Thursday, December 30, 2010

Kembali Pada Jogja

Ini seperti mimpi. Bagai anak panah lepas dari busurnya, karirku melesat. Dalam waktu tujuh tahun aku sudah dipromosikan menjadi regional manager untuk wilayah Jateng dan DIY. Namun bukan itu yang terpenting, karena setelah sekian lama akhirnya aku punya sebuah alasan. Alasan untuk mengingatnya hanya setelah gagal melupakannya.

Kenangan itu. Kamu, Sam.
**

Ada yang ganjil malam ini.

Langit terlihat sedang memamerkan keindahannya. Angkasa bagaikan selembar selimut hitam terbentang yang berhiaskan milyaran bintang. Mereka berkerlap-kerlip genit menggoda bulan sabit yang tersipu malu. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Yang pasti, dengan bahasanya sendiri penghuni langit sedang merangkai sebuah romansa.

Berkebalikan dengan yang sedang terjadi di sini. Suasana hati kami tak semeriah langit di atas sana. Tidak ada kerling genit, sipu malu, apalagi perbincangan di antara kami. Jalanan pun sedari tadi kosong. Pedagang mi tok-tok yang biasanya mangkal di tikungan jalan depan rental komputer tak nampak. Juga tak satu pun orang, motor, ataupun mobil yang lewat. Hanya bangku kayu yang terasa keras di pantatku ini, ditambah suara jangkrik dan sesekali binatang malam, juga dinginnya angin menjelang dini hari saja yang menemani kebisuan kami.

Kebisuan kami yang beku dan dingin yang membuat malam ini begitu ganjil.

Biasanya rental komputer masih ramai sampai menjelang tengah malam. Bahkan ada saja satu dua mahasiswa yang lembur mengetik skripsi sampai pagi. Namun malam ini rental sudah sepi pengunjung sedari pukul sepuluh tadi.

Sejak pengunjung terakhir pulang kami hanya berpandangan, mendesah, dan menggigit bibir saja. Tidak satu pun kata keluar dari mulut kami yang terkatup. Mengherankan, hampir selama dua jam kami sanggup berdiam diri seperti ini. Larut dengan pikiran yang berkecamuk dalam benak kami masing-masing.

Sorot matanya menyayatku setiap kali kami bersitatap. Tarikan nafasnya menimpaku dengan bebannya yang berat. Aku tahu, aku pun sudah melakukan hal yang sama padanya pada saat yang sama. Demikianlah kami berkomunikasi selama hampir dua jam ini. Sembari menggigit bibir menahan sakit.

“Pulanglah kau, malam sudah begini larut …” Sam mengusirku.

Segera beranjak dari bangku kayu yang kududuki, aku menyeberang, pulang ke kos-kosan.

Pertanyaanku itu pun kembali tertelan.
**

Malam yang ganjil itu adalah malam terakhirku bersama Sam. Keesokan harinya aku sudah harus pulang. Aku hanya punya waktu kurang dari satu minggu bersama keluargaku sebelum berangkat ke Jakarta. Melalui rekruitmen kampus, aku mendapat pekerjaan pada sebuah perusahaan pembiayaan di sana. Hari itu semua urusan sudah selesai, tidak ada lagi yang menahanku di Jogja.

Tidak juga Sam.

Pintu rental komputernya yang biasanya pagi-pagi sudah terbuka itu masih tertutup rapat sampai aku berangkat meninggalkan Jogja. Entah kemana Mas Wid yang seharusnya jaga rental pagi itu. Kutinggalkan Jogja tanpa ucapan selamat tinggal pada Sam: lelaki Batak, anak Teknik Elektro semester enam, pemilik rental komputer langgananku.

Aku mengenal Sam sejak pindah kos di depan rental komputernya. Sebuah rumah kontrakan dengan dua kamar yang ruang tamunya disulap menjadi rental komputer. Sam tinggal di rumah itu dengan tiga orang teman seperantauannya. Mereka berempat juga yang patungan membeli delapan unit komputer untuk rental itu. Dibantu oleh Mas Wid, pegawai mereka, mereka bergantian jaga rental saat yang lain ada kuliah atau berkegiatan lain.

Pertama kali bertemu Sam, dia tersenyum begitu manis menyapaku sepulangku kuliah. Lesung pipit yang muncul saat dia tersenyum membuatku tak tahan membalas senyumannya. Seiring perjalanan waktu, aksi lempar-melempar senyum itu berlanjut dengan obrolan sore hari sembari rujakan di bawah pohon mangga di depan kosku. Kalau tidak, di malam hari di teras rental komputernya sembari menikmati mi tok-tok yang biasa mangkal di tikungan jalan.

Kami jadi semakin dekat begitu aku mengerjakan skripsi. Pada saat itu masih jarang mahasiswa yang memiliki komputer pribadi. Banyak mahasiswa yang masih mengandalkan rental komputer untuk menyelesaikan tugas kuliah. Kebutuhan akan rental komputer akan semakin tinggi ketika seorang mahasiswa mengambil skripsi. Itulah yang terjadi padaku, seorang mahasiswa melarat yang harus berjibaku agar sesegera mungkin menyelesaikan skripsi. Dua adikku sudah mengantri untuk ganti dibiayai. Sedangkan bapakku hanya seorang pegawai negeri golongan rendah.

Ah, Sam. Lelaki bermata tajam dan bertubuh ceking itu tak sekedar pemilik rental komputer langgananku, karena terlalu banyak yang telah dilakukannya untukku.

Di semester terakhirku itu, aku menjadi pelanggan setia rental komputer Sam. Bisa setiap hari aku bertandang ke sana dan seharian mojok di komputer nomor lima, bahkan bisa dari pagi sampai pagi lagi. Sampai-sampai Sam membuat pengumuman bahwa komputer nomor lima itu adalah komputerku, yang sudah ku-booking sampai selesai skripsiku nanti. Tak segan Sam dengan sewenang-wenang mengusir siapa pun yang sedang memakainya jika aku datang.

Saking baiknya, Sam memang kadang keterlaluan.

Tidak hanya itu. Sam bahkan lebih cerewet dan lebih galak daripada dosen pembimbingku. Setiap kali ketemu, selalu saja dia menanyakan progress skripsiku: sampai dimana, lalu habis ini apa, bagaimana caranya, kapan target penyelesaiannya. Lagaknya seakan dia sudah pernah skripsi saja. Suatu kali dia pernah mendatangi kosku lalu memarahiku seperti aku ini adiknya padahal aku satu tahun diatasnya. Ketika itu aku terjangkit virus malas stadium 4, sampai dua minggu aku tidak juga mengerjakan revisian Bab III.

Sam yang penuh perhatian itu, terkadang juga membuka file-ku diam-diam, lalu mengedit kesalahan ketik yang kubuat.

Itu juga belum semuanya. Sam selalu ada saat aku lembur mengetik di rentalnya. Terkadang dia sampai terkantuk-kantuk di meja kasir, padahal malam itu bukan jatahnya jaga rental. Dia selalu saja setia memberikan jeda iklan saat mataku sudah berat, otot leherku sudah kaku, dan otakku sudah ngadat, dengan banyolan, obrolan, dan secangkir kopi instant seduhannya. Secangkir kopi yang selalu gratis, tidak termasuk dalam biaya rental yang seringkali didiskonnya itu.

Sam,untuk bercangkir-cangkir kopi gratis di malam-malam yang menyebalkan itu.

Demikian tulisku dalam kata pengantar skripsiku. Sam ada di daftar terima kasihku yang cukup panjang, di urutan nomor empat setelah Tuhan, orangtua dan dosen pembimbingku. Sebagai seorang pemilik rental komputer langgananku yang sudah begitu baik padaku tujuh tahun yang lalu.

Sebatas itu …?!!

Ya, karena perbincangan-perbincangan kami di bangku kayu di teras rental komputernya bisa mengenai apa saja, kecuali satu hal itu. Bagaimana perasaannya.

Mungkin karena memang dia tidak menyimpan perasaan apa-apa kepadaku. Dia pemilik rental, aku pelanggannya. Itu saja. Bukankah dunia kami pun hanya sebatas rental komputernya, paling banter teras kos-kosanku? Aku saja yang sudah memaknai perhatiannya secara berlebihan. Mungkin perasaannya kepadaku hanya sekedar kasihan. Seratus persen, dia hanya ingin menolong.

Namun mengapa malam terakhir kami itu begitu ganjil? Mungkinkah karena terlalu banyaknya perbedaan kami sehingga dia memilih menyimpan perasaannya? Dari agama, suku, status ekonomi, sampai status sosial keluarga kami, aku dan Sam sangat berbeda. Aku bisa mengerti, manusia sehat pasti akan berpikir seribu kali untuk menjalin hubungan beresiko seperti ini.

Atau mungkin karena sebenarnya dia sudah memiliki seseorang? Seorang gadis manis yang sudah menunggunya di seberang sana. Mereka akan segera menikah begitu Sam selesai kuliah. Dijodohkan mungkin, atau memang sudah dipacarinya sejak SMA. Yang pasti, mereka berdua pasangan yang setara. Masuk akal jika Sam lebih memilih mempertahankan hubungan mereka yang lebih aman, toh cinta bisa diurus belakangan.

Entahlah. Hanya berbagai kemungkinan yang berseliweran dalam kepalaku, karena pertanyaan tentang itu selalu hanya sampai di ujung lidahku. Untuk kemudian kembali tertelan.

Bahkan sampai dengan malam terakhir kami yang ganjil itu.
**

Besok aku sudah harus masuk kantor, jadi aku turun di Jogja. Mungkin akhir minggu nanti aku baru bisa mengunjungi keluargaku di Kendal, kota kecil di sebelah barat Semarang. Sebenarnya rindu juga aku pada mereka. Selama tujuh tahun di Jakarta, hanya pada saat Lebaran saja aku berkesempatan pulang.

Dari bandara kuputuskan untuk melihat-lihat Jogja terlebih dahulu. Taksiku berjalan santai menyusuri Jalan Solo-Jogja. Sampai di pertigaan Pasar Demangan kami belok kanan ke Jalan Gejayan, kemudian masuk Kampus UGM melalui Selokan Mataram. Sampai di Jalan Kaliurang kami menyeberang, melewati Fakultas Teknik, Sardjito, Fakultas Kedokteran, dan kembali menemui Jalan Kaliurang. Dari Jalan Kaliurang kami menuju Malioboro, melalui Bundaran UGM .

Sepanjang jalan tak berhenti aku melihat kanan dan kiriku sembari membandingkannya dengan ingatanku. Mencoba mengenali kembali kota ini. Mencari apa yang hilang, apa yang baru. Lalu menemukan rasa getir..

Ternyata tujuh tahun membuat aku kembali pada Jogja yang sudah sangat berbeda. Kampus-kampus kini megah dengan gedung-gedung barunya yang menjulang. Jalanan sudah begitu padat dengan kendaraan, berjejalan mobil dan motor, malah sekarang ada bus Trans Jogja juga. Mall, toko 24 jam, warnet, kos-kosan, warung makan, jasa laundry, sampai dengan rental mobil, menyesaki kota ini.

Membuat Jogja sangat riuh.

Masih satu tempat yang belum kukunjungi yang sengaja kusisakan di akhir perjalananku nanti. Jogja yang sebenar-benarnya bagiku. Karang Malang, rental komputer Sam.

“Kemana lagi, Bu?” Sopir taksi menengokku. Kami sampai di Alun-alun Kidul, baru saja terbebas dari kemacetan di Malioboro.

“Muter alun-alun, lalu balik ke Karang Malang aja, ya Pak.”

“Nostalgia ya, Bu?”

Aku hanya tersenyum. Setelah sedemikian jauh mengelilingi Jogja, baru sekarang ditanyakannya hal ini.

“Sudah jauh beda, Bu. Jogja sudah mau seperti Jakarta sekarang.”

Tujuh tahun berselang. Perubahan memang menjadi satu-satunya hal yang masuk akal.
**

Karang Malang semakin crowded. Perkampungan ini dulu saja sudah padat, sekarang semakin padat. Sepertinya sudah tidak ada lagi tanah tersisa. Rumah, kos-kosan, rumah sekaligus kos-kosan, warung makan, warnet, fotokopian berjejal sepanjang jalan. Nyaris tanpa halaman, rata-rata berbatasan langsung dengan jalan. Kendaraan berlalu lalang di jalan kampungnya yang sempit. Beberapa kali taksiku harus berhenti karena berpapasan dengan kendaraan lain.

Aku kehilangan sesuatu. Di sini dulu banyak sekali rental komputer. Kini belum kulihat satu pun.

Rental komputer Sam, masihkah ada? Sam, masihkah tinggal di kamar belakang rentalnya itu? Sam, masihkah akan mengingatku setelah tujuh tahun tanpa komunikasi sejak malam terakhir yang bisu itu? Sam, akankah menjawabku jika kutanyakan persoalan yang dulu selalu kembali tertelan itu? Pertanyaan itu sendiri, masihkah relevan?

“Pelan-pelan ya, Pak. Ini ambil kiri, lalu terus saja.”

Jantungku berdetak lebih kencang. Sudah hampir sampai. Di depan itu tikungan jalan tempat pedagang mi tok-tok langgananku biasa mangkal.

Itu dia, bekas kosku sudah terlihat. Cat kuning terangnya dulu sudah berganti biru. Pohon mangga di depan pagar sudah ditebang. Kami sekosan dulu biasa diam-diam mengunduh buahnya untuk rujakan. Lalu Ibu Kos akan mengomel, karena selalu saja hanya kebagian menyapu daun-daunnya sedangkan buahnya sudah hilang sebelum matang.

Maka berhadapan dengan bekas kosku itu adalah rental komputer milik Sam.

“Pelan-pelan saja ya, Pak …,” bisikku. Aku yakin sopir taksi tak mendengarku, tapi taksi memang sudah sedari tadi melaju sangat pelahan.

Melewati rental komputer Sam, aku tertegun.

Jangankan bangku kayu tempat kami biasa berbincang, rental komputer Sam pun sudah hilang. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Di pagarnya tergantung tulisan. “DIKONTRAKKAN”.

Ah, Sam, Sam. Sudah pulang ke Medankah kau, Sam?

….

Tiba-tiba aku merasa konyol. Disaat aku sudah punya keluarga kecil yang bahagia, aku masih saja merasa kecewa ketika tidak mendapati Sam di Jogja.
**
Majalah Chic Edisi 23/02-09/03/2011