Saturday, November 24, 2007

Senja Terbaik Miranti

20 Agustus 2003

Bukannya aku sudah putus asa. Bukan. Ini hanya masalah waktu, toh aku akan segera mati juga. Sakit di tubuhku ini sebenarnya tidaknlah seberapa dibanding dengan sakit yang kurasakan saat aku melihat kalian begitu mencemaskan aku. Saat kamu menghabiskan semua waktumu hanya untuk menungguiku terbaring di ranjang, terkantuk-kantuk, lalu tiba-tiba terbangun karena derit ranjangku. Juga saat aku melihat kepedihan di mata anak-anak yang merindukan kehadiranku untuk mendongeng bagi mereka. Aku hanya tidak ingin melihat kalian ikut menanggung sakitku, hanya karena kalian mengasihiku. Kamu tahu kan, kalau aku tidak akan pernah rela orang-orang yang kucintai terluka, apa lagi kalau aku yang menjadi penyebab sakit mereka. Semoga kali ini kamu bisa mengerti, tidak akan pernah lagi menganggapku sebagai seorang pengecut yang selalu lari dari kenyataan.

Aku minta tolong, larungkan abuku dipantai saat senja, beserta dengan wadahnya, cincinku juga. Kamu saja ya, jangan ajak siapapun. Saat itulah akan menjadi senja terbaik yang akan aku nikmati. Saat aku menyatu dengan alamku untuk menikmati senja selama-lamanya.

Rumah Baca beserta tanahnya buat kamu. Tolong dikelola, kalau bisa jangan sampai ditutup. Dilaci bawah lemariku ada surat-surat penting dan juga sedikit uang, pakai saja.

Aku ingin mati dalam kesendirianku, kesepianku. Kamu tentu juga masih ingat kalau aku tidak menyukai upacara kematian, cukup kamu saja yang berdoa buatku ya.

Terima kasih telah menemaniku.



10.05, menjelang kematianku,

Miranti



Miranti, Miranti. Silet di dompetmu itu akhirnya kamu pakai juga untuk mengiris nadimu. Bodoh. Perbuatan bodohmu selalu saja dengan alasan yang tidak bisa kupahami.

# # #

"Abu Miranti..."

"Sakit apa?"

"Dia kena hepatitis."

Diam.

"Miranti berpesan agar abunya..."

"Dilarung di pantai beserta dengan wadahnya..."

"Miranti juga meninggalkan Rumah Baca untuk anaknya."

"Rumah Baca?"

"Di Malang Miranti membangun perpustakaan untuk anak-anak."

"Oh..."

Diam.

"Ranti... Kesakitankah dia?"

"Tidak."

Diam.

"Sudahkah dia mendapatkan segala inginnya?"

"Untuk itulah kubawa abunya kemari."

Diam.

"Ya, kita tentu menginginkan Ranti berbahagia."

# # #



Saat laki-laki itu muncul didepan pintuku, aku sudah tau bahwa yang dibawanya adalah abu Ranti. Rantiku, Ranti yang kucintai. Ranti yang tiga tahun lalu meninggalkan kami. Untuk mendapati kebahagiaannya, katanya. Waktu itu aku memang tidak bertanya mengapa, tapi aku tahu Ranti pergi karena laki-laki itu, sahabatnya yang mencintainya. Aku memaksakan diriku untuk ikhlas, apapun kulakukan untuk kebahagiaan Rantiku.

Saat melihat laki-laki itu sebenarnya terbersit dalam pikiranku untuk marah. Aku berhak membenci laki-laki yang telah membawa Rantiku pergi. Untu menampar, mencaci laki-laki itu. Aku juga berhak membenci Ranti yang telah meninggalkan kami dan kembali menjadi abu. Untuk menumpahkan abu Rantai ke lantai, agar keinginannya untuk dilarung dipantai tidak tercapai.

Tapi tidak, aku segera teringat betapa aku selalu merindukan Rantiku pulang. Bagaimana aku terus saja berharap setiap ketukan pintu, dering telepon, surat yang datang, adalah Ranti. Bagaimana sekian perempuan yang telah kupeluk tetap saja tidak bisa menggantikan kehangatan Rantiku. Lalu bagaimana mungkin aku tidak menginginkan kebahagiaannya?

Ya, setidaknya Ranti pulang. Kami masihlah rumah baginya, suatu hal yang berarti dalam hidupnya, dan matinya. Kami adalah tempat dimana Ranti merasa harus kembali, pada akhirnya.

Ya, apapun kuberikan untuk kebahagiaan Rantiku.

# # #



"Kenapa ibu tidak dikubur ditanah saja seperti Kakek dan Nenek, Yah?"

"Ibumu pernah berpesan, setelah meninggal dia ingin dikremasi, dibakar, lalu abunya dilarung, dihanyutkan di pantai."

"Kenapa, Yah?"

"Ibumu sangat menyukai pantai. Dia sering sekali mengajak ayah pergi ke pantai hanya untuk menunggu matahari tenggelam. Ibumu akan duduk menghadap ke barat dan tersenyum pada langit senja, sampai hari gelap. Pada saat seperti itulah ibumu sering bilang pada ayah agar kalau dia mati kelak, dia ingin abunya dilarung di pantai. Agar dia selalu bisa menikmati senja sampai selama-lamanya."

"Kenapa, Yah? Kenapa ibu sangat menyukai senja?"

"Karena menurut ibumu senja di pantai itu sangat indah. Hal terindah yang pernah dijumpainya.Senja menjadi sesuatu yang bisa menentramkan hati ibumu terutama saat ibumu bersedih."

"Yah, kita tidak usah lagi makan ikan laut, ya?"

"Lho, kenapa?"

"kan bisa-bisa abu ibu dimakan ikan, terus ikannya kita makan. Masa kita mau makan ibu, Yah?"

Sang ayah hanya tersenyum.

"Yah, Oom itu teman ibu ya? Kok tidak ikut kita ke ombak sini? Takut tenggelam ya?"

Lagi-lagi sang ayah tersenyum. "Lihat, sebentar lagi ada ombak besar datang. Ucapkan doa untuk ibumu ya."

"Bu, ibu tidak usah sedih lagi. Aku sudah tidak marah lagi pada ibu. Ibu baik-baik ya di laut."

"Berbahagialah dalam senjamu, Ranti. Selamat jalan."

Pada senja yang sempurna itu, sebuah guci terapung, lalu dibawa ombak ke tengah laut.

# # #



Disinilah aku, duduk sendirian dipantai, disenja hari. Senja terbaik Miranti. Memandangi punggung ayah anak yang sedang melarung abu Miranti. Anak yang pintar, Miranti pasti bangga padanya.

Selesai sudah. Tidak ada satupun amanat Miranti yang kulakukan. Aku sengaja mengadakan upacara kematian agar Miranti sama sekali tidak sendiri dan kesepian. Banyaknya anak yang menagis bersamaan menjadi sebuah pemandangan yang menggelikan sekaligus mengharukan waktu itu. Lalu sehari setelah kremasi, kudatangi laki-laki itu. Sebenarnya kubayangkan, dan kuharapkan, dia akan menghempaskan guci yang kubawa sehingga abu Miranti tercampak di lantai. Sayangnya cinta laki-laki itu pada Miranti terlalu besar, dia malah mau-maunya melarung abu Miranti. Tapi setidaknya bukan aku yang melakukannya. Rumah Baca aku serahkan pada anaknya, lagipula kurasa dia yang lebih berhak mewarisinya. Toh aku juga akan segera meninggalkan Malang. Dan terakhir, cincin Miranti tetap kusimpan disakuku. Cincin yang selalu terpasang dijari manisnya bahkan sampai saat kematiannya. Cincin yang sama kulihat melingkar di jari laki-laki itu.

Aku hanya ingin agar Miranti tidak mendapatkan satupun keinginan terakhirnya, sedangkan hal-hal yang lain biarlah tetap menjdi rahasiaku saja. Seperti halnya HIV yang diidapnya karena pemakaian jarum suntik yang ceroboh, yang kemudian membuatnya merasa harus meninggalkan suami dan anaknya. Menurutnya, dia tidak ingin mereka, orang-orang yang dicintainya, terluka karena sakitnya. Sedangkan menurutku, tindakan itu adalah tindakan pengecut yang bodoh. Akhir-akhir ini stigma masyarakat pada ODHA sudah mulai luntur, lagipula sudah ada ARV yang terbukti mampu menurunkan tingkat kematian ODHA. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutinya, tapi bukan Miranti namanya kalau tidak mengikuti keinginannya sendiri.

Setelah pindak ke MAlang, Mirantimenjual sebagian tanah warisannya. Bukan untuk berobat, malah dipakainya untuk mendirikan Rumah BAca. Sebagai penebus dosa karena telah meninggalkan anaknya, katanya. Satu lagi pilihan hidupnya yang tidak bisa aku pahami. Walaupun begitu dedikasinya terhadap Rumah Baca telah mementahkan tudingan bahwa Miranti adalah perempuan yang tidak memiliki cinta seorang ibu karena apa tang telah diperbuatnya tiga tahun lalu. Semua anak yang datang ke Rumah Baca mencintainya, lalu bagaimana mungkin Miranti tidak memiliki cinta sebagai seorang ibu?

Lalu harapan-harapannya, impian-impiannya, ketakutan dan kegelisahannya. Juga ketulusannya pada laki-laki itu yang membuat Miranti tidak membiarkan aku menyentuh tubuhnya barang sejengkalpun. Ya, hingga saat Miranti matipun aku hanya seorang sahabat baginya.

Pada akhirnyapun bukan virus itu yang mematikan Mirantiku, tetapi keputusasaannya, kecengengannya. Lagi-lagi tindakan pengecut yang tidak masuk akal.

Ya, semua itu biarlah menjadi rahasiaku saja.

Ah, aku hanya seorang sahabat yang sedikit kesal pada Miranti. Dia yang dengan caranya yang bodoh telah meninggalkan aku. Dia yang tidak memberiku kesempatan untuk menjadi orang yang menggenggam tangannya saat maut menjemputnya. Untuk menutup matanya, menyilangkan tangannya didepan daanya, mengecup keningnya, dan membisikkan doa ditelinganya, sekedar mengantarkan nyawanya pergi dari tubuhnya. Inilah kerinduan terbesarku, Miranti tahu dan tidak membiarkanku mendapatkannya. Dia terlalu angkuh untuk membuarkanku masuk kebih dalam ke dalam relung hatinya.

Pada dasarnya, aku menyayangi Miranti. Sangat menyayanginya.

Baiklah, selamat menikmati senja terbaikmu, Miranti. Selamat menikmati senja selama-lamanya. Sudah sepantasnya kau berbahagia.

# # #



Di pantai itu senjapun habis digantikan oleh malam.

# # #

No comments: