel tanpa ijin, Nuelnya ngamuk-ngamuk.”

“Akhir-akhir ini kok, temanya kotak pensil Nuel terus ya, Bu?” Tanyanya heran.

“Saya juga heran, Bu! Sejak Nuel pakai kotak pensil baru, Ruben bawaannya pengin ngeliat terus. Cuma Ruben masih harus terus diingatkan, harus minta ijin dulu kalau mau pinjam.” Bahkan saking kesalnya, tadi Nuel sempat memukul kepala Ruben dengan kotak pensilnya itu.

“Memang kotak pensilnya kayak apa, sih Bu?” Tanya Bu Rosa penasaran.

“Kotak pensil biasa, bentuknya bus ….”

Aku kaget karena tiba-tiba saja Bu Rosa tergelak. Muka putihnya berubah menjadi merah. “Oalah, Bu …! Pantas saja! Ruben itu memang terobsesi sama bus. Sejak dia sewaktu ulang tahun dihadiahi sama papanya bus mainan. Besok deh, saya beliin dia!”

“O, gitu ya, Bu! Pantas saja!” Jantungku berdetak keras. Di fotonya, di antara Bu Rosa dan Om Tinus, Ruben memegangi mainan berbentuk bus.

“Itu, di rumah busnya selemari. Dari penghapus sampai bus segede gajah …!”

“Waduh! Bisa buka toko dong, Bu!” Kurasa cukuplah basa basinya. “O iya, Bu. Ruben kok bawa fotonya salah….” Kurasakan suaraku bergetar, sedangkan dadaku berdegup semakin kencang.

“Salah gimana, Bu?” Tanya Bu Rosa heran.

“Yang dibawa kok, foto Bu Rosa, Ruben, dan nggak tahu siapa ….” Sekuat tenaga aku berusaha menetralkan suaraku.

“Oh, itu!” Bu Rosa tersenyum. “Bu Linda nggak pernah lihat berkas pendaftaran Ruben, ya …?”

Aku menggeleng. Soal pendaftaran siswa baru itu urusan Bu Susan.

Bu Rosa lagi-lagi tersenyum. “Itu Bang Tinus Bu, papa kandung Ruben ….”

Ruben benar anak Om Tinus! Kembali hipotesa ibu kalau mata tidak mungkin berbohong itu teruji keabsahannya! Kembali juga aku menyesali kebodohanku sampai tidak menyadari hal ini, padahal selama empat bulan ini aku selalu bersama anak itu. Bahkan lekat dengan dia.

Pertanyaanku mengenai siapa papa kandung Ruben sudah terjawab. Kini pertanyaan selanjutnya. Siapa ibu kandung Ruben. Terlebih lagi di mana Om Tinus sekarang. Kukeluarkan tissue dari kantong celanaku, aku berpura-pura membersihkan keringat di ujung hidungku untuk menutupi gejolak rasaku yang meletup-letup.

Seperti harapanku, Bu Rosa melanjutkan ceritanya. “Dulu saya pernah cerita Ruben bawaan suami saya kan, Bu? Ruben anak Bang Tinus, suami pertama saya. Ceritanya, sebelum kawin sama saya, Bang Tinus pernah pacaran sama anak SMP, keponakan temen kuliahnya di Semarang sini. Dasar Bang Tinusnya nakal, anak SMP-nya juga masih lugu, gampang dibegoin, akhirnya hamil di luar nikah. Orang tua anak itu nggak mau nikahin mereka. Ya karena perbedaan usia, anaknya masih terlalu muda, dan dasarnya mereka juga nggak cocok sama Bang Tinus. Bang Tinus dipaksa ninggalin anak mereka. Kalau Bang Tinus mau bayinya tetap hidup, berarti Bang Tinus harus segera menghilang. Seakan-akan Bang Tinus nggak mau tanggung jawab, gitu. Karena kalau tidak, mereka lebih rela memaksa anaknya menggugurkan bayi itu. Bang Tinus mau anaknya tetap lahir. Begitu bayinya lahir langsung dikasih sama Bang Tinus. Lalu dibawanya pulang ke Jakarta. Jadi tahunya si anak SMP itu, Bang Tinus sudah lari dari tanggung jawab, mengkhianati cinta mereka.”

Enteng sekali Bu Rosa bercerita, sedangkan dadaku bergemuruh tidak karuan. Kabar yang baru saja kudengar ini layaknya petir yang menggelegar di siang bolong. Air mata sudah mulai mengambang di pelupuk mataku. Kutahan sekuat tenaga. Anak SMP yang dimaksud itu pasti aku!

Tak kusangka, aku sudah dibodohi oleh orang tuaku sendiri. Rubenku, malaikatku, bayiku! Adalah anak yang bahkan belum sempat kulihat!

Selama ini yang tersisa dalam ingatanku hanyalah bagaimana aku menjerit sekuat tenaga sebelum bidan mengangkat sesosok mungil di hadapanku. Sosok mungil yang hanya tampak samar oleh mataku, karena beberapa detik sesudahnya hanya gelap di mataku. Sampai tahu-tahu kubuka mataku, Ibu sudah membisikiku kalau bayiku ternyata tidak selamat. Sudah dibawa pulang, langsung dikuburkan di samping rumah di bawah pohon bougenville, agar aku tidak terlalu bersedih, katanya. Kehendak Tuhan selalu baik menurut Ibu, karena dengan kematian bayiku aku tidak perlu memperpanjang penderitaanku lagi. Segala sesuatunya pun menjadi lebih gampang. Bapak tidak perlu bersusah-susah mencari Om Tinus, yang langsung raib begitu tahu aku mengandung anaknya, untuk dimintai pertanggungjawabannya. Laki-laki itu sudah dianggap mati saja. Rencana Tuhan selalu indah, aku tidak perlu bersedih, begitu hibur Ibu. Terlebih lagi aku bisa ikut ujian bulan depan, dan melanjutkan SMA setelah lulus nanti. Merajut kembali masa depanku. Menemukan laki-laki yang baik. Yang jauh lebih baik daripada laki-laki itu bejat itu.

Ngilu hatiku! Air mataku pun jebol, untung mata Bu Rosa menerawang pada kolam ikan. Cepat-cepat kuhapus air mataku.

“Lalu kami kawin. Kami memang sudah dijodohin sejak kecil. Orang tua saya berhutang budi pada papa Bang Tinus. Saya buat bayarannya ….” Bu Rosa tersenyum kecut. “Perjodohan kami dipercepat. Skenarionya, kami menikah biar ada ibu untuk Ruben.” Bu Rosa menghela nafasnya. “Saya ini bidak catur, mana kuasa saya menolak. Tapi saya sama sekali tidak menyesal. Dari semula saya memang cinta sama Bang Tinus. Dia begitu istimewa ….”

Diam-diam batinku tidak menyangkalnya.

Bu Rosa mengalihkan matanya dari kolam, memandangku sendu. “Di samping itu, saya juga udah jatuh cinta sama Ruben sejak ngelihat dia buat pertama kalinya. Jadinya, mereka berdua benar-benar satu paket buat saya ….”

“Ruben … Ruben tahu Pak Kris bukan papanya, Bu?” Tanyaku hati-hati sambil menyembunyikan getar dalam suaraku. Pertanyaan bodoh, runtukku dalam hati kemudian. Jelas-jelas Ruben membawa foto itu!

“Ya tahulah! Bang Tinus meninggal dalam kecelakaan bus dua hari setelah ulang tahun Ruben yang ke enam itu. Saya menikah sama Bang Kris dan pindah ke sini baru satu tahun yang lalu. Makanya waktu disuruh bawa foto keluarga Ruben ngambilnya foto itu. Kenangan terakhirnya sama papanya!”

Ini petirku yang ke dua siang ini. Laki-laki yang pernah setengah mati kucintai itu ternyata sudah mati. Orang yang sudah menanamkan cinta, dan benihnya padaku. Kecelakaan bus. Kenyataan ini menyesakkan dadaku. Bagaimana pun dia pernah membawaku terbang memimpikan cinta .... Segera kusisihkan perasaan ini. Ada yang lebih penting.

Yang pasti, terang sudah semua kini. Aku sudah mendapat jawabannya sekarang, mengapa kurasai begitu kuat daya tarik anak itu sejak pertama kali aku melihatnya. Magnet yang memiliki gaya tarik begitu kuatnya itu ternyata adalah ikatan batin antara ibu dengan anak.


Pertama kali melihatnya, Ruben datang bersama Bu Rosa untuk mendaftar masuk di sekolah ini. Ruben memakai celana jeans selutut dengan kemeja kotak-kotak biru tua yang dimasukkan rapi. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya waktu itu. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan mamanya, sedangkan mulutnya sibuk menggigiti kuku kelingking tangannya yang lain. Bahkan saat Bu Rosa memintanya untuk bersalaman denganku, Ruben menggeleng. Dengan tetap mencengkeram pergelangan tangan mamanya dan mengigiti kuku kelingkingnya, dihentak-hentakkannya kakinya. “Pulang …. Pulang …!” Teriaknya. Bu Rosa begitu sabar membujuknya, hingga akhirnya Ruben sedikit tenang dan mengulurkan tangannya padaku.

Begitu tangan kami bersentuhan aku menariknya dalam pelukanku. Merengkuhnya erat dengan kedua tanganku. Entah perasaan apa yang kurasakan waktu itu. Seperti lapang benar dadaku. Nyaman sekali memiliki anak itu dalam pelukanku. Rasa cemas Ruben pun seperti menguap tanpa sisa.

Dari pertemuan pertama itu sampai empat bulan aku mengajarnya ini pun magnet itu masih saja kuat menarikku. Aku tidak bisa melepaskan Ruben dari pikiranku. Bukan hanya sewaktu aku mengajarnya di kelas, tapi dalam keseluruhan keseharianku. Ruben merajai otakku. Ternyata ini rasa alami seorang ibu.

“Kenapa Bu, kok matanya merah?” Pertanyaan Bu Rosa membuyarkan lamunanku. “Hidungnya ikut merah?”

Refleks kuusap hidungku. “Terharu Bu!” Dustaku. Kusadari ternyata suaraku juga sudah sengau. “Hidup Ruben dramatis sekali!” Hidungku ternyata sudah beringus.

“Pasti kok kalau sama saya bawaannya terharu terus!” Kata Bu Rosa sambil tersenyum lalu melanjutkan penuturannya. “Waktu Bang Kris melamar saya, saya bilang kalau saya tetap mau bawa Ruben. Ruben cuma punya saya. Kakek neneknya sudah nggak ada, saudara-saudara papanya acuh saja. Saya bilang saja sama Bang Kris, kalau cinta saya berarti juga cinta Ruben, karena saya cinta Ruben. Untung Bang Kris terlanjur cinta mati sama saya. Dulu saja waktu saya mau saja dijodohin sama Bang Tinus, dia hampir kecelakaan karena mengemudi sambil mabuk!” Bu Rosa menahan tawanya. “Waktu saya mau dilamar Bang Kris, orang banyak yang bilang yang jelek-jelek tentang saya. Dulu saja ditolak-tolak, setelah Bang Tinus tidak ada jadi mau. Saya dikira cuma mau uang Bang Kris saja. Tapi apa peduli saya. Yang penting, Ruben bisa tercukupi kebutuhannya. Terus terang saja, waktu saya sendiri saya kewalahan membiayai terapi-terapinya.”

Aku diam, tidak kuasa lagi menanggapi cerita Bu Rosa. Aku dibingungkan oleh carut-marut pikiranku sendiri, kenyataan yang tak terbayangkan sebelumnya ini.

“Mama …!” Ruben berteriak dari kejauhan.

Bu Rosa menatap anak itu dengan sorot penuh kasih sayang. “Kembali saya minta tolong sama Bu Linda ya, Bu ….” Bu Rosa menatapku penuh harap, “Ruben jangan pernah tahu kalau saya bukan mama kandungnya. Di akta kelahiran Ruben pun sudah diatur saya ibu kandungnya.”

Aku tidak bisa apa-apa selain mengangguk. Senyumanku kurasakan hambar.

Ruben berlari menghampiri Bu Rosa dengan tangan mengembang. Bu Rosa menyambut Ruben dengan senyum lebarnya.

Hatiku teriris-iris melihat ibu dan anak itu berpelukan erat. Segera kutinggalkan mereka tanpa pamit, karena air mataku sudah akan jebol lagi. Rasa nyeriku ini tidak tertahankan lagi.
***

Enam

Kubuka pintu depan dengan tergesa. Aku sudah tidak sabar untuk menyelesaikan perkara ini.

“Bu …!” Kusorongkan foto Ruben di muka Ibu yang sedang duduk menjahit di depan TV. “Lihat, Bu!”

Ibu meletakkan jahitannya sambil melihatku tidak mengerti, merasa heran oleh ketidaksopananku yang tidak biasanya ini. “Apa … Lin …?” Tanyanya sambil memandang wajahku yang tegang.

Masih dengan mengacungkan foto Ruben, aku duduk di dekat Ibu. “Linda yang seharusnya bertanya, Bu! Ibu tolong jelaskan apa ini!” Aku sendiri tidak percaya ini, aku berteriak pada Ibu, tidak mampu mengontrol emosiku.

Gamang Ibu meletakkan jahitannya, meraih foto Ruben. Kemudian bisa kulihat betapa terkejutnya Ibu, tapi Ibu berusaha menutupinya. Ibu berdehem. “Buat apa kamu tunjukkan foto lelaki itu, Lin! Mati-matian Ibu ingin melupakan wajahnya!” Kata Ibu sambil mengalihkan matanya dari foto Ruben. Menyerahkannya padaku, lalu kembali menjahit.

“Ini tidak sekedar foto Om Tinus, Bu! Lihat, ada Ruben juga! Tolong Ibu jelaskan pada Linda! Kenapa saat anak-anak Linda suruh bawa foto keluarga, Bu Rosa bawain Ruben foto ini! Foto Om Tinus, Bu Rosa dan Ruben! Bukan foto Pak Kris, Bu Rosa dan Ruben!” Teriakku menggelegar.

“Lin, seharusnya kamu tanya Bu Rosa, bukan Ibu!” Ibu masih berusaha mengelak. Tangannya masih menjahit. Kulihat jahitannya sudah tidak beraturan lagi.

Kurebut kain jahitan Ibu. “Bu!” Kugoncangkan bahu Ibu. “Ibu tolong jujur! Apa benar anak Linda mati?”

“Anakmu meninggal begitu dilahirkan, Lin!” Kini mata Ibu berkaca-kaca. “Dikubur di samping rumah, almarhum bapakmu sendiri yang menggali lubangnya ….” Setetes air mata bergulir di ujung mata Ibu. Diusapnya dengan jemarinya.

Kuhela nafasku dalam-dalam mencoba untuk mengendalikan emosiku. “Bu, tolong Ibu katakan yang sebenarnya, Bu ….” Ibu hanya terdiam, kembali mengusap pipinya yang basah. “Bu, Linda sudah ketemu Bu Rosa. Linda tanya Bu Rosa, kenapa foto ini yang Ruben bawa. Ibu tahu kenapa, Bu? Karena memang inilah keluarga Ruben. Om Tinuslah papa kandung Ruben, bukan Pak Kris. Dan Bu, sebelumnya Bu Rosa pernah cerita sama Linda kalau Ruben bukanlah anak kandung Bu Rosa, tapi bawaan suaminya. Jadi Ruben anak Om Tinus, tapi bukan anak Bu Rosa, Bu!” Aku tidak juga berhasil mengendalikan emosiku. “Tadi Bu Rosa juga bilang, kalau Ruben hasil hubungan di luar nikah Om Tinus dengan seorang anak SMP di Semarang. Om Tinus dipaksa orang tua anak SMP itu untuk meninggalkan anak SMP itu, karena kalau tidak bayinya akan digugurkan saja. Begitu lahir bayi itu pun langsung diserahkan pada Om Tinus, dibawanya ke Jakarta.” Aku berhenti sejenak melihat reaksi Ibu. Air matanya sudah hampir jatuh. “Jadi Bu, siapa anak SMP itu kalau bukan Linda, Bu?!”

Tangis Ibu pun akhirnya pecah. Ibu lalu memelukku. Di antara tangisnya Ibu membuat pengakuan yang sudah kuduga sebelumnya. “Iya, Lin, iya …. Kalau cerita Bu Rosa seperti itu, Ruben memang benar anakmu, Lin. Sejak kamu tunjukkan fotonya dulu Ibu sudah menduga kalau dia anakmu. Matanya Lin, diwarisinya dari Tinus. Mata tidak mungkin bohong, Lin. Ruben anakmu Lin, Ruben anakmu!” Ibu mengerang. “Maafkan Ibu ….”

Kulepaskan pelukan Ibu. Kupegangi dadaku yang sakit teramat sakit. Nyeri.

Air mata makin deras di pipi Ibu. “Maafkan Ibu, maafkan kami, Lin. Ibu dan bapakmu yang menyuruh Tinus pergi membawa anakmu. Kami berbohong akan mengugurkan bayinya kalau sampai dia menolak meninggalkanmu, Nak! Semua ini demi kamu. Kamu masih terlalu muda waktu itu, Lin. Masa depanmu masih panjang. Demi kebaikanmu, Lin. Maafkan kami ….”

Aku menangis tergugu. Aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan. Perasaanku tidak terdefinisi, sejuta rasa bercampur jadi satu! Yang pasti nyeri, di sini, di dadaku.
***

Kuakhiri hari ini dengan tidur menelungkup di kasurku setelah sore tadi aku menyambangi kuburan kecil di samping rumahku. Sebuah nisan kecil di bawah pohon bougenville. Tidak tertera nama di nisan itu, karena memang aku tidak memberi bayiku nama. Bayi tanpa namaku yang setahuku meninggal begitu kulahirkan delapan tahun yang lalu.

Sebelumnya aku selalu datang saat senja temaram. Kubawakan seikat bunga segar untuk menggantikan bunga yang kutaruh hari sebelumnya. Setelah membersihkan sekitar nisan, kubisikkan doa untuk bayi yang belum sempat kutimang itu. Saat malam sudah datang, kukecup batu nisannya sebelum aku beranjak. Selalu begitu selama delapan tahun terakhir ini.

Sore tadi tidak. Kubawa serta Pak Karmun, tetangga sebelahku. Lalu kutinggalkan dia dengan satu tugas, membongkar nisan itu. Karena sebuah kebohongan sudah terbongkar. Kebohongan yang sayangnya selama ini telah menjadi alasanku untuk larut dalam penyesalan dan memutuskan hidup melajang sebagai tebusannya.

Hari ini benar-benar berat untukku. Lelah sekali sampai-sampai kurasai tulang belulangku seperti dilolosi. Namun semua ini belum berakhir, aku masih dalam dilema.

Apa yang akan kuberbuat sekarang? Memberitahu Bu Rosa kalau Ruben adalah anak kandungku yang delapan tahun ini hanya bisa kujumpai siluetnya dalam mimpi-mimpi burukku? Bilang padanya kalau akulah yang paling berhak atas kebahagiaan ini, karena dari rahimkulah anak itu berasal, setelah delapan tahun aku menghukum diriku untuk kesalahan yang tidak kulakukan?

Bagaimana kalau dia bersikeras mengukuhi Ruben sebagai anak kandungnya mengingat cintanya yang begitu besar pada Ruben?

Mungkin tidak masalah. Aku bisa maju ke pengadilan. Tes DNA, aku pasti menang karena memang aku ibu kandungnya.

Tetapi, tetesan keringatnya, limpahan kasih sayangnya, semua yang telah diperbuat perempuan berhati seputih salju itu apakah akan menjadi menjadi sia-sia belaka?

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana dengan Ruben? Sanggupkah dia menerima kegoncangan ini dalam kehidupannya yang sudah begitu mapan? Dia dengan segala keterbatasan yang dimilikinya?

Lamunanku buyar oleh suara pintu kamar yang dibuka. Ibu berdiri di ambang pintuku. “Sampai kapan kamu mau marah sama Ibu, Lin?” Tanya Ibu dengan memelas. “Ibu salah, Ibu minta maaf ….” Ratusan kali sudah Ibu mengatakannya satu hari ini.

“Sudah terlanjur, Bu, biar saja. Linda maafkan Ibu sama Bapak.” Tentu saja aku berdusta. Tapi tak mungkin aku terus menerus menyiksa batin perempuan tua ini.

Ibu duduk di bibir ranjangku. “Terima kasih sudah mau mengerti.” Ibu mengusap punggungku dengan lembut. “Sekarang apa yang akan kamu buat, Lin? Anakmu akan kamu minta …?”

“Entahlah, Bu. Linda bingung …,” jawabku pasrah.

“Semua terserah kamu, Lin. Tidak akan ada yang menyalahkanmu, kalau pun kamu mau minta anak itu kembali ….”

“Linda tahu, Bu. Tahu, sangat tahu ….”

Andai bisa semudah itu.
****

Peluh membanjiri tubuhku. Dada kiriku terasa nyeri tak terkira sekali pun kali ini bukan seperti mimpi yang biasa.

Aku seperti berdiri seorang diri di bawah gemerlap bintang-bintang di angkasa raya. Malam ini bulan tidak terlihat. Kaki telanjangku merasai pasir pantai. Angin semilir memainkan rambutku. Sementara sekali waktu ombak berdebur lembut. Hanya hening dalam batinku.

Di kejauhan aku melihat tiga sosok siluet di tepi pantai. Mereka bergandengan tangan menyusuri pantai. Mereka terlihat bahagia. Menikmati malam, bintang, pasir, angin, dan ombak. Mereka seperti berharap pantai ini tidak berujung, malam ini tidak berakhir. Agar kebahagiaan ini tinggal tetap begini adanya.


Lama kutatap ketiga siluet itu untuk memastikan siapa mereka. Namun tetap saja hanya tiga sosok hitam yang bergerak pelahan yang kutangkap. Walau demikian, sepertinya aku tahu siapa mereka.

Tiba-tiba saja muncul hasratku untuk bersatu dengan mereka. Meninggalkan aku yang sendiri dengan kesendirianku ini. Agar malam ini tak sekedar malam, bintang, pasir, angin, dan ombak saja, melainkan juga kebahagiaan bagiku.

Saat sudah akan kulangkahkan kakiku, aku seperti terpaku pada pasir pantai. Kakiku kaku tidak bisa digerakkan. Aku diam seperti patung lilin tak bernyawa. Tidak mampu bergerak bahkan sekedar untuk membuka mulut sekali pun. Aku terus berusaha sekuat tenagaku meronta dari keterpakuanku ini. Begitu ketiga siluet itu hilang ditelan malam aku baru bisa berhasil menggerakkan kakiku. Aku pun terbangun dari tidur.

Air minumku sudah tandas dari tadi. Gelasnya kini masih kupegang erat dengan kedua tanganku. Peluhku belum kering, pun air mataku. Sakit di dada kiriku kurasai semakin nyeri.

Aku diam terpekur untuk beberapa saat lamanya mencoba memaknai mimpiku ini.
***

Beberapa lama ini kunikmati wajah anakku. Wajahnya yang begitu murni. Jernih, tanpa dosa. An angel face. Benar-benar dia adalah malaikat kecilku. Bayiku. Milikku.

Ruben duduk di pangkuanku. Tubuhnya bergoyang-goyang sambil tangannya memutar-mutar kotak pensil barunya. Dari tadi tak habis-habisnya kekagumannya akan kotak pensilnya ini. Kotak pensil dariku. Kotak pensil yang sama persis dengan kepunyaan Nuel. Matanya berbinar-binar saat tadi menerima kotak pensil ini dariku.

“Ngeeeengggg ……. Ciiiittt! Duer!” Kotak pensilnya ditabrakkan pada telapak tangannya. “Aduuh …. Mati!” Serunya sambil memukul kepalanya, lalu menoleh padaku menampakkan wajah malaikatnya.

“Ben, Ruben sayang sama Mama?” Tanyaku sembari memeluknya dan membaui wangi rambutnya.

“Ruben sayang Mama?” Wajah mailakat itu kembali menatapku.

“Sayang …?”

“Sayang?”

“Mama juga sayang Ruben.”

“Mama sayang Ruben?”

Aku mengangguk. Tak terasa air mataku sudah jatuh. Erat kupeluk darah dagingku ini.

“Itu Mama datang!”

Aku mengikuti telunjuk Ruben. Rupanya Bu Rosa datang menjemput.

“Halo, Sayang!” Teriak Bu Rosa dari kejauhan. Senyumannya selebar pelukannya yang mengembang.

“Halo, Mama?!” Ruben melepaskan diri dari pangkuanku. Kotak pensilnya terlepas dari tangannya, jatuh menimbulkan bunyi yang nyaring. Dia berlari ke pelukan mamanya. Sedangkan air mataku semakin deras saja.

Aku diam tidak bergeming. Hanya berpaling menghadap tembok, berusaha menyembunyikan mukaku yang basah. Aku tidak mau Bu Rosa memergokiku menangis saat anaknya duduk di pangkuanku. Aku takut, aku tidak akan bisa berkelit jika dia menanyakan apa yang sedang terjadi. Biarlah kenyataan ini tetap tersembunyi di sudut hatiku.

Aku tidak ingin buah hatiku itu terluka. Biarlah wajahnya tetap bening. Wajahnya yang begitu murni itu. Jernih, tanpa dosa.

An angel face. Wajah malaikatnya.

Tiba-tiba kusadari, aku telah kehilangan rasa nyeri di dada kiriku yang selama ini menyakitiku itu.
***
Semarang, 25 Mei 2008

Tuesday, November 10, 2009

Dan Secangkir Kopi Itu pun Terlanjur Dingin

Secangkir kopi itu hanya hening. Lama hanya hening. Sudah lama sekali hanya hening. Terlalu lama hanya hening. Tak ada yang lain.

Uap hangatnya sudah lama menguap, apa lagi panasnya. Entah kemana. Mungkin, ke awang-awang yang terlalu tinggi tak terjangkau oleh tangan. Yang pada akhirnya membuat secangkir kopi itu pun hanya menjadi secangkir kopi yang terlanjur dingin.

Gamang. Jemarinya gentar menyentuh kupingan cangkir yang diam. Dingin bahkan sudah berasa menyentuh kulit bibirnya. Mengelukan lidahnya. Membekukan hatinya. Mengingat waktu yang tak mungkin berputar balik: menghangatkan secangkir kopi itu kembali.

Sedangkan untuknya, kopi yang dingin tak ada lagi nikmatnya.

Sehingga heningnya pun hanya berakhir sebagai hening.
**