Monday, November 10, 2008

Menggagas Sebuah Pernikahan

“Aku hamil,” kata gadis berbulu mata lentik itu datar. Mulutnya tak lepas mengunyah butir-butir manis jagung rebus yang masih hangat.

Pemuda yang sedari tadi asyik mengupas-kunyah kacang rebus di pangkuannya terbatuk-batuk diserang sedak. Bagaimana tidak, baru saja seseorang melempar bom molotov tepat di ambang daun kupingnya.

“Aku hamil. Telat dua minggu. Aku udah beli test pack, positif,” lanjut si gadis sembari menepuk-nepuk punggung pemuda yang duduk di sampingnya itu.

“Ya sudah,” kata si pemuda susah payah. Diredakannya batuknya dengan berdehem-dehem kecil. “Biar nanti kutelepon Bapak.”

“Buat apa?” Tanya si gadis heran.

“Melamar kamu, to?” Si pemuda juga heran.

“Siapa minta dilamar?” Si gadis bertambah heran.

“Apa?” Si pemuda lebih heran lagi.

****

Pacarku ini ada-ada saja. Masa aku mau dilamarnya cuma gara-garanya aku kepalang hamil? Aneh!

Pacaran ya pacaran aja, hamil ya hamil aja, menikah beda lagi urusannya! Dikiranya gampang apa menikah itu? Apalagi kalo menikahnya cuma karena nggak sengaja hamil. Menikah cap apa itu!

Buat aku pernikahan adalah laiknya pilihan-pilihan hidup yang lain, yang boleh aja ya-boleh aja tidak. Ya-tidak, semua benar. Hanya saja, jika sudah memilih untuk menikah hendaknya didasari dengan pertimbangan yang teramat sangat matang. Komitmen hidup bareng, terutama dalam pernikahan, membawa konsekuensi-konsekuensi yang teramat sangat panjang. Kompromi satu yang berbuntut dengan kompromi berikutnya, dan seterusnya, dan selanjutnya, sambung-menyambung menjadi satu sepanjang hayat dikandung badan.

Bayangkan, sepanjang hayat! Seumur hidup! Sisa umur bakalan dihabiskan untuk berkompromi dengan pasangan kita! Kehilangan diri untuk lebur menjadi satu dengan pasangan sebagai sebuah diri yang baru! Betapa mengerikannya bagi sebuah ego!

Satu contoh sederhana saja. Aku terbiasa tidur dengan lampu menyala, sedangkan dia dalam gelap. Dia memberi solusi untuk sebuah kompromi yang kedengarannya masuk akal, tidur dengan lampu remang-remang. Dipikirnya dengan mengambil jalan tengah seperti itu persoalan beres. Tidak.

Remang-remang adalah remang-remang, jauh beda dengan terang benderang maupun gelap gulita. Lampu tidur remang-remang tetap saja akan memunculkan hantu-hantu berambut panjangku itu. Seremang-remang apa pun lampu tidur juga akan tetap membuat matanya silau, yang otomatis akan menggelisahkan tidurnya. Kompromi cap apa namanya, kalo sama-sama menyakiti seperti ini?

Dia bilang, itu cuma sebatas masalah kebiasan saja. Kebiasan itu katanya, bisa dibentuk. Omong kosong apa lagi ini, setua gini kok mau membentuk kebiasaan. Membentuk kebiasaan itu urusan anak usia SD. Kalo pun kebiasaan itu bisa terbentuk sekarang, akan sangat menyakitkan, sulit, makan waktu pula! Keburu kami jadi kakek nenek yang tak bahagia, bahkan mati dengan muka cemberut yang merana! Kasihan, kan?

Di ujung perdebatan dia selalu bilang dia akan mengalah saja. Dia rela tidur dengan lampu terang benderang. Makin tidak masuk akal bagiku. Mana boleh dia mengorbankan dirinya buatku, sedangkan aku sendiri tidak tega mengorbankan diriku buat dia!

Katanya, saking cintanya dia sama aku. Nggak nyambung!

Itu baru masalah lampu tidur, belum masalah-masalah yang lain. Yang prinsipil, yang kurang prinsipil, maupun yang sama sekali tidak prinsipil.

Bukannya aku ini anti pernikahan. Menikah itu bagus, indah, positif, bila dikerjakan dengan kesengajaan dan kematangan yang optimal. Kelak pun jika aku sudah siap, aku mau saja menikah. Dengan dia pun tak mengapa, walaupun aku setengah mati benci dengan segala pola pikir jaman batunya itu. Kelak, bukannya dalam waktu dekat ini. Bukannya sekarang hanya gara-gara nggak sengaja hamil!

Aku jadi curiga. Kok, seolah kehamilanku ini jadi senjatanya untuk memaksaku menikahinya, ya? Jangan-jangan, memang dia sengaja membuatku hamil ….?

****

Kalau ndak gendheng[1], berarti dia itu goblok. Kadung[2] hamil, dilamar kok ndak mau. Malah nanya, “siapa yang minta dilamar?” Dasar!

Aku juga heran, dukun mana yang dia pakai sampai tak kepalang cintaku sama dia. Feminis gagal seperti itu! Sayangku sama dia memang sampai pol-polan[3]. Tiga tahun pacaran, aku sudah mantap menjadikan dia istriku. Cuma saja, si sontoloyo itu selalu saja berdalih saat aku mengajaknya menikah. Bahkan setelah dia kadung hamil sekalipun.

Katanya hidup berkomitmen itu konsekuensinya teramat sangat panjang. Dia belum sanggup untuk menghabiskan sisa umurnya untuk selalu berkompromi denganku. Padahal bagaimana mungkin coba, manusia bisa hidup tanpa kompromi-kompromi? Bukannya sebenarnya selama ini dia mau tidak mau sudah melakukan berbagai kompromi dengan sendirinya? Dasar, stres!

Dia selalu memberiku contoh-contoh. Favoritnya adalah tentang lampu tidur. Dia suka tetap menyala, aku suka gelap. Aku kasih dia solusi, lampu remang-remang sebagai jalan tengahnya. Dia ngenyel[4], remang-remang beda sama terang juga sama gelap. Remang-remang tetap saja membuat kami berdua susah tidur.

Aku bilang, itu cuma masalah kebiasaan. Dia tetap ndak terima. Kelamaan, katanya. Membentuk kebiasaan baru itu sulit. Keburu kami jadi kakek dan nenek yang hidupnya ndak bahagia.

Waktu aku bilang aku akan mengalah saja, dia semakin berang. Dia ndak mau aku berkorban buat dia, karena dia ndak mau berkorban buat aku.
Dasar sontoloyo! Apa cinta itu namanya, kalau ndak mau berkorban?
Itu baru satu contoh. Belum lagi kalau dia contohkan hal-hal remeh-temeh yang lain. Jadi ndak berujung pangkal perdebatan kami.

Aku tahu kenapa dia itu. Aku pernah baca di majalah, dia adalah tipe orang yang memang takut berkomitmen. Yang biasanya adalah orang yang ndak mampu untuk bertanggung jawab. Anehnya, kalau menurut majalah itu, orang tipe ini biasanya kaum pria berhidung belang. Lha ini, pacarku 100% wanita. Ya mungkin, cuma ada dia di antara sekian ratus juta penduduk wanita Indonesia.

Si sontoloyo itu mungkin mengidap ganguan jiwa!

****

“Ini tubuhku!” Teriak si gadis.

“Jangan lupa di dalamnya ada benihku!” Si pemuda tak kalah garangnya.

“Sebutir sperma nyasar aja!” Cibir si gadis. Lalu ditentangnya mata pemuda itu dengan mata berbulu lentiknya. “Heh, ambil aja kalo memang mau! Ambil rahimnya sekalian, cangkok dalam perutmu!”

“Ngomong sembarangan! Ndak takut dosa kamu?!”

“Kalo aku takut dosa, mana mungkin kamu kubiarkan nidurin aku!”

“Ibu durhaka! Intip[5] neraka kamu!” Si pemuda meradang.

“Sepertinya kita nggak lagi di persidangan, deh!”

Si pemuda sudah siap mengangkat tangannya ketika disadarinya orang-orang sudah berkerumun menonton mereka.

****

Benar-benar aku ini sudah salah menaruh benih. Masak dia mau mengugurkan kandungannya! Jadi pembunuh. Menambal sulam dosa dengan dosa baru.

Dasar, dasar feminis gagal! Kadung hamil, mau dinikahi dengan suka rela kok menolak. Memilih aborsi saja. Sudah takgampangin, malah disusahin!

Katanya paling baru segumpal darah.

Dasar, dasar goblok! Tetap saja benih itu hitungannya sudah jadi manusia. Sel-selnya sudah belah-membelah, bagaimana mungkin dikatakan bukan makhluk hidup? Beraninya dia menafikan kebesaran Sang Empunya Hidup! Benar-benar kurang ajar si sontoloyo itu!

Malah keluar usulnya yang sama sekali ndak bermutu, mencangkokkan rahimnya ke perutku. Dasar, dasar!

Katanya dia ndak mau nambah jumlah anak terlantar di Indonesia. Mungkin dipikirnya aku ini laki-laki dungu yang ndak mampu menyediakan makanan buat anak istrinya. Aku ini laki-laki jantan. Usahaku saat ini memang belum maju-maju amat, tapi kalau nanti dia sudah lulus kuliahnya dia kan juga bisa bantu. Bukannya, di mana ada kemauan disitu pasti ada jalan?

Dasar, dasar! Pikiran cupet[6]!
****

Apa haknya ngamuk-ngamuk saat aku bilang aku mau aborsi saja, coba? Dia cuma nyumbang sebutir sperma. Itu pun cuma sperma nyasar. Sedangkan benih ini tertanam di tubuhku. Aku yang menanggungnya jiwa dan raga. Jadi 99% hak ada padaku.

Dia takut dosa katanya. Takut dosanya datang terlambat. Bangunnya kesiangan! Sedari dulu kek, jadinya nggak ada kejadian kayak gini!

Ngomong-ngomong soal hak, bukannya tiap anak berhak untuk dapat kehidupan yang layak? Akan seberapa layaknyakah hidup seorang anak yang segala keperluannya, dari susu sampai mainan, masih ditanggung kakek neneknya? Gara-gara ibunya belum kelar kuliah, usaha bapaknya nggak maju-maju?

Belum lagi kalo dia saban hari harus mendengar orang tuanya bertengkar. Bapaknya memaki ibunya, ibunya balas meludahi bapaknya. Kalo, berpangkalnya pada perceraian? Mental seperti apa yang akan terbentuk nantinya?

Sambil menepuk dadanya dia bilang dia lelaki tulen yang jantan dan bertanggung jawab. Nggak akan mungkin menyengsarakan anak dan istrinya. Tanggung jawab macam apa jika jatuhnya nanti malah akan bertambah satu lagi anak terlantar di Indonesia?

Dasar patriarkh sejati!

****

Gadis itu menyibakkan poni rambutnya. Matanya mengerjap-ngerjap memainkan bulu matanya yang cantik. Ditengoknya pemuda yang mematung di sampingnya. “Aku keguguran.”

Mata pemuda itu berkilat marah. “Kamu pasti minum jamu!” Tuduhnya.

“Keguguran artinya tidak sengaja gugur. Kalopun jadi kugugurkan, nggak mungkin banget aku pakai cara begituan.”

“Kamu makan nanas muda?”

“Kamu pikir aku ini bodoh, ya?”

“Ya sudah. Kita tetap menikah. Aku sudah terlanjur minta Bapak melamarmu. Aku sudah terlanjur habis dimaki-maki sekeluarga. Kita tetap menikah.” Tandas si pemuda. “Atau, kamu takhamili lagi saja?” Dia tersenyum simpul.

Si gadis mendelik marah.

“Ndak usah takut. Sekarang atau nanti sama saja. Kita pasti bisa kalau bersama. Yang penting kita saling cinta. Iya to?”

Si gadis mencibir.

****

Sontoloyo menghilang, tau-tau bilang kalau keguguran. Keguguran apa aborsi cuma dia yang tau. Tuhan juga. Yang pasti dia tetap saja ndak mau nikah sama aku. Alasannya masih yang itu-itu juga.

Jangan-jangan dia punya pacar baru? Sudah luntur cintanya padaku? Atau benar, sebenarnya dia lesbian?

Feminis gagal itu …?

****

Masa dia masih aja ngotot menikahiku?! Padahal sudah jutaan kali aku bilang aku nggak mau. Percuma, sepertinya hanya keluar masuk kedua lubang telinganya saja. Bahkan aku keguguran pun dia nggak peduli.

Benar-benar aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan patriarkh macam dia!

****

[1] gila
[2] terlanjur
[3] teramat sangat
[4] bersikeras
[5] kerak
[6] pendek

No comments: