Saturday, November 24, 2007

Perempuan dan Laki-laki yang Menangisi Maaf

Baru saja laki-laki itu mengaku bahwa dia pernah, sekali dalam hidupnya, tidur dengan perempuan lain selain perempuan itu.

"Betapa perihnya...," ratap perempuan itu lirih. Sudah sedari tadi wajahnya basah, oleh keringat dan air mata. Tepat pada saat laki-laki itu memulai pernyataannya, perempuan itu menagis tanpa suara.

Juga laki-laki itu. Tepat saat melihat sosok perempuan itu, batinnya menagis. Rasa bersalah yang tergetar dalam kata-katanya membuat tangis tanpa suaranyapun jauh semakin keras.

Ya, keduanya sedang menagis tanpa suara.

"Aku mohon maafmu...," kata laki-laki itu di akhir pengakuannya, "aku mohon maafmu...," ulangnya. Sebenarnya laki-laki itupun ragu, akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit. Lalu dia terus-terusan meyakinkan diri, apa salahnya mencoba dan berharap pada sepotong maaf itu.

"Maaf..." Perempuan itu menatap lekat ke dalam manik mata laki-laki itu. Sambil berharap akan adanya ketidaktulusan di manik mata itu. Setitik saja kebohongan di mata laki-laki itu akan menjawab dan memudahkan keragu-raguannya. Akhirnya dia kecewa karena dia tidak menemukan ketidaktulusan dalam kebeningan mata laki-laki itu.
"Maaf...?" Ada perih yang semakin dalam di lirih suaranya. Sebenarnya perempuan itupun ragu, apalah kekuatan sepotong maaf terhadap luka yang sedah terlanjur sakitnya.

Lalu hening yang menyimpan luka, ataukah keheningan adalah luka itu sendiri bagi keduanya).

Laki-laki itu lalu melanjutkan tangisnya dalam hening. Dia menagisi penyesalannya. Penyesalan terhadap kecerobohan yang telah pernah dilakukannya dengan sadar. Terlebih pada penyesalan terhadap kejujuran yang ternyata begitu menyakitkan bagi keduanya. Mungkin, lebih pada penyesalan terhadap kejujuran itu sendiri. Kejujuran yang telah diperjuangkan dalam pernyataan-pernyataannya.

Laki-laki itu dapat mengerti sepenuhnya bahwa tidur dengan perempuan lain selain perempuan itu merupakan sebuah dosa, yang mungkin saja tidak termaafkan. Dia telah mengerti tepat pada saat dia membuka mata di keesokan harinya, dan menemukan ada tubuh perempuan lain selain perempuan itu yang telah pernah terbaring mendekapnya. Sesaat kemudian, ketika peristiwa itu terjadi, dia larut dalam penyesalan ini, dan segera diperolehnya keyakinan diri bahwa ternyata perempuan itu adalah satu-satunya cinta, kepada siapa dia tidak sanggup untuk berpaling. Ketika peristiwa itu terjadi, bahkan sampai pada saat ini.

Ah, hanya sekali khilaf ini sepanjang kehidupanku. Laki-laki itupun mencari pembenaran diri. Setidaknya dengan menyetubuhi perempuan lain selain dia akupun memperoleh keyakinan diriku.

Sungguh, laki-laki itu membutuhkan kebersamaannya dengan perempuan itu. Utuk itulah diam-diam hati kecilnya berharap bahwa maaf adalah sebagaimana urusan hutang piutang. (Walaupun dia tidak sepenuhnya yakin akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit). Dengan demikian diapun masih memiliki satu piutang yang belum lunas. Demi mengingatnya, sakit yang terdahulupun (yang berbeda rasa dari sakit yang sekarang, tapi berbobot sakit yang sama) terkuak kembali.

Lalu segala sesuatunyapun mungkin akan menjadi lebih mudah.

Ternyata laki-laki itu menangisi maaf ini.

Perempuan itu lalu juga melanjutkan tangisnya dalam hening. Dia juga menangis untuk penyesalannya. Penyesalan terhadap pengkhianatan yang ditimpakan kepadanya. Sama halnya laki-laki itu, perempuan itu juga diam-diam mengutuki kejujuran yang menyakiti keduanya ini. Terlebih pada saat tiba-tiba muncul kesadaran bahwa perih seperti inilah yang dulu pernah ditorehkannya kedada laki-laki itu. Ya, luka yang sama persisnya dipercayanya akan menghasilkan perih yang sama juga.

Perempuan itu dapat mengerti sepenuhnya bahwa menyetubuhi perempuan lain, ataupun laki-laki lain, adalah satu dosa. Dosa yang boleh saja tidak dimaafkan. (Tidak mau memaafkan satu dosa adalah dosa yang lain lagi). Perempuan itu juga bisa memastikan bahwa laki-laki itu telah mengalami perasaan-perasaan sama halnya yang dulu pernah dimilikinya: penyesalan yang muncul tepat pada saat dia membuka mata dikeesokan harinya dan menemukan ada tubuh laki-laki lain selain laki-laki itu yang pernah terbaring mendekapnya; yang kemudian menumbuhkan keyakinan bahwa laki-laki itu adalah satu-satunya cinta, tempat di mana dia tidak sanggup untuk berpaling. Ketika peristiwa itu terjadi, bahkan sampai pada saat ini.

Ah, manusia adalah khilaf, daging adalah tempat dosa-dosa berlangsung. Perempuan itu berkilah tepat pada saat rasa malu dengan sedikit rasa bersalah menyergapnya. Setidaknya dengan menyetubuhi laki-laki lain selain dia, aku memperoleh keyakinan diri yang pasti. Pembenaran diri yang sama persisnya.

Sungguh, perempuan itu juga membutuhkan kebersamaan dengan laki-laki itu. Untuk alasan inilah diam-diam hati kecilnya berharap bahwa maaf adalah sekedar urusan hutang piutang. (Walaupun dia juga tidak sepenuhnya yakin akankah sepotong maaf memulihkan luka yang terlanjur sakit). Dia masih mengingat satu hutangnya yang belum terbayar.

Lalu segala sesuatunyapun mungkin akan menjadi lebih mudah.

Perempuan itu ternyata menangisi maaf ini.

Sejenak setelah hening itu. Laki-laki itu mengambil wajah perempuan itu untuk didekapnya dalam dadanya, "aku mencintaimu," bisiknya. Keduanya mengerti sepenuhnya bahwa kata-kata itu mengandung rasa, bukan hanya sekedar kata. Sebentar kemudian air mata perempuan itu menyatu dalam detakan jantung laki-laki itu.

Mereka masih menagis tanpa suara. Air mata perempuan dan laki-laki itu sama beningnya. Detakan jantung perempuan dan laki-laki itu sama kencangnya. Tangisan merekapun sama, untuk sebuah maaf.

# # #

"Aku masih menginginkan kamu..." Tawar yang keluar dari mulut perempuan itu ternyata mampu membinarkan kedua mata laki-laki itu. "Bahkan masih sangat menginginkan kamu...," tandas perempuan itu dingin, nyaris beku, yang nyatanya masih mampu menambahkan binar mata laki-laki itu dengan segurat senyum di bibirnya.

"Terima kasih, terima kasih telah memaafkan aku..." Segurat senyum laki-laki itu bergetar dengan terbata-bata. Perasaan lega melingkupi keseluruhan jiwa dan raganya. Saat kesalahan terasa telah tertebus cukup dengan kata maaf. Saat dosa terasa telah terbeli dengan harga yang sangat murah. Setidaknya, sepotong maaf bisa sangat meringankan.

Perempuan itu lalu mendongak, jauh ke dalam binar mata laki-laki itu. Untuk mencoba mengurai binar-binar itu, hingga dia bisa menemukan sebuah titik di pusat mata laki-laki itu. Yang kemudian membantu perempuan itu dengan sadar untuk menggeleng, "Tidak. Tapi aku ternyata tidak sanggup memaafkan kamu." Saat ini, semakin dirasakannya memang, pengkhianatan adalah perih yang terlalu menyakitkan.

Sekejap binar laki-laki itupun mengelam dan mulai berkabut. Tertegun sejenak dalam diamnya. Bahkan sampai disaat pipinya sudah mulai basahpun, dia belum juga bisa mengerti. Dalam ketidakmengertiannya ini, dia merasa harus berbalik, dan pergi.

Bersamaan dengan itu, air mata perempuan itu juga mulai mengalir dalam dongak keakuannya.
Mereka berdua menangis tanpa suara.

# # #


Dia menatap tenggelamnya matahari senja ini dalam kesendiriannya yang penuh. Sangat terasa baginya ngilu ini. Dihelanya nafasnya dalam-dalam. Toh matahari esok masih akan terbit lagi.

Pasti.

Dan diapun beranjak dari duduknya. Dikibaskannya pasir pantai yang menempel dipantatnta. Seperti halnya pasir-pasir yang terkibas berjatuhan, dalam keringya, tak tertepiskan lagi dia sedang merasa kalah.

# # #

Lalu diapun menangis dengan bersuara.

No comments: