Saturday, November 24, 2007

Surat Buat Kekasih

Tepi sebuah desa, 02 November 2003
00.14 wib



Surat buat kekasih,

Sekali dalam hidupku, aku pernah memuja cinta. Mengagungkannya. Menyembahnya sebagai berhalaku*. Aku percaya bahwa aku memilikinya, satu, kusimpan aman dalam hatiku.

Hanya sebentar saja. Semakin banyak yang kulihat, semakin banyak yang kurasa. Sehingga semakin banyak yang kupikirkan. Sehingga pula semakin aku tidak bisa mempercayai cinta lagi. Menganggap cinta adalah bualan, omong kosong, belaka. Sekedar mampu membuat sakit perut, tidak lebih.

Sebentar biar kuluruskan. Aku menghargai cinta. Aku tahu bahwa dengan cinta segala sesuatu akan menjadi baik-baik saja. Malah lebih dari sekedar menjadi baik-baik saja, melainkan menjadi yang terbaik. Masalahnya cinta adalah konsep ideal yang ada di awang-awang sana, selalu akan sulit untuk dijangkau. Apalah arti cinta kalau cinta itu selalu memiliki alasan-alasan mengapa mencinta, pada saat cinta adalah tanpa pamrih. Bukankah sebuah omong kosong belaka, saat cinta yang idealnya kuat dan menguatkan malah menjadikan seseorang ringkih. Saat cinta yang sebenarnya agung, hanya dipakai sebatas sebagai alat pembenaran diri. Sebuah penyederhanaan yang semena-mena! Singkatnya, sebenarnyalah sejak lama aku tidak percaya bahwa manusia mampu untuk mencinta. Selama manusia masih berbahan dasar daging, akan hanya cinta yang munafik yang dimilikinya. Cinta yang memiliki beribu alasan untuk mencinta. Cinta yang meringkihkan. Cinta sebagai pembenaran diri. Dan ternyata, aku sangat percaya bahwasanya hal seperti itu bukanlah cinta sama sekali.

(Anehnya, aku menyukai bacaan-bacaan cinta. Yang bercerita tentang percintaan yang berakhir buruk. Pada saat aku bisa mentertawakan cinta keras sekali).

Apakah kamu mencintaiku? Pertanyaan bodoh yang sering kali kau tanyakan. (Ternyata pertanyaan bodohpun bisa saja keluar dari orang yang tidak bodoh). Aku tahu, apapun jawabannya tidak akan mengubah keadaan. Hanya ada gelak tawaku yang berderai-derai (lagi-lagi mentertawakan cinta?), sekedar menyenangkanmu aku lalu meneriakkan sumpah matiku bahwa aku cinta kamu.

(Apakah karena cinta telah dijual terlalu murah sehingga cinta bisa sedemikian larisnya?)

Apakah aku mencintaimu? Jawabanku yang sejujurnya tentu saja, jelas tidak. Aku menginginkanmu. Aku membutuhkan kebersamaanku denganmu. Tentu saja sangat berbeda halnya dengan bila aku mencintaimu. Aku menginginkanmu karena aku memiliki alasan-alasan yang masuk akal. Aku menjadi ringkih menghadapi tatap matamu. Kau adalah pembenaran diriku untuk banyak kesalahanku. Ya, aku sangat percaya bahwa ini bukanlah cinta sama sekali.

(Lagian kalau benar adalah cinta, aku tidak akan merasa sakit walaupun terluka. Nyatanya aku menjerit. Kalau benar adalah cinta, aku tidak akan pernah mempermasalahkan untung dan rugi. Nyatanya aku selalu berharap).

Yang ada ini bukanlah cinta. Hanya sekedar nafsu untuk sebuah kebersamaan. Yang sebenarnya selalu saja didasarkan pada hitungan matematis.

(Nyatanya tetap bertahan sampai tahun keempat sejak pertemuan pertama kita. Lalu, siapa yang butuh omong kosong cinta?).

Di surat buat kekasih ini, pada saat ulang tahun keempat pertemuan kita, aku hanya mau mengatakan sebuah kejujuran, bahwa aku tidak mencintaimu.



Salam

"Kekasih"



# # #



Balasan surat buat kekasih,

Langsung saja.

Aku telah bertemu seseorang beberapa waktu lalu. Bukanlah suatu kesengajaan saat dia tertawa dengan tawamu. Rambut ikalnya yang selalu saja selusuh rambutmu. Kesukaanya mendongak menghitung bintang, ataupun berkeliling berminggu-minggu tanpa tujuan. Pelukannya yang sehangat milikmu. Dengkurannya, geliatnya.

Aku sempat curiga, jangan-jangan dia adalah kamu. Sampai saat beberapa minggu yang lalu,tepat lima tahun sejak aku bertemu kamu (bukan empat tahu seperti katamu), dia bilang bahwa dia mencintaiku. Saat itupun aku bisa memastikan bahwa dia sama sekali bukanlah kamu, sama sekali berbeda dari kamu.

Aku butuh cinta untuk menghidupiku. Cukup dengan sebuah cinta yang sederhana**. Kerumitanmu sudah lebih dari cukup menjenuhkanku.

Lalu, haruskah aku meminta maafmu?



Salam

"kekasih"



*teringat pada kalimat Dedy Mizwar dalam film "Kiamat Sudah Dekat"
**teringat pada sebuah puisi Sapardi Djoko Damono

Pengakuan Tentang Kebohongan-Kebohongan

(Pengakuan ke-1)

Tit-tit... Tit-tit...

"Hah..., sms!"

"Istrimu...?"

"Biarin aja dulu... Sekarang ya, Yang...?"

"Jangan... Tahan dulu!"

"...please..."

"Sebentar..."

"...ya...?"

"Ya sudahlah!"

.......

"Hei..."

"Sudah..?"

"He he he... Sudah! Makasih, ya?"

"Ya, sama-sama. Buka smsnya, jangan-jangan istrimu."

"...emm... Minta dijemput lalu makan malam. Males ah, ada meeting aja ya, Yang?"

"Nggak. Aku juga mau pulang. Banyak kerjaan."

"Lho, tapi kamu kan belum, Yang?"

"Terlanjur ngedrop."

"Marah?"

"Ah, kayak nggak biasa aja."

"Nggak juga. Biasanya nggak gitu-gitu amat... Salah sendiri sudah lama kita nggak..."

"Emang ngapain aja kamu sama istrimu?"

Kan beda, Yang. Beda rasanya!"

Ya jelas beda dong, rasa stoberi dengan rasa coklat!"

"He he he... rasa pete dengan rasa jengkol! He he he..."

"Berhenti cekikikan, kamu ditunggu istrimu!"

Kupandangi dia beranjak, memakai pakaiannya helai demi helai. Jujur, tidak ada yang istimewa dari tubuhnya. Tubuh rata-rata orang indonesia : perawakan sedang, kulit sawo matang, rambut rada cepak dan mulai sedikit rontok, dengan wajah yang sangat standar. Bukan pula caranya bercinta, aku sering kali bertualang dengan cara yang lebih sempurna dengan laki-laki lain yang juga lebih sempurna. Bahkan dadanya pun tidak bidang, dengan perutnya yang mulai tambun, semakin tidak sempat berolahraga rupanya. Tapi aku tidak tahu mengapa masih saja begitu aman dalam dekapannya, meletakkan kepala didadanya. Hemmmm...

"Tinggal dulu ya, Yang! Nanti telpon, ya!"

Tanpa ciuman selamat tinggal. Bukan masalah, sudah biasa.

***

Laki-laki itu sudah kukenal sebelum aku lahir. Sejak dia suka mengelus-elus perut ibuku, menciuminya, lalu mendekapnya erat sekali. Sejak kurasakan rasa yang aneh itu. Menembus daster ibuku, menerobos pori-pori perutnya, lalu mengalir bersama darah dalam plasenta hingga menyentuhku yang sedang meringkuk menghisap ibu jari dimulutku. Lalu seperti hangat menjalariku. Melapangkan tidurku. Lalu tidurku. Dan tidur-tidurku. Sejak itu aku mengenalnya, sejak aku merasakan dekapannya. Hangatnya yang aneh. Hangat yang bukan sekedar hangat.

Lama aku kehilangan. Aku baru menemukannya kembali saat aku bersiap pergi. Ibu membawaku pindah ke Jakarta. Rasa itu. Rasa yang pernah akrab kurasakan. Rasa hangat yang aneh. Rasa yang selama ini kurindukan. Rasa yang aku tidak tahu apakah itu sebenarnya. Rasa yang kumaknai sebagaimana air yang gemercik, mengalir perlahan, dengan lembut menyentuh batu, kerikil, pasir, terserap tanah. Tapi sebagia masih saja mengalir, tetap perlahan dan pasti, berirama. Saat dia mengucapkan selamat jalan, mengelus bahuku, menciumiku, lalu mendekapku erat sekali. Sebuah rasa yang telah kukenal akrab, yang seolah adalah diriku sendiri, yang hilang. RAsa yang membuatku kembali utuh. Rasa aneh yang akrab yang kemudian kembali melapangkan tidur-tidurku... Mengusir mimpi-mimpi burukku.

Dekapan yang tidak pernah berubah, selalu dengan rasa yang sama. Rasa nyaman yang sedikit aneh, gemericik air yang hangat. Hangat. Walaupun sebenarnya hangat saja tidak mampu mewakili rasa itu. Karena hangat yang tidak sekedar hangat, hangat yang menyimpan sesuatu. Hangat yang aneh. Aneh yang akrab.

Rasa yang tidak pernah berubah. BAhkan dalam mimpi-mimpiku sekalipun. Rasa yang terlampir dalam surat, telepon,maupun e-mailnya. Dekapannya tidak berubah. Gemericik air itu tetap hangat dan aneh. Akrab.

Bahkan hingga dihari itu, aku menjemput kepindahannya di bandara. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan dihari itu, aku datang di upacara pernikahannya. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan hingga di hari itu, di sebuah kamar hotel, satu malam setelah resepsi pernikahannya. Dekapannya tetap tidak berubah.

Bahkan hingga di hari-hari ini.

* * *

"Anda MAyang?"

"Ya, Anda sendiri...?". Walau sebenarnya aku tahu pasti siapakah perempuan ini. Aku pernah menyalaminya di hari pernikahannya dulu. Saat itu ternyata sudah cukup lama dari sekarang.

"Saya istri laki-laki yang sering tidur bersama anda."

Aku ingin sekali tergelak sembari bertanya 'Yang mana?'. Tapi aku tidak tega dan hanya diam.

"Saya tahu, Anda hanya inginbermain-main dengannya, kan? Omong kosong kalau sampai Anda bilang mencintainya."

Aku lagi-lagi diam, hanya karena aku memang tidak mempunyai jawaban atas pernyataannya. Bukannya tidak pernah terlintas pertanyaan itu dalam benakku, main-mainkah, cintakah bila dekapannya adalah penawar bagi sekian banyak perih yang kupunya.

"Saya juga yakin bukan karena uang kami. Saya sudah menyelidiki Anda. Anda pintar, mapan, bisnis Anda sedang berkembang. Saya yakin Anda bukan perempuan semacam itu. Carilah laki-laki lain, anda berhak untuk mendapatkan yang lebih baik." Setelah perempuan itu terdiam sebentar, "Oke, setelah pertemuan kita ini saya yakin Anda tahu apa yang seharusnya Anda lakukan."

Aku masih saja diam, sampai perempuan itu menghilang di balik pintuku. Perempuan otoriter yang sok tahu, sok yakin akan terlalu banyak hal... Ah, dia hanya tidak ingin berbagi tubuh laki-lakinya dengan perempuan lain. Tidak ada yang salah dengan itu.

Akupun hanya butuh dekapan suaminya. Tidak lebih. Toh dekapan itupun sudah jadi milikku sejak lama. BAhkan sedari aku masih dalam kandungan ibuku. Dekapan yang membawa rasa itu. Rasa yang tidak dapat kutemukan dalam dekapan puluhan laki-laki lain. Jangan kira aku tidak pernah berusaha mencari. Sampai aku tiba pada lelahku, rasa itu hanya kutemukan hanya ada satu dalam dekapannya. Saat aku meletakkan kepalaku didadanya, lalu dia mengelusku, menciumiku dan mendekapku erat-erat

Aku terdiam untuk waktu yang lebih lama lagi.

* * *

"Ya Ma... Gampang itu, biar orang kantor yang urus... Iya... He-eh... Ini lagi makan malam sambil ngobro-ngobrol dengan Pak Anton... Ya belum tahu, kalau besok sudah selesai ya besok pulang, kalau selesainya lusa ya pulangnya lusa, tapi tak usahain sepat pulang... Ok... See you... Love you too...

Sementara itu kudengar air itu bergemericik. Hangat. Sedikit aneh. Namun sangat akrab. Tidak berubah.

* * *

(Pengakuan ke-2)

Makan malam dengan Pak Anton... Huh, dipikir suamiku mungkin aku sekedar perempuan tolol yang dapat dengan mudah dibohonginya. Sedang Pak Anton-nya suamiku itu sedang pulas tidur di sebelahku. Sedangkan suamiku, seratus persen aku yakin, sedang berbaring memeluk perempuan itu. Seratus persen aku yakin mereka sedang telanjang. Bagaimana mungkin aku akan percaya bahwa mereka berdua, suamiku tercinta dengan Pak Anton-nya, sedang makan malam bersama. Mungkin roh mereka berdualah yang sedang mengadakan makan malam imajiner.

Tidak, aku tidak sedang marah. Jangan salah sangka. Aku juga tidak sedang cemburu. Apalgi balas dendam. Jauh. Jangan salah sangka. Akubukan perempuan kemarin sore yang akan kebakaran jenggot saat mengetahui suaminya selingkuh. Yang pasti aku bukan tipe perempuan yang suka memelihara jenggot.

Basi.

Sejak tiga bualan lalu, kali pertama aku mendapatkan laporan mengenai affairnya dengan perempuan itu, sampai hari ini aku tidak pernah marah pada suamiku. Kenapa mesti marah, akupun tidak marah saat aku mengetahui hubungannya dengan banyak gadis bmuda sebelumnya. Kenapa mesti marah kalau sualiku berbahagia bersama mereka. Kenapa mesti marah, kalau memang suamiku bisanya mencapai orgasme bila bersama perempuan lain, tidak bila bersamaku. Aku juga tidak pernah marah denganperempuan-perempuan muda itu. Toh mereka mendapat manfaat dari hubungannya dengan suamiku. Lagian hubungan-hubungan mereka tidak pernah sampai lebih dari dua bulan. Hubunganku dengan suamikui sudah terjalin bertahun-tahun sejak perkenalan kami di kampus dulu.

Cemburu juga tidak. Cemburu itu katanya adalah tanda cinta. Aku bahkan tidak pernah bertanya pada diriku sendiri bilakah aku mencintai suamiku. Dia suamiku, itu sudah cukup bagiku, itu juga sudah cukup bagi kelangsungan hidup perusahaan dan karyawan-karyawan yang bekerja di dalamnya. Cemburu adalah sebuah perasaan takut kehilangan sesuatu yang kita miliki, dia hanya suamiku. Sedangkan dia adalah milik perusahaan.

Aku akan merasa cemburu saat suamiku mendirikan perusahaan lain. Tapi tidak pada perempuan-perempuan itu.

Apalgi balas dendam. Balas dendam tidak pernah ada dalam kamus kehidupanku. Aku percaya bahwa alam sungguhlah adil. Alam sudah akan memberikan karma yang setimpal tanpa kita, manusia, harus mengupayakannya. Lalu mengapa harus susah-susah balas dendam, bila kita belum merasa bisa berlaku adil pada sesama kita. Serahkan saja pada alam, alam lebih tahu daripada kita. Mengapa harus balas dendam, lagian aku tidak pernah merasa sakit hati dengan semua itu. Ya, sepanjang perusahaan tidak terlantar.

Aku tidak pernah mempermasalahkan itu semua. Sama sekali tidak. Walaupun kalau mau jujur, sebenarnya aku mengakui bahwa perempuan ini berbeda. Dia tidak seperti perempuan-perempuan suamiki yang lain. Aku tahu bagi suamiku dia adalah pacarnya yang teristimewa. Buktinya dia berusaha menyembunyikan hubungan mereka rapat-rapat, walau akhirnya aku bisa tahu juga. Tidak seperti hubungannya dengan perempuan-perempuannya yang lain, yang cenderung show off. Aku tahu suamiku tidak menginginkan aku mengetahui hubungannya dengan perempuan itu, Mayang.

Aku sudah menyelidiki si Mayang ini. Seorang pengusaha muda yang menjalankan bisnis souvenir yang dirintis oleh ibunya. Dia sudah mulai mengekspor produknya. Masih single, cantik. Ibunya single parent, sekarang sedang dirawat oleh seorang psikiater, depresi. Orang-orangmenjulukinya singa betina, dia terkenal tangguh, dia tidak pernah segan untuk menelan musuhnya mentah-mentah, setelah mencabik-cabiknya terlebih dahulu. Melihat pertama kali aku bisa merasakan bahwa perempuan ini... berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tampak... berbeda.

Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukanperbuatan bodoh yang memalukanitu. Aku mendatangi si MAyang disuatu pagi, sekitar seminggu yang lalu. Intinya aku menyuruhnya untuk tidak lagi tidur bersama suamiku. Bodohnya aku. Apa hakku untuk melarangnya. Dia hanya suamiku. Aku hanya iostrinya. Bukan berarti kami saling membagikan, mempertukarkan sebagian, hati.

Toh aku tidak pernah pedili, sebelumnya, bilamana suamiku tidur dengan perempuan-perempuan lain. Mengapa, ada apa dengan si MAyang ini? Karena dia berbeda? Apa mungkin... karena aku tahu bahwa bagi suamiku dia berbeda?

Tidak, tidak. Bukan karena akku marah, bukan karena aku cemburu, bukan karena kau balas dendam, aku mendatangi si Mayang ini. Bukan. Peristiwa dipagi itu semata-mata hanyalah sekedar kekhilafanku saja.

Buktinya, saat ini, saat mengetahui suamiku masih tetap berhubungan dengan si Mayang inipun aku tidak marah. Aku tidak cemburu. Aku tidak balas dendam.

Toh, demi kepentingan perusahaan, akupun tidur dengan laki-laki lain.

Hei, aku menjadi curiga, jangan-jangan suamiku yang sedang marah, cemburu dan membalaskan dendamnya padaku.



(Pengakuan ke-3)

“Ya, ada apa, Ma…. Hebat dong! Tapi semua beres kan, nggak ada masalah kan?…. Ini lagi makan malam sambil ngobrol-ngobrol sama Pak Anton…. He-eh…. Kayaknya sih, di sini kita juga bakalan dapet, Ma ….. Ya belum tahu, kalau besok udah selesai ya besok pulang, kalau selesainya lusa ya pulangnya lusa, tapi tak usahain cepet pulang …. Ok. Bye ….”

◊◊◊◊◊



Istriku bukan perempuan bodoh, aku bisa pastikan itu. Dia sangat cerdas, cenderung licik. Dia juga licin, selicin belut. Banyak sekali deal bisnis, yang bisa terjadi hanya karena lobi-lobi yang dilakukannya pada klien-klien perusahaan. Setiap kali seorang klien menitip salam pada istriku setelah sebuah kontrak ditandatangani, aku bisa pastikan bahwa istriku telah melobi mereka malam sebelumnya. Apapun itu, perusahaan sungguh berhutang budi pada perempuan itu. Seorang perempuan yang luar biasa.

Perusahaan memang adalah detakkan jantungnya. Dia pernah berkata kalau diapun akan mati jika perusahaan sampai bangkrut. Saat itu adalah saat yang sulit bagi perusahaan. Juga bagi ayahnya, yang sudah menjelang ajal. Sampai kemudian ayahnya mengamanatkan kami agar menikah, untuk bisa bersama-sama menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan hidup sekian ratus karyawan, menyelamatkan sebuah harapan dari seorang tua yang baik hati, yang hampir menemui ajalnya.

Kamipun mengiyakannya, lalu bersepakat untuk menyatukan kemampuan dan impian kami akan perusahaan ini. Aku dengan kemampuan leadershipku, dia dengan kecerdasannya berstrategi. Tidak mudah memang, tapi lambat laun kamipun berhasil. Kami. Kalau aku bisa jujur, sebenarnya aku tahu bahwa istriku sebenarnya mampu tanpa adanya aku. Dia hanya sengaja tidak ingin terlihat ada di depan.

(Atau, mungkin, karena dia memang menginginkan aku?)

Mungkin sekedar karena sebuah amanat, atau sengaja untuk membalas budiku, atau untuk tetap menjaga kelanggengan hidup perusahaan, dia mengajakku menikah. Mungkin sekedar karena sebuah amanat, atau perasaan sungkan menolak, atau kelanggengan sebuah jabatan, aku mengiyakan ajakan menikahnya. Setidaknya, kami mengucapkan janji untuk saling mencintai sampai selama-lamanya, pada saat aku tidak pernah bertanya pada diriku apakah aku mencintainya. Pada saat, aku yakin, diapun tidak pernah bertanya pada dirinya apakah dia mencintaiku.

(Satu-satunya hal yang membahagiakanku, dan tentu saja istriku, mertuaku yang baik hati itu pasti tertawa gembira di surga.)

Akupun tidak pernah bertanya cintakah istriku padaku. Untuk apa harus bertanya, bila aku sudah tahu pasti apa jawabannya. Perusahaan adalah cinta istriku, ke dua setelah ayahnya.

Akupun bisa memahaminya. Ayahnya adalah satu-satunya yang dimilikinya sejak awal. Satu-satunya yang menghidupinya. Satu-satunya yang selalu ada bersamanya. Lalu apakah salah bila istriku mencintai ayahnya.

Lalu, perusahaan adalah kerja ayahnya. Diri bagi ayahnya. Sejak awal ayahnya sudah mengajarkannya untuk mencintai perusahaan. Perusahaan yang meminta tumbal keringat dan kerja keras. Perusahaan menghidupi banyak kehidupan. Lalu apakah salah bila istri mencintai perusahaan ayahnya, setelah cintanya pada ayahnya.

Menurutku tidak.

Karena dia mampu melakukan apapun juga untuk kedua cintanya itu. Menjadikan kedua cintanya itu mengalir dalam darahnya, mendenyutkan nadinya; membuat kedua cintanya itu sebagai penguasa bagi hidupnya. Berpeluh untuk kedua cintanya itu. Menangis untuk kedua cintanya itu. Menggadaikan diri untuk kedua cintanya itu. Bahkan aku yakin, dia mampu mati untuk kedua cintanya itu.

Andaikan aku mampu menjadi cintanya yang ke tiga…

Seorang kerabat dekat, yang juga sahabat dekat, menyarankan untuk segera mempunyai anak saja. Katanya untuk menumbuhkan cinta diantara kami. Untuk menghangatkan jiwa kami. Menyalakan roh perkawinan kami. Toh perusahaan sudah mulai mapan kembali. Sudah tidak ada alasan untuk bekerja terlalu keras, mengesampingkan salah satu kewajiban sosial, menjadi sepasang orang tua yang bahagia. Bahwa sudah saatnya memikirkan sebuah keluarga, memikirkan tangis seorang bayi di rumah kami.

Seorang kerabat dekat, yang juga sahabat dekat, yang tidak pernah kuberitahu bahwa kami tidak pernah menggunakan kontrasepsi.

Ya, selayaknya suami istri kami memang bercinta, dua tiga kali dalam seminggu, dulu, dua tiga kali dalam dua bulan, sekarang, tapi aku tidak pernah sampai bisa ejakulasi, untuk mencapai puncakku. Diam-diam aku juga heran, kenapa tidak sebutir spermapun yang tercecer untuk terbuahinya sel telur istriku. Menuruti anjuran seorang kerabat dari keluarga besar istriku yang terlalu mengkhawatirkan kelangsungan keturunan keluarga Prasojo, nama mertuaku, sebelum menikah kami menyempatkan diri untuk mengecek fungsi reproduksi kami. Saat itu tidak ditemukan masalah.

Sebenarnya sampai saat inipun tidak ada masalah. Aku tidak pernah mempermasalahkannya, pun istriku. Dia sama sekali tidak pernah bertanya, apa lagi mengajak untuk periksa. Mungkin karena dia sudah terlalu asyik dengan puluhan anak terlantar yang disantuninya. Mungkin karena dia tidak tahu bahwa aku tidak pernah mengalami ejakulasi, tertipu oleh tipuan-tipuan ekspresiku. Mungkin, hanya karena dia tidak mau peduli saja.

Aku juga tidak pernah ejakulasi bila bersama dengan pacar-pacarku, karena aku tidak pernah berhubungan badan dengan perempuan-perempuan itu. Pacar-pacar yang hanya semata-mata karena iseng kupacari, setidaknya aku tidak pernah tahu untuk alasan apa sebenarnya. Mungkin sekedar untuk mendapatkan penghargaan sosial, bahwa aku adalah seorang pemimpin sebuah perusahaan. Hanya kencan dua tiga minggu lalu selesai. Bukan untuk bersenang-senang, karena aku sama sekali tidak senang. Bukan karena aku impoten. Karena aku selalu bisa bilamana aku bersama dengan Mayang.

(Mungkin hanya sekedar dikarenakan oleh sebuah perasaan yang selalu saja menyusup, bahwa aku bukan siapa-siapa bila aku ada bersamanya, bersama istriku.)

Mayang.

Mayang adalah sebuah teka-teki. Dia, seekor singa yang buas berkuku runcing yang selalu siap untuk mencabik-cabik penghalang segala inginnya, serta merta akan berubah menjadi kucing yang jinak bila berada dalam dekapanku. Sebuah teka-teki, sebagai singakah atau sebagai kucingkah seorang Mayang, jawabannya adalah dekapanku.

Menurutnya ada yang istimewa dalam dekapanku. Yang tidak bisa ditemukannya dalam dekapan belasan laki-laki lain, yang pernah sedang maupun akan ditidurinya. Dia seperti merasakan air yang bergemericik, mengalir pelahan, dengan lembut menyentuh batu, kerikil, pasir, terserap tanah. Tapi sebagian masih tetap saja mengalir, tetap pelahan dan pasti, berirama. Rasa hangat lalu muncul, rasa yang mampu membuat dirinya kembali menjadi utuh. Rasa hangat yang melapangkan tidur-tidurnya. Menjauhkan mimpi-mimpi buruknya. Menurutnya rasa hangat itu tidak sekedar hangat. Rasa hangat yang aneh. Rasa hangat yang akrab dengannya. Ada-ada saja.

Dan rasa yang dirasakan oleh Mayang sejak kali pertama dia ada dalam dekapanku itu, ternyata memiliki sifat adiktif. Sejak dia akan berangkat pindah bersama dengan ibunya ke Jakarta, sampai kami sepakat untuk berpacaran jarak jauh, sampai aku juga pindah ke Jakarta, sampai aku menikah, sampai aku habis menikah, sampai sekarang, dia selalu menginginkan dekapanku. Dekapanku yang membawanya pada rasa hangatnya yang tidak sekedar hangat. Rasa hangatnya yang aneh. Rasa hangatnya yang akrab itu. Dia sudah sangat tergantung pada dekapanku.

Tapi Mayang tetaplah akan selalu menjadi Mayang yang adalah sebuah teka-teki. Sejak kali pertama aku mengajak berbicara mengenai pernikahan, dulu, dia selalu bilang bila dia hanya butuh dekapanku saja, tidak akan pernah sebuah rumah tangga.

(Selama aku masih bisa mendapatkan ejakulasiku, orgasmeku bersamanya, mengapa aku harus merasa keberatan?)

Apa rupanya yang membuat Mayang menjadi begitu istimewanya… Mungkin bahwa dia adalah sebuah teka-teki, yang belum terpecahkan.

Mayang.

Aku tahu, istriku akhirnya tahu tentang Mayang, setelah sekian lama kusembunyikan rapat-rapat. Ternyata, seperti biasa, dia tidak berkomentar. Apa lagi sakit hati.

Lalu untuk apa selama ini aku mati-matian menyembunyikannya dari istriku, kenapa aku harus begitu peduli mengenai kerahasiaan hubunganku dengan Mayang, tidak seperti hubunganku dengan pacar-pacarku yang lain.

Kalau toh, pada kenyataannya, istriku ternyata juga tidak peduli. Sama saja, sama sekali tidak mempedulikannya.

Seharusnya aku tahu kalau dia memang tidak akan pernah peduli. Tidak akan mungkin mau peduli.

Ya aku tahu, istriku tidak mencintaiku. Hanya akan ada ayahnya dan perusahaan di hatinya …. Selamanya.

Lalu untuk apa sebenarnya semua kebohongan ini?

◊◊◊◊◊

Senja Terbaik Miranti

20 Agustus 2003

Bukannya aku sudah putus asa. Bukan. Ini hanya masalah waktu, toh aku akan segera mati juga. Sakit di tubuhku ini sebenarnya tidaknlah seberapa dibanding dengan sakit yang kurasakan saat aku melihat kalian begitu mencemaskan aku. Saat kamu menghabiskan semua waktumu hanya untuk menungguiku terbaring di ranjang, terkantuk-kantuk, lalu tiba-tiba terbangun karena derit ranjangku. Juga saat aku melihat kepedihan di mata anak-anak yang merindukan kehadiranku untuk mendongeng bagi mereka. Aku hanya tidak ingin melihat kalian ikut menanggung sakitku, hanya karena kalian mengasihiku. Kamu tahu kan, kalau aku tidak akan pernah rela orang-orang yang kucintai terluka, apa lagi kalau aku yang menjadi penyebab sakit mereka. Semoga kali ini kamu bisa mengerti, tidak akan pernah lagi menganggapku sebagai seorang pengecut yang selalu lari dari kenyataan.

Aku minta tolong, larungkan abuku dipantai saat senja, beserta dengan wadahnya, cincinku juga. Kamu saja ya, jangan ajak siapapun. Saat itulah akan menjadi senja terbaik yang akan aku nikmati. Saat aku menyatu dengan alamku untuk menikmati senja selama-lamanya.

Rumah Baca beserta tanahnya buat kamu. Tolong dikelola, kalau bisa jangan sampai ditutup. Dilaci bawah lemariku ada surat-surat penting dan juga sedikit uang, pakai saja.

Aku ingin mati dalam kesendirianku, kesepianku. Kamu tentu juga masih ingat kalau aku tidak menyukai upacara kematian, cukup kamu saja yang berdoa buatku ya.

Terima kasih telah menemaniku.



10.05, menjelang kematianku,

Miranti



Miranti, Miranti. Silet di dompetmu itu akhirnya kamu pakai juga untuk mengiris nadimu. Bodoh. Perbuatan bodohmu selalu saja dengan alasan yang tidak bisa kupahami.

# # #

"Abu Miranti..."

"Sakit apa?"

"Dia kena hepatitis."

Diam.

"Miranti berpesan agar abunya..."

"Dilarung di pantai beserta dengan wadahnya..."

"Miranti juga meninggalkan Rumah Baca untuk anaknya."

"Rumah Baca?"

"Di Malang Miranti membangun perpustakaan untuk anak-anak."

"Oh..."

Diam.

"Ranti... Kesakitankah dia?"

"Tidak."

Diam.

"Sudahkah dia mendapatkan segala inginnya?"

"Untuk itulah kubawa abunya kemari."

Diam.

"Ya, kita tentu menginginkan Ranti berbahagia."

# # #



Saat laki-laki itu muncul didepan pintuku, aku sudah tau bahwa yang dibawanya adalah abu Ranti. Rantiku, Ranti yang kucintai. Ranti yang tiga tahun lalu meninggalkan kami. Untuk mendapati kebahagiaannya, katanya. Waktu itu aku memang tidak bertanya mengapa, tapi aku tahu Ranti pergi karena laki-laki itu, sahabatnya yang mencintainya. Aku memaksakan diriku untuk ikhlas, apapun kulakukan untuk kebahagiaan Rantiku.

Saat melihat laki-laki itu sebenarnya terbersit dalam pikiranku untuk marah. Aku berhak membenci laki-laki yang telah membawa Rantiku pergi. Untu menampar, mencaci laki-laki itu. Aku juga berhak membenci Ranti yang telah meninggalkan kami dan kembali menjadi abu. Untuk menumpahkan abu Rantai ke lantai, agar keinginannya untuk dilarung dipantai tidak tercapai.

Tapi tidak, aku segera teringat betapa aku selalu merindukan Rantiku pulang. Bagaimana aku terus saja berharap setiap ketukan pintu, dering telepon, surat yang datang, adalah Ranti. Bagaimana sekian perempuan yang telah kupeluk tetap saja tidak bisa menggantikan kehangatan Rantiku. Lalu bagaimana mungkin aku tidak menginginkan kebahagiaannya?

Ya, setidaknya Ranti pulang. Kami masihlah rumah baginya, suatu hal yang berarti dalam hidupnya, dan matinya. Kami adalah tempat dimana Ranti merasa harus kembali, pada akhirnya.

Ya, apapun kuberikan untuk kebahagiaan Rantiku.

# # #



"Kenapa ibu tidak dikubur ditanah saja seperti Kakek dan Nenek, Yah?"

"Ibumu pernah berpesan, setelah meninggal dia ingin dikremasi, dibakar, lalu abunya dilarung, dihanyutkan di pantai."

"Kenapa, Yah?"

"Ibumu sangat menyukai pantai. Dia sering sekali mengajak ayah pergi ke pantai hanya untuk menunggu matahari tenggelam. Ibumu akan duduk menghadap ke barat dan tersenyum pada langit senja, sampai hari gelap. Pada saat seperti itulah ibumu sering bilang pada ayah agar kalau dia mati kelak, dia ingin abunya dilarung di pantai. Agar dia selalu bisa menikmati senja sampai selama-lamanya."

"Kenapa, Yah? Kenapa ibu sangat menyukai senja?"

"Karena menurut ibumu senja di pantai itu sangat indah. Hal terindah yang pernah dijumpainya.Senja menjadi sesuatu yang bisa menentramkan hati ibumu terutama saat ibumu bersedih."

"Yah, kita tidak usah lagi makan ikan laut, ya?"

"Lho, kenapa?"

"kan bisa-bisa abu ibu dimakan ikan, terus ikannya kita makan. Masa kita mau makan ibu, Yah?"

Sang ayah hanya tersenyum.

"Yah, Oom itu teman ibu ya? Kok tidak ikut kita ke ombak sini? Takut tenggelam ya?"

Lagi-lagi sang ayah tersenyum. "Lihat, sebentar lagi ada ombak besar datang. Ucapkan doa untuk ibumu ya."

"Bu, ibu tidak usah sedih lagi. Aku sudah tidak marah lagi pada ibu. Ibu baik-baik ya di laut."

"Berbahagialah dalam senjamu, Ranti. Selamat jalan."

Pada senja yang sempurna itu, sebuah guci terapung, lalu dibawa ombak ke tengah laut.

# # #



Disinilah aku, duduk sendirian dipantai, disenja hari. Senja terbaik Miranti. Memandangi punggung ayah anak yang sedang melarung abu Miranti. Anak yang pintar, Miranti pasti bangga padanya.

Selesai sudah. Tidak ada satupun amanat Miranti yang kulakukan. Aku sengaja mengadakan upacara kematian agar Miranti sama sekali tidak sendiri dan kesepian. Banyaknya anak yang menagis bersamaan menjadi sebuah pemandangan yang menggelikan sekaligus mengharukan waktu itu. Lalu sehari setelah kremasi, kudatangi laki-laki itu. Sebenarnya kubayangkan, dan kuharapkan, dia akan menghempaskan guci yang kubawa sehingga abu Miranti tercampak di lantai. Sayangnya cinta laki-laki itu pada Miranti terlalu besar, dia malah mau-maunya melarung abu Miranti. Tapi setidaknya bukan aku yang melakukannya. Rumah Baca aku serahkan pada anaknya, lagipula kurasa dia yang lebih berhak mewarisinya. Toh aku juga akan segera meninggalkan Malang. Dan terakhir, cincin Miranti tetap kusimpan disakuku. Cincin yang selalu terpasang dijari manisnya bahkan sampai saat kematiannya. Cincin yang sama kulihat melingkar di jari laki-laki itu.

Aku hanya ingin agar Miranti tidak mendapatkan satupun keinginan terakhirnya, sedangkan hal-hal yang lain biarlah tetap menjdi rahasiaku saja. Seperti halnya HIV yang diidapnya karena pemakaian jarum suntik yang ceroboh, yang kemudian membuatnya merasa harus meninggalkan suami dan anaknya. Menurutnya, dia tidak ingin mereka, orang-orang yang dicintainya, terluka karena sakitnya. Sedangkan menurutku, tindakan itu adalah tindakan pengecut yang bodoh. Akhir-akhir ini stigma masyarakat pada ODHA sudah mulai luntur, lagipula sudah ada ARV yang terbukti mampu menurunkan tingkat kematian ODHA. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutinya, tapi bukan Miranti namanya kalau tidak mengikuti keinginannya sendiri.

Setelah pindak ke MAlang, Mirantimenjual sebagian tanah warisannya. Bukan untuk berobat, malah dipakainya untuk mendirikan Rumah BAca. Sebagai penebus dosa karena telah meninggalkan anaknya, katanya. Satu lagi pilihan hidupnya yang tidak bisa aku pahami. Walaupun begitu dedikasinya terhadap Rumah Baca telah mementahkan tudingan bahwa Miranti adalah perempuan yang tidak memiliki cinta seorang ibu karena apa tang telah diperbuatnya tiga tahun lalu. Semua anak yang datang ke Rumah Baca mencintainya, lalu bagaimana mungkin Miranti tidak memiliki cinta sebagai seorang ibu?

Lalu harapan-harapannya, impian-impiannya, ketakutan dan kegelisahannya. Juga ketulusannya pada laki-laki itu yang membuat Miranti tidak membiarkan aku menyentuh tubuhnya barang sejengkalpun. Ya, hingga saat Miranti matipun aku hanya seorang sahabat baginya.

Pada akhirnyapun bukan virus itu yang mematikan Mirantiku, tetapi keputusasaannya, kecengengannya. Lagi-lagi tindakan pengecut yang tidak masuk akal.

Ya, semua itu biarlah menjadi rahasiaku saja.

Ah, aku hanya seorang sahabat yang sedikit kesal pada Miranti. Dia yang dengan caranya yang bodoh telah meninggalkan aku. Dia yang tidak memberiku kesempatan untuk menjadi orang yang menggenggam tangannya saat maut menjemputnya. Untuk menutup matanya, menyilangkan tangannya didepan daanya, mengecup keningnya, dan membisikkan doa ditelinganya, sekedar mengantarkan nyawanya pergi dari tubuhnya. Inilah kerinduan terbesarku, Miranti tahu dan tidak membiarkanku mendapatkannya. Dia terlalu angkuh untuk membuarkanku masuk kebih dalam ke dalam relung hatinya.

Pada dasarnya, aku menyayangi Miranti. Sangat menyayanginya.

Baiklah, selamat menikmati senja terbaikmu, Miranti. Selamat menikmati senja selama-lamanya. Sudah sepantasnya kau berbahagia.

# # #



Di pantai itu senjapun habis digantikan oleh malam.

# # #

Aku Melihat Paus Merah Itu

Sungguh. Aku tidak bohong.

Kala itu, belum terlalu lama dari sekarang, aku berada di atas sebuah kapal sedang berangkat dari sebuah pelabuhan. Aku memandangi langit malam yang sedang memayungi lautan yang gelap. Aku seperti melihat ratusan bintang yang sedang berenang-renang di lautan. Bermain-main dengan ombak.

Tiba-tiba saja aku terkejutkan oleh ikan paus merah itu. Wajahku tersentak oleh percikan air yang tersembur dari punggungnya. Bagaimana mungkin ikan paus itu bisa begitu dekat denganku, terlihat dengan begitu jelasnya.

Aku melihat seekor ikan paus berwarna merah.

Di bawah langit malam itu, aku tidak ragu-ragu melihat paus itu berwarna merah karena begitu dekat dan begitu jelasnya olehku. Bahkan aku bisa menemukan manik matanya. Sepersekian detik bahkan matanya menatap lekat ke dalam mataku. Begitu teduh, menyimpan kasih. Mengesimakanku. Sesaat setelah menyemburkan air dari punggungnya diapun menghilang ke dalam lautan.

Saat itu juga aku teringat sebuah cerita yang pernah kubaca. Cerita mengenai seekor paus merah yang diceritakan oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai seorang musafir yang tidak memiliki tujuannya. Hanya berpindah dari satu kapal ke kapal yang lain, menuju satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Dalam ceritanya itu dia menceritakan cerita-cerita orang mengenai paus merah itu, karena dia sendiri belum pernah sekalipun melihat si paus merah yang diceritakannya tersebut. Betapapun inginnya dia untuk melihat paus merah itu dengan mata kepalanya.

Seekor ikan paus yang berwarna merah.

Katanya, menurut cerita orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan pengembaraannya, ikan paus merah itu memang terkadang muncul di senja hari, menampakkan keberadaannya pada seseorang di atas kapal, di saat laut sedang memantulkan cahaya senja yang keemasan. Mendadak dia akan muncul dari dalam lautan, meloncat di kejauhan, dan menghilang setelah menyemprotkan air dari punggungnya. Air yang terkadang berwarna merah oleh darah yang masih saja mengalir dari panah yang tertancap tegak lurus di punggungnya. Konon seorang pemburu yang telah memanahnya. Ikan paus merah itu telah terluka beratus-ratus tahun lamanya. Amboi, betapa tidak masuk akalnya!

Betapapun tidak masuk akalnya itu, ikan paus merah itu adalah kenyataan. Buktinya mataku telah melihatnya sendiri, dengan begitu dekat dan jelasnya.

Sekali lagi, dalam keterkejutanku aku telah melihatnya. Seekor ikan paus berwarna merah. Seakan aku tidak percaya. Tapi memang sungguh seekor ikan paus merah!

Tapi mengapa aku melihatnya dimalam hari, di bawah bintang yang bergermelapan bukan senja yang kemerahan. Bahkan dia terlihat dekat dan jelas, menatapku sejenak memancarkan keteduhannya. Dalam cerita musafir itu tidak ada bagian yang mengatakan bahwa ikan paus merah itu menatap mata orang yang melihatnya.

Mungkin saja bagian itu terlupakan olehnya, atau diedit oleh si empunya koran.
Ikan paus merah itu juga tidak berdarah. Memang dia berwarna merah, memang kulitnya yang berwarna merah. Merah yang bukan darah, merah yang bukan seperti warna darah. Merah yang bersinar keemasan. Merah yang indah.

Akupun tidak melihat panah itu. Tidak ada panah dipunggungnya. Tidak ada apa-apa dipunggungnya, mulus. Tanpa ada sebuah bendapun yang tertancap di punggungnya.
Apa lagi darah yang mengucur. Sama sekali tidak terlihat.
Air yang keluar dari punggungnyapun bukan darah. Tidak berwarna merah dan tidak amis amis, tapi harum. Aku tidak bisa mencari padanan bau harumnya. Harum yang…. Aku tidak mampu membuat definisinya.

Dalam ceritanya, musafir itu juga mengatakan bahwa paus merah itu menjerit pada setiap kemunculannya. Menjerit dalam kengiluan yang kemudian akan membawa kesedihan bagi pendengarnya disepanjang hidup pendengarnya itu. Tapi tidak. Bukan jeritan kepiluan yang kudengar. Bukan. Sama sekali bukan. Tapi sebuah senandung yang maha lembut. Bukan kesedihan yang kurasakan. Sama sekali bukan. Tapi sebuah kedamaian yang menyejukkan. Menyejukkan hatiku dari setelah aku mendengar senandungnya itu sampai saat ini.
Mungkin lukanya sudah sembuh. Mungkin seseorang telah menangkapnya lalu menolongnya, mencabut panah yang menancap di punggungnya, lalu membalut lukanya hingga mengering. Luka yang mengucur selama berabad-abad itu tetap membekas di kulitnya, sudah terlanjur menyatu dengan dirinya. Membuat warna merah itu menetap, menutupi warna kulitnya yang sebenarnya.

Setelah sembuh ikan paus merah itupun kembali berkelana ke segala samudra. Mempertontonkan keberadaannya yang baru pada orang-orang yang sedang berada di atas kapal, salah satunya adalah aku. Dia bersenandung bukan menjerit, karena sudah tidak lagi dirasakannya kesakitannya. Lukanya sudah sembuh. Air yang keluar dari tubuhnya harum, sebagai pertanda bahwa seseorang telah berbuat kebaikan padanya. Bukankah kebaikan itu adalah hal yang positif, dan bukankah keharuman itu juga adalah hal yang positif? Dia menatapku untuk menyalurkan energi positifnya, membalaskan kebaikan orang yang telah menolongnya itu kepadaku. Bahkan hingga hari ini kelembutan di matanya itu masih terbayang lekat di mataku.

Menjelaskan mengapa tidak ada lagi panah, tidak ada lagi darah, hanya warna merah keemasannya. Bagaimana jeritan ngilu berubah menjadi nyanyian merdu, tatapannya, dan keharuman yang keluar dari tubuhnya.

(Mengapa malam hari bukan saat senja seperti dalam cerita, satu hal ini belum mampu terjawab olehku.)

Masuk akalkah? Berbagai cerita orang dari tujuh lautan dari masa ke masa menyuarakan hal yang sama. Mungkinkah sebuah legenda berubah? Mungkinkah sebuah legenda mengkhianati sejarah?

Lalu mengapa bisa menjadi sangat berbeda. Apakah musafir itu berbohong, ataukah aku yang hanya bermimpi bertemu dengan ikan paus merah itu. Tidak, aku tidak sedang bermimpi kala itu. Aku sepenuhnya sadar. Tetapi, apakah juga mungkin seorang musafir telah menuliskan sebuah kebohongan di surat kabar, sebuah cerita rekaannya mengenai seekor ikan paus merah. Apakah itu artinya buatnya.

Dia hanya menuliskan cerita-cerita orang yang mengaku telah bertemu dengan paus merah itu. Mungkin orang-orang itu yang salah, atau mungkin orang-orang itu hanya mengaku-aku sudah pernah bertemu dengan ikan paus merah itu, padahal sebenarnya belum. Mungkin, mereka hanya sekedar membual untuk mendapatkan sedikit ketenaran. Mungkin ikan paus merah itu sama sekali tidak ada. Tapi banyak orang yang telah bercerita demikian sebelumnya, banyak orang dari segala jaman di seluruh penjuru dunia. Mungkinkah sedemikian banyak orang telah membuat bualan-bualan yang serupa?

Atau mungkin yang kulihat bukanlah ikan paus merah yang dilihat orang-orang itu yang kemudian diceritakan oleh musafir itu. Yang kulihat adalah ikan paus merah yang lain, yang tentu saja membuat mereka terlihat berbeda satu sama lain, karena memang tidak sama.
Semua kemungkinan yang terlintas di kepalaku sama tidak masuk akalnya dengan cerita mengenai ikan paus merah itu sendiri.

Entahlah. Setidaknya dalam hati kecilku aku merasa sepenuhnya pasti dan yakin bahwa aku telah benar-benar melihat ikan paus merah itu. Kenyataanku mengenai ikan paus merah itulah kebenaranku.

Itulah. Aku ingin sekali menceritakan pengalamanku bertemu dengan paus merah ini kepada musafir itu, yang pernah menuliskan cerita tentang paus merah itu. Aku ingin dia tahu, bukan seperti itu kenyataan yang sebenarnya. Untuk menyadarkan musafir itu bahwa mungkin dia telah berbuat salah dengan menuliskan sebuah kebohongan di koran, atau bahwa dia mungkin telah termakan oleh bualan orang-orang yang mengaku telah melihat ikan paus merah itu. Aku ingin mengatakan sebuah kebenaranku ini. Mengenai seekor ikan paus merah yang telah pernah kulihat.

Untuk itulah aku saat ini aku seperti dipaku di mejaku, mengetikkan judul ceritaku tentang paus merah itu, yang akan segera kukirimkan ke sebuah koran lokal; bahwa “Aku Melihat Ikan Paus Merah Itu”. Sejak kala itu, sepulangku dari sebuah perjalanan dengan kapal, belum terlalu lama dari sekarang.

“Aku Melihat Paus Merah Itu”…. Ikan paus merah yang benar-benar berbeda dengan ikan paus merah dalam cerita musafir itu.

Mungkin dia yang akan menuduhku berbohong, sekedar mencari sebuah ketenaran. Tapi mungkin juga dia akan sangat berterima kasih padaku yang telah menuliskan pengalamanku melihat paus merah itu untuk dia. Bukankah di akhir ceritanya dia sangat berharap untuk mendapatkan cerita mengenai paus merah itu dari orang yang telah pernah melihatnya? Agar orang yang melihat paus merah tersebut menuliskan di koran, siapa tahu dia membacanya dalam perjalanannya.

Sungguhkah dia ingin mendengar ceritaku? Bagaimana bila tidak? Bagaimana bila ternyata permintaannya untuk menuliskan cerita tentang paus merah itu hanya basa-basi belaka? Bagaimana bila dia malah kecewa, ketika aku menuliskan hal yang berbeda mengenai paus merah itu. Bukankah yang diharapkannya adalah sebuah kenyataan mengenai ikan paus merah seperti halnya yang dia tuliskan berdasarkan cerita-cerita orang mengenai ikan paus merah itu? Kenyataanku mengenai paus merahku adalah hal yang sangat jauh berbeda. Hanya ada satu persamaan bahwa ikan paus merah itu berwarna merah.

Betapa akan sangat menyakitkan sebuah kekecewaan.

Bagaimana jika dalam perjalanannya yang terakhir dia telah bertemu paus merah itu dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata ikan paus merah yang seperti cerita banyak oranglah yang dilihatnya. Bukan seperti ikan paus merahku.

Mungkin benar dugaanku bahwa ikan paus merah yang kulihat adalah ikan paus merah yang lain, bukan ikan paus merah yang ada dalam cerita musafir itu.

Mungkin hanya sebuah halusinasi hasil dari imajinasi yang kebablasan.

Bagaimana jika dalam perjalanannya yang terakhir musafir itu telah bertemu paus merah itu dengan mata kepalanya sendiri dan ternyata ikan paus merah seperti ceritakulah yang dilihatnya. Bukan seperti ikan paus merah orang banyak.

Aku masih saja duduk seperti di paku di depan mejaku menuliskan judul ceritaku yang akan kukirim ke sebuah koran lokal, “Aku Melihat Ikan Paus Merah Itu”. Sejak kala itu, sepulangku dari sebuah pelabuhan, belum terlalu lama dari sekarang.

Masih terngiang suka cita yang disenandungkan ikan paus merah itu, masih terbayang tatapan keteduhannya. Membawa kedamaian yang menyejukkan yang menetap hingga sekarang.


* Cerita ini sepenuhnya terinspirasi pada cerita pendek berjudul “ Ikan Paus Merah” dalam buku kumpulan cerita pendek “Sepotong Senja Untuk Pacarku” oleh Seno Gumira Ajidarma. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2002.

Perempuan dan Laki-laki yang Menangisi Maaf

Baru saja laki-laki itu mengaku bahwa dia pernah, sekali dalam hidupnya, tidur dengan perempuan lain selain perempuan itu.

"Betapa perihnya...," ratap perempuan itu lirih. Sudah sedari tadi wajahnya basah, oleh keringat dan air mata. Tepat pada saat laki-laki itu memulai pernyataannya, perempuan itu menagis tanpa suara.

Juga laki-laki itu. Tepat saat melihat sosok perempuan itu, batinnya menagis. Rasa bersalah yang tergetar dalam kata-katanya membuat tangis tanpa suaranyapun jauh semakin keras.

Ya, keduanya sedang menagis tanpa suara.

"Aku mohon maafmu...," kata laki-laki itu di akhir pengakuannya, "aku mohon maafmu...," ulangnya. Sebenarnya laki-laki itupun ragu, akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit. Lalu dia terus-terusan meyakinkan diri, apa salahnya mencoba dan berharap pada sepotong maaf itu.

"Maaf..." Perempuan itu menatap lekat ke dalam manik mata laki-laki itu. Sambil berharap akan adanya ketidaktulusan di manik mata itu. Setitik saja kebohongan di mata laki-laki itu akan menjawab dan memudahkan keragu-raguannya. Akhirnya dia kecewa karena dia tidak menemukan ketidaktulusan dalam kebeningan mata laki-laki itu.
"Maaf...?" Ada perih yang semakin dalam di lirih suaranya. Sebenarnya perempuan itupun ragu, apalah kekuatan sepotong maaf terhadap luka yang sedah terlanjur sakitnya.

Lalu hening yang menyimpan luka, ataukah keheningan adalah luka itu sendiri bagi keduanya).

Laki-laki itu lalu melanjutkan tangisnya dalam hening. Dia menagisi penyesalannya. Penyesalan terhadap kecerobohan yang telah pernah dilakukannya dengan sadar. Terlebih pada penyesalan terhadap kejujuran yang ternyata begitu menyakitkan bagi keduanya. Mungkin, lebih pada penyesalan terhadap kejujuran itu sendiri. Kejujuran yang telah diperjuangkan dalam pernyataan-pernyataannya.

Laki-laki itu dapat mengerti sepenuhnya bahwa tidur dengan perempuan lain selain perempuan itu merupakan sebuah dosa, yang mungkin saja tidak termaafkan. Dia telah mengerti tepat pada saat dia membuka mata di keesokan harinya, dan menemukan ada tubuh perempuan lain selain perempuan itu yang telah pernah terbaring mendekapnya. Sesaat kemudian, ketika peristiwa itu terjadi, dia larut dalam penyesalan ini, dan segera diperolehnya keyakinan diri bahwa ternyata perempuan itu adalah satu-satunya cinta, kepada siapa dia tidak sanggup untuk berpaling. Ketika peristiwa itu terjadi, bahkan sampai pada saat ini.

Ah, hanya sekali khilaf ini sepanjang kehidupanku. Laki-laki itupun mencari pembenaran diri. Setidaknya dengan menyetubuhi perempuan lain selain dia akupun memperoleh keyakinan diriku.

Sungguh, laki-laki itu membutuhkan kebersamaannya dengan perempuan itu. Utuk itulah diam-diam hati kecilnya berharap bahwa maaf adalah sebagaimana urusan hutang piutang. (Walaupun dia tidak sepenuhnya yakin akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit). Dengan demikian diapun masih memiliki satu piutang yang belum lunas. Demi mengingatnya, sakit yang terdahulupun (yang berbeda rasa dari sakit yang sekarang, tapi berbobot sakit yang sama) terkuak kembali.

Lalu segala sesuatunyapun mungkin akan menjadi lebih mudah.

Ternyata laki-laki itu menangisi maaf ini.

Perempuan itu lalu juga melanjutkan tangisnya dalam hening. Dia juga menangis untuk penyesalannya. Penyesalan terhadap pengkhianatan yang ditimpakan kepadanya. Sama halnya laki-laki itu, perempuan itu juga diam-diam mengutuki kejujuran yang menyakiti keduanya ini. Terlebih pada saat tiba-tiba muncul kesadaran bahwa perih seperti inilah yang dulu pernah ditorehkannya kedada laki-laki itu. Ya, luka yang sama persisnya dipercayanya akan menghasilkan perih yang sama juga.

Perempuan itu dapat mengerti sepenuhnya bahwa menyetubuhi perempuan lain, ataupun laki-laki lain, adalah satu dosa. Dosa yang boleh saja tidak dimaafkan. (Tidak mau memaafkan satu dosa adalah dosa yang lain lagi). Perempuan itu juga bisa memastikan bahwa laki-laki itu telah mengalami perasaan-perasaan sama halnya yang dulu pernah dimilikinya: penyesalan yang muncul tepat pada saat dia membuka mata dikeesokan harinya dan menemukan ada tubuh laki-laki lain selain laki-laki itu yang pernah terbaring mendekapnya; yang kemudian menumbuhkan keyakinan bahwa laki-laki itu adalah satu-satunya cinta, tempat di mana dia tidak sanggup untuk berpaling. Ketika peristiwa itu terjadi, bahkan sampai pada saat ini.

Ah, manusia adalah khilaf, daging adalah tempat dosa-dosa berlangsung. Perempuan itu berkilah tepat pada saat rasa malu dengan sedikit rasa bersalah menyergapnya. Setidaknya dengan menyetubuhi laki-laki lain selain dia, aku memperoleh keyakinan diri yang pasti. Pembenaran diri yang sama persisnya.

Sungguh, perempuan itu juga membutuhkan kebersamaan dengan laki-laki itu. Untuk alasan inilah diam-diam hati kecilnya berharap bahwa maaf adalah sekedar urusan hutang piutang. (Walaupun dia juga tidak sepenuhnya yakin akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit). Dia masih mengingat satu hutangnya yang belum terbayar.

Lalu segala sesuatunyapun mungkin akan menjadi lebih mudah.

Perempuan itu ternyata menangisi maaf ini.

Sejenak setelah hening itu. Laki-laki itu mengambil wajah perempuan itu untuk didekapnya dalam dadanya, "aku mencintaimu," bisiknya. Keduanya mengerti sepenuhnya bahwa kata-kata itu mengandung rasa, bukan hanya sekedar kata. Sebentar kemudian air mata perempuan itu menyatu dalam detakan jantung laki-laki itu.

Mereka masih menagis tanpa suara. Air mata perempuan dan laki-laki itu sama beningnya. Detakan jantung perempuan dan laki-laki itu sama kencangnya. Tangisan merekapun sama, untuk sebuah maaf.

# # #

"Aku masih menginginkan kamu..." Tawar yang keluar dari mulut perempuan itu ternyata mampu membinarkan kedua mata laki-laki itu. "Bahkan masih sangat menginginkan kamu...," tandas perempuan itu dingin, nyaris beku, yang nyatanya masih mampu menambahkan binar mata laki-laki itu dengan segurat senyum di bibirnya.

"Terima kasih, terima kasih telah memaafkan aku..." Segurat senyum laki-laki itu bergetar dengan terbata-bata. Perasaan lega melingkupi keseluruhan jiwa dan raganya. Saat kesalahan terasa telah tertebus cukup dengan kata maaf. Saat dosa terasa telah terbeli dengan harga yang sangat murah. Setidaknya, sepotong maaf bisa sangat meringankan.

Perempuan itu lalu mendongak, jauh ke dalam binar mata laki-laki itu. Untuk mencoba mengurai binar-binar itu, hingga dia bisa menemukan sebuah titik di pusat mata laki-laki itu. Yang kemudian membantu perempuan itu dengan sadar untuk menggeleng, "Tidak. Tapi aku ternyata tidak sanggup memaafkan kamu." Saat ini, semakin dirasakannya memang, pengkhianatan adalah perih yang terlalu menyakitkan.

Sekejap binar laki-laki itupun mengelam dan mulai berkabut. Tertegun sejenak dalam diamnya. Bahkan sampai disaat pipinya sudah mulai basahpun, dia belum juga bisa mengerti. Dalam ketidakmengertiannya ini, dia merasa harus berbalik, dan pergi.

Bersamaan dengan itu, air mata perempuan itu juga mulai mengalir dalam dongak keakuannya.
Mereka berdua menangis tanpa suara.

# # #


Dia menatap tenggelamnya matahari senja ini dalam kesendiriannya yang penuh. Sangat terasa baginya ngilu ini. Dihelanya nafasnya dalam-dalam. Toh matahari esok masih akan terbit lagi.

Pasti.

Dan diapun beranjak dari duduknya. Dikibaskannya pasir pantai yang menempel dipantatnta. Seperti halnya pasir-pasir yang terkibas berjatuhan, dalam keringya, tak tertepiskan lagi dia sedang merasa kalah.

# # #

Lalu diapun menangis dengan bersuara.

Selamat Datang & Nikmati Secangkir Kopi

Sebelum ini, saya pernah menerbitkan sendiri cerita-cerita saya dalam buku Kumpulam Cerita Pendek. Dan sekarang, halaman ini saya hadirkan hanya sebagai langkah lanjutan dari apa yang pernah saya lakukan agar tulisan-tulisan saya dibaca oleh orang lain.

Saya percaya bahwa bagus tidak bagusnya sesuatu itu hanyalah masalah selera. Dan saya juga percaya bahwa selera adalah hak asasi manusia manusia, yang dilindungi oleh UUD 45 juga Piagam PBB, terlebih lagi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada yang berhak untuk menghakimi sebuah selera. Ups, dengan demikian ego saya akan selalu aman dan nyaman.

OK, demikian saja. Terima kasih anda telah sudi singgah dihalaman ini. Dan saya akan lebih berterima kasih lagi bila anda membaca setiap cerita yang saya hadirkan disini, kemudian meninggalkan komentar maupun saran untuk kemajuan tulisan saya. Jangan khawatir, bagus tidak bagus itu hanya masalah selera saja. Selamat membaca!

Salah hangat secangkir kopi.