Thursday, December 30, 2010

Kembali Pada Jogja

Ini seperti mimpi. Bagai anak panah lepas dari busurnya, karirku melesat. Dalam waktu tujuh tahun aku sudah dipromosikan menjadi regional manager untuk wilayah Jateng dan DIY. Namun bukan itu yang terpenting, karena setelah sekian lama akhirnya aku punya sebuah alasan. Alasan untuk mengingatnya hanya setelah gagal melupakannya.

Kenangan itu. Kamu, Sam.
**

Ada yang ganjil malam ini.

Langit terlihat sedang memamerkan keindahannya. Angkasa bagaikan selembar selimut hitam terbentang yang berhiaskan milyaran bintang. Mereka berkerlap-kerlip genit menggoda bulan sabit yang tersipu malu. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan. Yang pasti, dengan bahasanya sendiri penghuni langit sedang merangkai sebuah romansa.

Berkebalikan dengan yang sedang terjadi di sini. Suasana hati kami tak semeriah langit di atas sana. Tidak ada kerling genit, sipu malu, apalagi perbincangan di antara kami. Jalanan pun sedari tadi kosong. Pedagang mi tok-tok yang biasanya mangkal di tikungan jalan depan rental komputer tak nampak. Juga tak satu pun orang, motor, ataupun mobil yang lewat. Hanya bangku kayu yang terasa keras di pantatku ini, ditambah suara jangkrik dan sesekali binatang malam, juga dinginnya angin menjelang dini hari saja yang menemani kebisuan kami.

Kebisuan kami yang beku dan dingin yang membuat malam ini begitu ganjil.

Biasanya rental komputer masih ramai sampai menjelang tengah malam. Bahkan ada saja satu dua mahasiswa yang lembur mengetik skripsi sampai pagi. Namun malam ini rental sudah sepi pengunjung sedari pukul sepuluh tadi.

Sejak pengunjung terakhir pulang kami hanya berpandangan, mendesah, dan menggigit bibir saja. Tidak satu pun kata keluar dari mulut kami yang terkatup. Mengherankan, hampir selama dua jam kami sanggup berdiam diri seperti ini. Larut dengan pikiran yang berkecamuk dalam benak kami masing-masing.

Sorot matanya menyayatku setiap kali kami bersitatap. Tarikan nafasnya menimpaku dengan bebannya yang berat. Aku tahu, aku pun sudah melakukan hal yang sama padanya pada saat yang sama. Demikianlah kami berkomunikasi selama hampir dua jam ini. Sembari menggigit bibir menahan sakit.

“Pulanglah kau, malam sudah begini larut …” Sam mengusirku.

Segera beranjak dari bangku kayu yang kududuki, aku menyeberang, pulang ke kos-kosan.

Pertanyaanku itu pun kembali tertelan.
**

Malam yang ganjil itu adalah malam terakhirku bersama Sam. Keesokan harinya aku sudah harus pulang. Aku hanya punya waktu kurang dari satu minggu bersama keluargaku sebelum berangkat ke Jakarta. Melalui rekruitmen kampus, aku mendapat pekerjaan pada sebuah perusahaan pembiayaan di sana. Hari itu semua urusan sudah selesai, tidak ada lagi yang menahanku di Jogja.

Tidak juga Sam.

Pintu rental komputernya yang biasanya pagi-pagi sudah terbuka itu masih tertutup rapat sampai aku berangkat meninggalkan Jogja. Entah kemana Mas Wid yang seharusnya jaga rental pagi itu. Kutinggalkan Jogja tanpa ucapan selamat tinggal pada Sam: lelaki Batak, anak Teknik Elektro semester enam, pemilik rental komputer langgananku.

Aku mengenal Sam sejak pindah kos di depan rental komputernya. Sebuah rumah kontrakan dengan dua kamar yang ruang tamunya disulap menjadi rental komputer. Sam tinggal di rumah itu dengan tiga orang teman seperantauannya. Mereka berempat juga yang patungan membeli delapan unit komputer untuk rental itu. Dibantu oleh Mas Wid, pegawai mereka, mereka bergantian jaga rental saat yang lain ada kuliah atau berkegiatan lain.

Pertama kali bertemu Sam, dia tersenyum begitu manis menyapaku sepulangku kuliah. Lesung pipit yang muncul saat dia tersenyum membuatku tak tahan membalas senyumannya. Seiring perjalanan waktu, aksi lempar-melempar senyum itu berlanjut dengan obrolan sore hari sembari rujakan di bawah pohon mangga di depan kosku. Kalau tidak, di malam hari di teras rental komputernya sembari menikmati mi tok-tok yang biasa mangkal di tikungan jalan.

Kami jadi semakin dekat begitu aku mengerjakan skripsi. Pada saat itu masih jarang mahasiswa yang memiliki komputer pribadi. Banyak mahasiswa yang masih mengandalkan rental komputer untuk menyelesaikan tugas kuliah. Kebutuhan akan rental komputer akan semakin tinggi ketika seorang mahasiswa mengambil skripsi. Itulah yang terjadi padaku, seorang mahasiswa melarat yang harus berjibaku agar sesegera mungkin menyelesaikan skripsi. Dua adikku sudah mengantri untuk ganti dibiayai. Sedangkan bapakku hanya seorang pegawai negeri golongan rendah.

Ah, Sam. Lelaki bermata tajam dan bertubuh ceking itu tak sekedar pemilik rental komputer langgananku, karena terlalu banyak yang telah dilakukannya untukku.

Di semester terakhirku itu, aku menjadi pelanggan setia rental komputer Sam. Bisa setiap hari aku bertandang ke sana dan seharian mojok di komputer nomor lima, bahkan bisa dari pagi sampai pagi lagi. Sampai-sampai Sam membuat pengumuman bahwa komputer nomor lima itu adalah komputerku, yang sudah ku-booking sampai selesai skripsiku nanti. Tak segan Sam dengan sewenang-wenang mengusir siapa pun yang sedang memakainya jika aku datang.

Saking baiknya, Sam memang kadang keterlaluan.

Tidak hanya itu. Sam bahkan lebih cerewet dan lebih galak daripada dosen pembimbingku. Setiap kali ketemu, selalu saja dia menanyakan progress skripsiku: sampai dimana, lalu habis ini apa, bagaimana caranya, kapan target penyelesaiannya. Lagaknya seakan dia sudah pernah skripsi saja. Suatu kali dia pernah mendatangi kosku lalu memarahiku seperti aku ini adiknya padahal aku satu tahun diatasnya. Ketika itu aku terjangkit virus malas stadium 4, sampai dua minggu aku tidak juga mengerjakan revisian Bab III.

Sam yang penuh perhatian itu, terkadang juga membuka file-ku diam-diam, lalu mengedit kesalahan ketik yang kubuat.

Itu juga belum semuanya. Sam selalu ada saat aku lembur mengetik di rentalnya. Terkadang dia sampai terkantuk-kantuk di meja kasir, padahal malam itu bukan jatahnya jaga rental. Dia selalu saja setia memberikan jeda iklan saat mataku sudah berat, otot leherku sudah kaku, dan otakku sudah ngadat, dengan banyolan, obrolan, dan secangkir kopi instant seduhannya. Secangkir kopi yang selalu gratis, tidak termasuk dalam biaya rental yang seringkali didiskonnya itu.

Sam,untuk bercangkir-cangkir kopi gratis di malam-malam yang menyebalkan itu.

Demikian tulisku dalam kata pengantar skripsiku. Sam ada di daftar terima kasihku yang cukup panjang, di urutan nomor empat setelah Tuhan, orangtua dan dosen pembimbingku. Sebagai seorang pemilik rental komputer langgananku yang sudah begitu baik padaku tujuh tahun yang lalu.

Sebatas itu …?!!

Ya, karena perbincangan-perbincangan kami di bangku kayu di teras rental komputernya bisa mengenai apa saja, kecuali satu hal itu. Bagaimana perasaannya.

Mungkin karena memang dia tidak menyimpan perasaan apa-apa kepadaku. Dia pemilik rental, aku pelanggannya. Itu saja. Bukankah dunia kami pun hanya sebatas rental komputernya, paling banter teras kos-kosanku? Aku saja yang sudah memaknai perhatiannya secara berlebihan. Mungkin perasaannya kepadaku hanya sekedar kasihan. Seratus persen, dia hanya ingin menolong.

Namun mengapa malam terakhir kami itu begitu ganjil? Mungkinkah karena terlalu banyaknya perbedaan kami sehingga dia memilih menyimpan perasaannya? Dari agama, suku, status ekonomi, sampai status sosial keluarga kami, aku dan Sam sangat berbeda. Aku bisa mengerti, manusia sehat pasti akan berpikir seribu kali untuk menjalin hubungan beresiko seperti ini.

Atau mungkin karena sebenarnya dia sudah memiliki seseorang? Seorang gadis manis yang sudah menunggunya di seberang sana. Mereka akan segera menikah begitu Sam selesai kuliah. Dijodohkan mungkin, atau memang sudah dipacarinya sejak SMA. Yang pasti, mereka berdua pasangan yang setara. Masuk akal jika Sam lebih memilih mempertahankan hubungan mereka yang lebih aman, toh cinta bisa diurus belakangan.

Entahlah. Hanya berbagai kemungkinan yang berseliweran dalam kepalaku, karena pertanyaan tentang itu selalu hanya sampai di ujung lidahku. Untuk kemudian kembali tertelan.

Bahkan sampai dengan malam terakhir kami yang ganjil itu.
**

Besok aku sudah harus masuk kantor, jadi aku turun di Jogja. Mungkin akhir minggu nanti aku baru bisa mengunjungi keluargaku di Kendal, kota kecil di sebelah barat Semarang. Sebenarnya rindu juga aku pada mereka. Selama tujuh tahun di Jakarta, hanya pada saat Lebaran saja aku berkesempatan pulang.

Dari bandara kuputuskan untuk melihat-lihat Jogja terlebih dahulu. Taksiku berjalan santai menyusuri Jalan Solo-Jogja. Sampai di pertigaan Pasar Demangan kami belok kanan ke Jalan Gejayan, kemudian masuk Kampus UGM melalui Selokan Mataram. Sampai di Jalan Kaliurang kami menyeberang, melewati Fakultas Teknik, Sardjito, Fakultas Kedokteran, dan kembali menemui Jalan Kaliurang. Dari Jalan Kaliurang kami menuju Malioboro, melalui Bundaran UGM .

Sepanjang jalan tak berhenti aku melihat kanan dan kiriku sembari membandingkannya dengan ingatanku. Mencoba mengenali kembali kota ini. Mencari apa yang hilang, apa yang baru. Lalu menemukan rasa getir..

Ternyata tujuh tahun membuat aku kembali pada Jogja yang sudah sangat berbeda. Kampus-kampus kini megah dengan gedung-gedung barunya yang menjulang. Jalanan sudah begitu padat dengan kendaraan, berjejalan mobil dan motor, malah sekarang ada bus Trans Jogja juga. Mall, toko 24 jam, warnet, kos-kosan, warung makan, jasa laundry, sampai dengan rental mobil, menyesaki kota ini.

Membuat Jogja sangat riuh.

Masih satu tempat yang belum kukunjungi yang sengaja kusisakan di akhir perjalananku nanti. Jogja yang sebenar-benarnya bagiku. Karang Malang, rental komputer Sam.

“Kemana lagi, Bu?” Sopir taksi menengokku. Kami sampai di Alun-alun Kidul, baru saja terbebas dari kemacetan di Malioboro.

“Muter alun-alun, lalu balik ke Karang Malang aja, ya Pak.”

“Nostalgia ya, Bu?”

Aku hanya tersenyum. Setelah sedemikian jauh mengelilingi Jogja, baru sekarang ditanyakannya hal ini.

“Sudah jauh beda, Bu. Jogja sudah mau seperti Jakarta sekarang.”

Tujuh tahun berselang. Perubahan memang menjadi satu-satunya hal yang masuk akal.
**

Karang Malang semakin crowded. Perkampungan ini dulu saja sudah padat, sekarang semakin padat. Sepertinya sudah tidak ada lagi tanah tersisa. Rumah, kos-kosan, rumah sekaligus kos-kosan, warung makan, warnet, fotokopian berjejal sepanjang jalan. Nyaris tanpa halaman, rata-rata berbatasan langsung dengan jalan. Kendaraan berlalu lalang di jalan kampungnya yang sempit. Beberapa kali taksiku harus berhenti karena berpapasan dengan kendaraan lain.

Aku kehilangan sesuatu. Di sini dulu banyak sekali rental komputer. Kini belum kulihat satu pun.

Rental komputer Sam, masihkah ada? Sam, masihkah tinggal di kamar belakang rentalnya itu? Sam, masihkah akan mengingatku setelah tujuh tahun tanpa komunikasi sejak malam terakhir yang bisu itu? Sam, akankah menjawabku jika kutanyakan persoalan yang dulu selalu kembali tertelan itu? Pertanyaan itu sendiri, masihkah relevan?

“Pelan-pelan ya, Pak. Ini ambil kiri, lalu terus saja.”

Jantungku berdetak lebih kencang. Sudah hampir sampai. Di depan itu tikungan jalan tempat pedagang mi tok-tok langgananku biasa mangkal.

Itu dia, bekas kosku sudah terlihat. Cat kuning terangnya dulu sudah berganti biru. Pohon mangga di depan pagar sudah ditebang. Kami sekosan dulu biasa diam-diam mengunduh buahnya untuk rujakan. Lalu Ibu Kos akan mengomel, karena selalu saja hanya kebagian menyapu daun-daunnya sedangkan buahnya sudah hilang sebelum matang.

Maka berhadapan dengan bekas kosku itu adalah rental komputer milik Sam.

“Pelan-pelan saja ya, Pak …,” bisikku. Aku yakin sopir taksi tak mendengarku, tapi taksi memang sudah sedari tadi melaju sangat pelahan.

Melewati rental komputer Sam, aku tertegun.

Jangankan bangku kayu tempat kami biasa berbincang, rental komputer Sam pun sudah hilang. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Di pagarnya tergantung tulisan. “DIKONTRAKKAN”.

Ah, Sam, Sam. Sudah pulang ke Medankah kau, Sam?

….

Tiba-tiba aku merasa konyol. Disaat aku sudah punya keluarga kecil yang bahagia, aku masih saja merasa kecewa ketika tidak mendapati Sam di Jogja.
**
Majalah Chic Edisi 23/02-09/03/2011

Wednesday, August 25, 2010

FIKSIMINI #1

KULIAH dosen brbicara smp berbuih2,aku mengendarai buihku sendiri

Tuesday, March 30, 2010

Kesetiaan Mbah Aziz

Baru sekali ini aku mengunjungi sel tahanan Polres. Sebuah ruangan sempit dengan dinding yang penuh dengan tulisan tidak senonoh, cat yang mengelupas di sana sini, dan sebuah toilet tak terguyur air di sudut ruangan. Bau pesingnya yang menyengat membuatku bernafas dengan terpaksa. Tidak berperikemanusiaan, bagaimana mungkin manusia akan bisa tidur di tempat semacam ini, runtukku dalam hati.

Tanganku mencengkeram terali besi di hadapanku yang dingin.

Kenyataannya Mbah Aziz malam ini tidur di sini.

Aku merasa miris melihat tubuh renta itu teronggok di lantai sel tanpa alas. Kaos dan sarung lusuh yang membalut tubuhnya pasti tidak mampu melindunginya dari dinginnya malam dan gigitan nyamuk yang juga sedang ramai berdengung di telingaku ini. Derit pintu sel yang dibuka membuat hatiku semakin miris saja.

“Tangi, Mbah!” Bapak Polisi yang membuka pintu sel menendang ujung kaki Mbah Aziz. Lali-laki renta itu tergeragap. Agaknya tadi dia benar-benar sedang terlelap. Segera mata tuanya yang memicing mendapati keberadaanku di depan pintu sel.

“Ana sing arep ketemu!” Lanjut Bapak Polisi itu sambil kembali mengunci pintu sel, dan meninggalkan aku termangu di hadapan pesakitan itu.

Ya, aku termangu. Aku diam, tak berkata-kata. Lidahku terasa kaku melihat lelaki tua itu. Raga ringkih di hadapanku ini juga bisu. Hanya mata kami saja yang saling berbicara. Aku bisa memahami dengan jelas apa yang disampaikan mata tua itu.

Sejenak setelah kami hanya saling berpandangan, mulut keriputnya berkata lirih, “aku mung njaluk srengengeku bali. Mung kuwi. Pangapuramu ya, Nak!”

Sungguh, bahasa yang sangat kumengerti. Kalimat yang menjadi pisau tajam yang mengiris kemanusiaanku.

Memang bukan di sini tempat lelaki itu, tetapi di emper depan rumahnya agar bisa terus dinikmatinya matahari senja miliknya.
**

Lelaki tua itu sudah menyita perhatianku sejak kepindahanku ke rumah baruku. Rumah idaman kami, aku dan Enggar, sedari kami pacaran dulu. Rumah yang sejuk tempat kami sedang mulai membangun sebuah keluarga yang bahagia. Sebuah tempat dimana anak-anak kami nantinya tumbuh dengan ceria. Jauh dari peradaban modern dengan segala tetek bengek pengaruh buruknya.

Setelah hampir tiga tahun memperjuangkannya, akhirnya mimpi itu bisa kami wujudkan. Sebuah rumah panggung berdinding dan berlantai kayu yang sejuk. Rumah yang tidak terlalu besar, sehingga menyisakan tempat untuk halaman depan, samping, dan belakang yang cukup luas. Berikut dengan aneka bunga dan air mancur kecil di halaman depan yang penuh rerumputan dan kebun belakang yang ditanami mangga, rambutan, dan durian. Rumah yang terletak di pinggiran kota dengan nuansa pedesaan yang masih kental. Terletak memencil di ujung kampung, dengan tetangga terdekat sebuah rumah tepat di seberang rumahku. Rumah lelaki tua itu.

Saat senja dengan peci, sarung, dan kaos lusuhnya lelaki tua itu duduk jegang di kursi rotan di emper rumahnya. Biasanya dia ditemani secangkir minuman yang sesekali diseruputnya pelahan sambil menatap lurus ke depan. Ke arah rumahku. Namun entah apa yang sedang dilihatnya. Dia hanya seperti sedang menerawang, dan selalu saja mengabaikan anggukanku yang mencoba untuk sekedar beramah-tamah sebagai seorang tetangga baru.

Rambut sudah memutih di kepalanya, kerut kerentaan juga telah menyesaki wajahnya. Usianya mungkin sudah ada delapan puluh, tapi lelaki itu masih sering melakukan aktivitas fisik. Entah itu mencangkul, memikul kayu kering, ataupun menimba air dari sumur di samping rumahnya.

Rumahnya adalah sebuah rumah berdinding papan yang sudah lapuk dan pagar bambu. Dia tinggal sendirian. Hanya suara radio transistor yang sesekali terdengar dari rumahnya.

Entah bagaimana dia hidup. Kulihat dia hanya menggarap sebidang tanah di belakang rumahnya. Itu pun entah kepunyaannya sendiri atau dia hanya menggarapkan tanah orang lain.

Aku bayangkan betapa sepi hari-harinya.
**

Sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah lelaki tua itu ketika aku sedang mencuci mobil di Minggu pagi itu. Seorang perempuan paro baya dengan dandanan menor keluar dari mobil. Dia melihat ke arahku. Anggukan ramahnya kubalas dengan anggukan juga. Tak kusangka dia datang menghampiri aku.

“Selamat pagi, baru pindah ya?” Sapanya ramah sambil menyorongkan tangannya. “Atik.”

Kulap tanganku yang basah dengan celanaku untuk menyambut uluran tangannya. “Guruh. Baru seminggu yang lalu pindah ….” Batinku tak berhenti bertanya siapa gerangan perempuan ini.

“Rumahnya cantik sekali. Elegan. Artistik. Selera Anda tinggi sekali. Pasti penyuka seni!” Pujinya sembari matanya berkeliling.

“Terima kasih.”

Kulihat dia tersenum simpul. “Coba, bandingkan dengan rumah bapak,” katanya sambil menunjuk rumah lelaki tua itu. “Mbah Aziz, sudah berkenalan, kan?”

Rupanya si tante ini, Bu Atik ini, adalah anak lelaki tua itu, Mbah Aziz. Aku mengangguk, membohonginya.

“Benar-benar …. Seperti bumi dan langit saja,” lanjutnya. “Tapi bagaimana lagi sudah saya bujuk berulang kali untuk dirobohkan saja, lalu saya bangunkan rumah yang lebih pantas, bapak selalu menolak. Bukannya apa-apa, rumahnya jelek begitu, saya juga yang malu. Orang-orang berpikiran saya ini anak yang tidak tahu keadaan orang tua. Tidak ngerti sama orang tua. Padahal orang tuanya sendiri yang keras kepala.”

“Orang tua memang kadang sukar dimengerti kemauannya,” kataku menanggapi.

“Benar. Padahal sudah lima puluh tahun lebih sejak ibu meninggal, masih saja setia dengan gubuk jeleknya itu.” Bu Atik tersenyum.

“Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan rupanya.”

Bu Atik mengangguk. ”Anda pasti heran, ngapain bapak sore-sore pasti selalu duduk di serambi depan.”

Aku mengangguk. “Kenapa ya, Bu?”

“Untuk mengenang ibu, katanya. Konon, adalah kebiasaan bapak dan ibu untuk duduk di serambi sambil menantikan senja. Mereka hobi menyaksikan matahari terbenam sembari berbincang dan menikmati segelas teh. Mereka baru akan beranjak setelah matahari benar-benar menghilang, hari benar-benar gelap.” Bibirnya menyunggingkan senyum, matanya menerawang. “Dalam hati saya, saya mengagumi kesetiaan bapak ini. Lima puluh tahun lebih betah hidup menduda, hidup hanya dengan kenangannya akan ibu. Lima puluh tahun lebih melakukan ritual senjanya demi kenangannya akan ibu. Lima puluh tahun. Sedang suami saya, belum mencapai usia perkawinan perak sudah dua kali menikahi siri perempuan lain.” Diangkatnya bahunya sambil mencibir.

Aku hanya terseyum, tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Tak kusangka, ada orang yang dengan entengnya membicarakan dapur rumahnya dengan orang yang baru saja dikenalnya seperti ini.

“Aduh, malah jadi curhat!” Bu Atik tergelak. “Maaf lo, sudah mengganggu. Silakan diteruskan cuci mobilnya. Mari ….´Dia pun melenggang menuju rumah lelaki tua itu, Mbah Aziz.

Sejak pagi itu, Mbah Aziz semakin menarik bagiku.
**

Menjelang senja, beberapa hari setelah perbincanganku dengan anak Mbah Aziz itu, aku mendatangi Mbah Aziz yang sedang duduk jegang di depan rumahnya. Aku berniat untuk menghibur kesepian lelaki tua itu.

Sayangnya niat baikku gagal total. Mbah Aziz mengacuhkan aku. Hanya sesekali dia menengokku yang duduk di kursi sampingnya, selebihnya pandangannya lurus ke depan. Hanya ‘ya’, ‘tidak’, dan dehem yang keluar dari mulutnya. Sedangkan raut wajahnya dingin tanpa ekspresi keramahan.

Aku merasa konyol dan memutuskan untuk pamit pulang.

Mbah Aziz hanya mengangguk, tidak sedikit pun berusaha berbasa-basi menahan kepulanganku. Matanya setia menerawang ke arah barat.

Ketika kuikuti pandangannya, justru aku terkesima akan keindahan rumahku. Rumahku bertambah-tambah cantiknya di antara remang cahaya senja.
**

Aku termangu di depan rumahku. Tak kusangka sepulang kami dari Bogor, kenyataan pahit ini yang harus kami temui.

Istanaku tinggal abu. Rumah yang kubangun dengan peluh, di mana kusimpan mimpi-mimpiku tentang keluarga yang bahagia, musnah. Hanya air mancur, bunga-bungaan, pohon mangga, rambutan, dan duriannya yang tersisa. Juga segumpal rasa gela yang tak terkira di dadaku ini.

Enggar memelukku dari belakang. Dia baru saja berbicara dengan Pak RT yang segera menyusul kami begitu melihat mobil kami lewat di depan rumahnya. Enggar berbisik dekat di telingaku, “api sudah terlanjur besar ketika orang kampung tahu rumah kita terbakar.” Lalu dia mengecup pipiku, “tidak perlu khawatir. Ada yang lebih penting.” Lalu jarinya menunjuk matahari yang sedang terbenam.

Sepasang mataku mengikuti telunjukknya. Seketika itu juga aku tertegun oleh pesona matahari senja yang bulat dan merah.

Aku dan Enggar bertatapan. Dia mengangguk, memastikan keraguanku.

“Benar. Mbah Aziz, Sayang,” bisiknya. “Kata Pak RT, dia duduk dengan jerigen bensin di emper rumahnya. Ketika ditanya pun tidak mengelak. Sekarang dia sudah di Polres.” Enggar mempererat pelukannya. “Rupanya rumah mungil kita sudah menjajah kemerdekaannya untuk menikmati keindahan senja.”

Aku termangu. Aku merasa seperti baru saja melakukan sebuah kejahatan besar.
**

Tabloid Nova, Edisi Januari 2011

Monday, March 29, 2010

Perempuan dan Lampu Kamar Tidurnya

Sudah hampir dini hari dan lampu kamar tidurnya masih menyala terang.

Tanpa harus melongok ke dalam kamarnya aku sudah tahu, dia sedang berbaring di ranjangnya. Sendirian. Kesendirian selalu membuatnya tidak merasa nyaman. Entah ketika masih terjaga atau sudah terlelap tidur. Dia selalu butuh terang lampu untuk menemani kesendiriannya.

Entah dimana pula lelaki yang seharusnya sudah berbaring di sisinya sejak malam sudah beranjak tadi. Mungkin masih terbenam di antara tumpukan kertas-kertas kerjanya. Mungkin sedang bergelut dengan kartu-kartu di meja judi. Atau sedang berpelukan dengan sembarang perempuan lain.
Dan seribu kemungkinan lain yang tidak bisa kupastikan.

Satu hal lain lagi yang bisa kupastikan adalah derita yang dirasai oleh perempuan itu. Perempuan indah, tinggi semampai, dengan warna kulit yang sangat kontras dengan rambut panjang ikal mayangnya itu. Aku bahkan bisa membawamu menuju detail-detail penderitaannya.

Sejak malam mulai merangkak tadi dia sudah menghampiri ambang jendela kamarnya. Berdiri melangut di sana dengan mata menembus kaca dan jemari mencengkeram teralisnya. Keputusasaan yang digambarkannya sudah seperti punguk yang setengah mati merindukan bulan. Terlihat nyata di depan mata, namun tiada kuasa merengkuhnya.

Sekali dua dihelanya nafasnya untuk membebaskan sesak yang penuh dalam rongga dadanya. Apa yang ada di depan pandangan matanya, dalam benaknya, dan menyesaki dadanya, hanyalah satu. Lelaki yang seharusnya sudah menghuni ranjangnya sedari malam mulai merangkak tadi.

Perempuan itu menengok ranjang di belakang kepalanya. Masih rapi. Hatinya perih teriris oleh pertanyaan bilamana ranjang itu akan menyaksikan kembali gelegak darah mereka yang menggelora.

Sedangkan malam sudah sedari tadi beranjak, hampir mencapai puncak.

Ketika dia mulai berpaling pada malam di kejauhan, dia mulai kembali mereka-reka apa yang menghambat lelakinya itu untuk pulang. Kembali memutar-mutar segala kemungkinan. Yang menyenangkan, yang menyakitkan, yang paling mungkin, yang paling mustahil, satu-satu melintas bergantian. Ketidakpastian ini membuat kegalauan dalam benaknya semakin menjadi-jadi.

Dalam puncak keputusasaannya, didongaknya langit malam. Tidak tersedia jawaban di sana. Hanya gelap. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Punguk itu rupanya sedikit lebih beruntung daripada dia.

Merasa berdiri di sana tiada berguna, kemudian perlahan dijauhkannya tubuhnya dari jendela.

Terang lampu kamar menembus gaun tidur sutra hitam berendanya. Menampakkan lekuk tubuhnya yang terlalu indah namun sia-sia. Gemulai ayunan langkahnya mengitari ranjang menuju sisi mana dia biasa berbaring. Gemulai tubuh yang terlalu indah yang juga sia-sia.

Sungguh, sayang sekali.

Kemudian dia duduk di tepian ranjangnya untuk beberapa lama. Sambil sesekali menyibakkan rambut yang jatuh di dahinya saat tatapnya nanar pada sprei yang masih kencang.

Sprei itu berwarna biru, dengan gambar dua angsa sedang berpagutan mesra. Sprei yang melapisi ranjang itu selalu berwarna biru. Seperti laut, kesukaan lelakinya itu. Seperti angkasa, kesukaan perempuan itu. Sehingga saat mereka bercinta di atas ranjang itu, mereka seperti sedang berenang, mereka seperti sedang terbang.

Ditelusurinya bagian ranjang dimana seharusnya lelakinya sudah berbaring. Pandangnya terus saja nanar sampai kemudian dijatuhkannya tubuhnya menghantam ranjang. Masih dengan jemari satu tangannya lekat di sisi seberangnya. Mengusapnya pelahan. Seperti bila jemarinya berada di atas dada bidang lelaki itu.

Saat dada sesak dalam dadanya tak tertahan, satu tetes air mata mengalir dari sudut matanya. Disusul dengan satu tetes lagi. Satu tetes lagi. Lagi. Susul-menyusul meresap pada bantal, membuatnya basah.

Dikatupkannya kelopak matanya, seakan dengan begitu air matanya akan terhalang. Gagal, setetes merembes. Begitu seterusnya sehingga bulu mata lentiknya pun kuyup.

Diusapnya dengan tangannya. Pipnya pun basah.

Dia pun mulai bersuara. Diantara isaknya, dia meratapkan nama lelakinya, memohon dia segera pulang.

Karena lampu kamar tidurnya tetap akan menyala terang sebelum lelakinya itu pulang.

Sebelum kerinduannya berubah menjadi kebencian, perempuan itu jatuh tertidur.

….

Ah, bagaimana aku tidak akan mampu menyampaikan derita yang dirasainya, karena sering kali malam-malam yang kulalui pun sama persisnya.
**

Masih jauh dari tengah malam.

Ada dengki yang diam-diam menyusupi batinku. Malam ini rupanya dia tidak tidur sendirian. Lampu kamarnya hanya temaram.
**

Dengkiku yang semalam semakin menjadi-jadi. Pagi ini bisa kupastikan, ternyata semalam perempuan itu tidur sendirian. Rupanya kesendirian sudah bisa membuatnya nyaman, tanpa lampu kamarnya harus menyala terang.

Perempuan itu sudah merdeka.

Sedangkan aku belum juga bisa. Hanya getir yang bisa kurasa.
**

Semoga Saja Kali Ini Bukan Bunga

Pagi ini suamiku menamparku lagi, seperti biasa, sambil memaki. Kali ini dia menyebutku ‘brengsek’. Padahal aku hanya membangunkannya sedikit lebih pagi dari biasanya. Bukannya tanpa alasan, aku takut dia akan terlambat masuk kerja. Semalam dia bilang kalau pagi ini dia harus menghadari rapat penting. Dan aku tahu, Pak Raharjo, Presiden Direkturnya, paling benci kata terlambat.

Sebenarnya seperti halnya makan buah simalakama. Kalaupun aku tetap membiarkannya tidur mungkin aku akan selamat dari tamparan dan makiannya pagi ini, tapi tidak untuk malam nanti. Suamiku pasti akan pulang dengan muka kecut, karena mendapat marah dari Pak Raharjo karena terlambat menghadiri rapat itu. Lalu dia akan menyalahkan aku karena tidak membangunkannya lebih pagi, memakiku, lalu menamparku. Kadang dia menampar dulu, baru memaki.

Persoalannya hanya sebatas ditampar sekarang atau nanti. Dimaki pagi ini atau malam nanti. Jatuhnya akan sama saja.

Bahkan kedua pipiku ini telah menjadi kebal, tidak lagi bisa merasakan perih tamparannya. Aku sudah tidak ingat lagi sudah berapa kali telapak tangannya bersarang di pipiku. Untuk kopi yang terlalu pahit, untuk ayam goreng yang gosong, untuk pertanyaan mengapa pulang terlambat dan tidak menelepon, bahkan untuk kekalahan tim sepak bola favoritnya. Apakah andilku dalam sebuah pertandingan sepak bola? Betapa konyolnya.

Kekalahan tim sepak bola favoritnya itu memang jelas bukan salahku. Hanya saja pagi harinya aku harus kehilangan satu gigi karenanya. Mulutku menghantam pinggiran meja saat suamiku mendorongku. Aku pun lantas berkemas pulang ke rumah Ibu.

Ibu menertawaiku. Disebutnya aku belum juga berubah, masih saja menjadi ‘perajuk kecil yang manis’. Menurut Ibu seharusnya aku sudah meninggalkan kebiasaan itu. Aku sudah menjadi seorang istri, sudah tidak pantas lagi bersikap kekanak-kanakan.

Menurut Ibu, seorang suami memang berhak memukul istrinya untuk memberi pendidikan. Seharusnya aku bersyukur, suamiku masih peduli padaku. Untuk itu, aku harus pintar-pintar melayani suamiku, menyenangkan hati suamiku. Kata Ibu, sudah menjadi kodrat perempuan untuk mengabdi pada suaminya. Ibu pun segera menyuruhku pulang, tidak baik seorang istri meninggalkan rumah tanpa seijin suaminya.

Kata-kata Ibu tidak kuhiraukan. Kali itu, kuanggap suamiku sudah keterlaluan.

Hari itu belasan kali suamiku menelepon, tak sudi aku menerimanya. Bahkan saat dia menjemputku, kucampakkan seikat bunga bawaannya dan kuhempaskan pintu rumah di depan hidungnya.

Tentu saja Ibu marah. Esok harinya Ibu mengantarku pulang. Berkali-kali Ibu menyalahkan aku dan memintakan maaf untuk ‘rajukan-rajukan kecilku yang manis’.

Malam harinya saat suamiku sedang pulas, terpikir olehku untuk menikam saja dadanya dengan pisau dapur.

Mungkin aku terlalu berlebihan.

Atau terlalu bodoh. Selalu saja luluh oleh permintaan maafnya yang mengiba-iba, rayuannya, rintihannya, janji-janji palsunya ….

Tapi aku memang selalu memaafkannya, selalu berdoa untuk perubahan sikapnya. Aku istrinya, dia suamiku, kami telah berjanji di depan Tuhan bahwa hanya maut yang akan memisahkan kami. Salahkan bila aku mendambakan perubahan sikapnya? Disamping juga terus berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik baginya? Demi mempertahankan komitmen pernikahan kami. Tidakkah hal itu terpuji?

Lagian menjadi janda? Yang benar aja!

Ya, mungkin benar, aku terlalu berlebihan. Mungkin dia tadi tidak akan marah kalau aku membangunkannya dengan lebih pelan, lebih lembut, lebih mesra. Baru setelah dia terbangun, kuingatkan untuk segera mandi dan berangkat ke kantor.

Ya, aku juga salah. Caraku membangunkannya tadi terlalu kasar.

Aku tahu, dia hanya khilaf. Semua orang berbuat salah, manusiawi. Dan bukankah setiap orang berhak untuk mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri?

Lagipula, hanya sesekali saja suamiku menamparku. Hanya saat harinya sedang kacau saja. Masih lebih sering dia memanjakanku. Aku tahu di dasar hatinya dia sangat mencintaiku. Seperti halnya aku teramat mencintainya.

Cinta. Ya, cinta. Apa yang mampu mengalahkan kekuatan cinta?

Kutatap setangkai mawar yang ada di atas meja telepon. Masih utuh. Kuraba pipiku, aku tidak ingat lagi sebelah kanan atau kiri. Mawar itu untuk satu tamparannya saat aku lupa mematikan kran kamar mandi. Dua hari yang lalu.
**

Aku sedang menyiapkan makan malam. Sebelum keluar kantor suamiku menelepon, dia ingin dimasakkan bakmi jawa kesukaannya.

“Sayang ….”

Itu dia, suamiku datang. Dia akan segera menghampiriku, memelukku mesra, dan dengan lembut membisikkan permintaan maafnya.

“Yang ….” Dia sedang memeluk pinggangku dari belakang. “Maafkan aku pagi tadi, ya?” Dia sudah mengatakannya siang tadi di telepon. “Maaf ya, Yang. Aku menyesal. Aku khilaf ….” Dia mengulanginya lagi, sama persis.

Kumatikan kompor.

Biasanya dia lalu berjanji tidak akan pernah berbuat hal yang sama lagi.

“Aku janji nggak akan pernah ngulangin lagi. Aku sumpah nggak akan pernah ngasarin kamu, Yang. Nggak akan pernah sekali pun ngatain hal buruk lagi ke kamu. Nggak akan lagi, Yang ….” Dia sedang mengatakannya.

Sekali lagi dia akan bilang “maaf”.

“Maaf ya, Yang ….”

Lalu “please”.

“Please ….”

Setelah ini dia akan mempererat pelukannya pelukannya, sambil bilang kalau dia mencintaiku.

“Aku cinta kamu, Yang.” Pelukannya membuat dadaku sesak.

Lalu aku akan merasa seperti ingin menangis.

Aku sudah merasa ingin menangis.

Lalu aku akan membalikan badan dan membalas pelukannya.

Sedang kulakukan.

Dan untuk yang kesekian kalinya kembali memaafkannya sekaligus meminta maafnya.

“Ya, Yang …. Nggak pa-pa.Kumaafin. Maafin aku juga ya, Yang. Aku tadi juga kasar. Seharusnya bukan begitu caraku bangunin kamu. “Aku juga hanya mengulangi apa yang kusampaikan siang tadi di telepon.

Lalu dia pasti akan menggeleng.

Dia sudah menggeleng. “Bukan, bukan salah kamu, Yang. Kamu benar, aku yang salah. Kalau tadi aku sampai terlambat, Pak Raharjo pasti marah besar. Aku yang salah, Yang. Kamu benar ….”

Setelah beberapa saat terdiam, hanya berpelukan, suamiku akan berkata bahwa dia punya sesuatu untukku.

“Aku punya sesuatu untuk kamu, Yang.” Dia mengatakannya.

Aku tahu, itu pasti bunga,

Segera dia melepas pelukannya, menghilang untuk mengambil kejutannya yang sudah tidak lagi mengejutkan bagiku.

“Don’t go any where…!” Katanya sambil mengerling, entah apa maksudnya. Mau pergi kemana aku, kakiku seperti dipaku di depan kompor.

Aku tahu, sebentar lagi dia akan kembali dengan setangkai, atau beberapa tangkai, bunga di balik punggungnya.

Tiba-tiba saja aku berharap kali ini jangan lagi bunga yang dibawakannya untukku. Keindahan bunga sudah lama berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan sejak awal pernikahan kami dulu. Dua tahun yang lalu. Aku selalu saja tersayat, saat melihat bunga pemberiannya perlahan layu dan rontok, lalu aku harus membuangnya ke tempat sampah. Terlebih lagi saat bunga pemberiannya yang terakhir pun belum lagi layu, ketika aku sudah harus menggantinya dengan bunga pemberiannya yang baru.

Suamiku datang membawa sebuah bungkusan. Dadaku bergetar, bukan bunga.

“Gaun pesta yang kita lihat tempo hari, Yang. Kemarin kamu pengen banget, kan?”

Kemarin dia melarang, belahan dadanya terlalu rendah.

“Kenapa diam, Yang? Nggak suka…?”

“Suka, suka sekali, Yang. Terima kasih ….”

Aku heran, hatiku tetap saja perih seperti biasanya, sekalipun bukan bunga yang dibawakannya untukku.
**

Monday, March 22, 2010

Malam Dari Atas Tower

Entah sudah berapa lama aku duduk meringkuk di sini. Sudah ada dua atau tiga jam ini. Atau bahkan mungkin lebih. Aku selalu seperti memiliki waktuku sendiri. Waktu yang seakan berputar lebih cepat daripada yang ada di bawah sana. Sekedar untuk tidak mengatakan bahwa waktuku di sini berhenti karena akan terdengar terlalu hipebolis.

Bukannya mengada-ada, tak jarang aku baru turun setelah mendengar kokok ayam jantan yang pertama, padahal aku sudah merangkak naik selepas apel malam. Tentu saja setelah masuk kamar, mengganti baju seragam yang rasanya sudah begitu lengket dengan kulit, mengagumi perut six pack-ku di kaca sebentar, mendengarkan sambil lalu gerutuan rutin Dadang teman sekamarku itu, untuk kemudian membuka jendela dan mengendap-endap keluar.

Jangan bermimpi keluar asrama di hari yang sudah begini malam melalui jalan yang sewajarnya. Setelah terompet tanda jam malam dibunyikan pukul 23.00, segala kegiatan memang dilarang. Kecuali tidur, mencoba tidur, ataupun berpura-pura tidur. Sedangkan saat aku melompat jendela, pukul 23.00 biasanya hanya tinggal beberapa menit lagi.

Petugas piket asrama di depan pintu utama pasti sudah akan mendelik marah, melarang, bahkan sebelum mendengar permintaan ijin untuk keluar asrama barang sebentar. Apalagi jika hanya untuk sekedar berlama-lama duduk di atas tower seperti ini. Aku bisa dipikirnya gila sehingga perlu menghadap Bu Sofie untuk duduk berjam-jam di ruang konseling yang justru bisa membuat gila karena saking panasnya itu.

Bisa kubayangkan apa yang akan terjadi jika aku sampai tertangkap basah sedang keluar jendela, berjalan mengendap-endap di semak-semak, merangkak menaiki kerangka besi tower, duduk di atas tower, menuruni kerangka tower, mengendap-endap di semak-semak menuju asrama, ataupun saat masuk kembali melalui jendela kamar. Memang tulangku tidak akan sampai patah, badanku juga tidak mungkin akan lebam-lebam, suatu hal yang sangat mungkin terjadi jika aku bersekolah di sini setidaknya tiga atau empat tahun yang lalu.

Paling banter pipiku akan merah karena tamparan, atau kulitku lecet-lecet karena disuruh merayap oleh petugas piket. Lalu esok paginya aku akan disuruh berdiri menghormat bendera sampai keringat yang bercucuran segede-gede jagung. Kalau tidak lari keliling lapangan setelah apel pagi sampai nafas ngos-ngosan, hampir pingsan. Atau push up, jalan jongkok , merayap, sambil dilihat oleh banyak orang yang menertawakan kekonyolan ini.

Enteng.

Paling pembinaan fisik itu saja. Apalagi aku kan sekarang sudah tingkat dua, senior, siapa juga yang berani mengusik. Yunior hanya bisa melihat, suka-suka senior mau berbuat apa. Pasal setan sedikit banyak masih berlaku di sini, sekarang ini. Pasal satu, senior tidak pernah salah. Pasal dua, jika senior salah lihat pasal satu.

Aman, kan.

Lagi pula, belum pernah kudengar seorang Taruna dikeluarkan hanya gara-gara kesukaannya duduk di atas tower air malam-malam.

Resiko sekecil itu benar-benar tak sebanding dengan malam yang selalu terlihat begitu istimewa di sini.

Lihat bintangnya, langit hitamnya.

Rasai hembusan anginnya.

Dengarkan suara-suara binatang malamnya.

Belum lagi serpihan-serpihan kehidupannya.

Apalagi manik-manik cerita yang bermuara pada asrama putri di sebelah mushola.

Saat sedang berada di atas tower seperti ini, aku suka berangan-angan menikmati silluet Astuti yang terlukis di balik tirai jendelanya. Kamar nomor 14. Lantai bawah, paling ujung belakang. Silluetnya yang sedang duduk di meja belajarnya, entah untuk belajar apa. Atau mungkin sedang melamun. Melamunkan aku? Asal jangan Kak Damar, alumni yang tampan nan cemerlang otaknya, yang setiap kali menjadi asisten praktikum selalu dicuri pandang oleh Astutiku itu.

Dengan sedikit efek dramatisasi, dan agak banyak halusinasi, lalu akan kugambar dengan jari telunjukku, tepian silluet juwita pujaan hatiku itu. Menyusur mulai dari belakang punggungnya, naik pada kepalanya yang sedikit menunduk, berhenti sebentar pada hidungnya yang membuatku kedanan. Hidung yang selalu ingin kulumat, yang selalu mengingatkanku pada es krim cone yang dingin, lembut, manis, nikmat, menyehatkan, tinggi kalsium ….

Hidung yang sebenarnya masih agak jauh dari mancung.

Dari hidung, turun ke mulut mungilnya, yang selalu mencibir saat menangkap mataku sedang terpaku pada wajahnya. Lalu jari telunjukku akan ke dagunya. Dada. Bahkan benjolan dadanya pun, ukuran 34 kurasa, masih kurang menarik bagiku jika dibandingkan dengan hidungnya itu. Pernah kubaca, aku lupa di mana dan dalam kajian apa, hidung adalah lambang phallus. Aku tidak tahu apakah ini pertanda ketidaknormalanku karena telah menyukainya, bagian terindah dari tubuh Astuti itu.

Sampai sekarang pun aku belum juga berkesempatan menanyakan ini pada Bu Sofie.

Sejak pertama melihatnya kepayahan dengan pakaian doreng, sepatu PDL kegedean, dan ransel tentara berisi pasir di punggungnya, aku sudah jatuh cinta. Hidungnya yang basah oleh keringat terlihat sangat indah. Seperti berlian yang berkilauan. Bersinar. Kinclong. Gadis itu seketika membuatku berhenti mengutuki Bapak yang telah memaksaku mengubur mimpi untuk mempelajari bahasa Perancis yang romantis itu.

Mau jadi apa besok setelah lulus. Paling-paling menganggur. Carinya itu yang pasti-pasti sajalah. Sekolah yang pasti lulus, pasti jadi Pegawai Negeri. Sekolahnya cepat, dua tahun selesai. Bayarannya murah. Pakai seragam, gagah.

Begitu kata Bapak.

Bapak sudah masukan uang sepuluh juta. Tes masuknya hanya formalitas saja.

Saking begitu khawatirnya dengan masa depanku, Bapak rupanya menjadi lupa kalau anaknya ini selalu menjadi yang terpandai di kelasnya. Tanpa harus merasa sombong, dengan menutup mata pun sebenarnya aku bisa mengerjakan soal-soal tes masuk itu dengan cukup mudah.

Apa pun itu, perempuan cantik itu yang membuatku menyadari, memang benar akan selalu ada hikmah di balik bencana.

Sayangnya, hanya gelap di kamarnya kini.

Lampunya tidak menyala. Sehingga aku pun menjadi sulit berhalusinasi ada siluetnya tertera di jendela kamarnya.

Astuti sudah tidak lagi berada di situ.

Menyadarinya, kurasakan dadaku berat. Tidak rela dengan kenyataan ini.

….

Ya sudahlah. Nikmati saja serpihan-serpihan kehidupan yang ada, yang tersisa setelah Astuti.

Kuedarkan pandanganku. Malam sudah lelap. Hanya satu dua kendaraan lewat di jalan raya depan gerbang utama. Gerbang yang membatasi kami dengan dunia luar, mengangkangi kebebasan kami. Yang hanya terbuka buat kami setiap Rabu sore sampai pukul 21.00 dan Sabtu sore sampai Minggu pukul 21.00. Kecuali kalau kami bisa mengakali petugas dengan alasan ini itu sehingga kami bisa pergi diluar hari yang telah ditentukan.

Gerbang yang mendongak angkuh. Untuk bilang: hanya yang terpilih yang bisa masuk.

Salah satunya aku, dengan uang sepuluh juta Bapak. Oleh ambisi Bapak.

Dua orang satpam duduk mengobrol di pos jaga. Televisi menyala. Dua anjing bergelung di bawah tiang bendera di lapangan upacara. Tidur, tidak mengobrol. Terakhir kali tiang bendera itu menjadi saksi bagi seorang yuniorku yang malam-malam harus berguling-guling dari tepi lapangan, tanpa putus, sampai menyentuh tiang bendera karena melarikan diri ke dalam kampus saat berkelahi dengan preman stasiun. Jika hanya berkelahi, tapi mau dengan gagah berani menghadapi preman stasiun itu walaupun kalah sekali pun, tanpa melarikan diri ke dalam kampus, hukumannya hanya akan merayap separuh lapangan. Kampus ini tidak mendidik Taruna pengecut, demikian kata petugas piket yang memberi sanksi sambil berkacak pinggang tepat di samping tiang bendera. Jadi, setengah lapangan adalah untuk kepengecutannya.

Rumput-rumput di lapangan upacara itu sudah begitu akrab dengan sol sepatu kami. Mereka saling menyapa, menanyakan kabar, kadang bergosip, ketika saling bertemu saat apel. Tiga kali dalam sehari, empat kali jika senam pagi ikut dihitung. Belum lagi jika ada latihan drumband, berolah raga bersama, ataupun ada hal khusus lainnya. Juga entah sudah berapa kali putaran lapangan ini kami kelilingi. Mungkin tapak kaki kami sampai sudah tercetak pada jalan aspal di sekeliling lingkar luarnya.

Tidak hanya jalan di sekitar lapangan, tapi sepanjang jalan di dalam kampus ini. Ratusan, ribuan, jutaan kali kaki-kaki kami menjejak jalanan beraspalnya. Dalam berbagai macam gaya. Dari lari, berbaris, sampai dengan jalan sambil berjongkok, kadangkala setengah jongkok. Walhasil, betis kami besar-besar, karena kaki terlalu akrab dengan tanah. Sepatu juga boros, dua tahun di sini, empat kali aku berganti sepatu. Satu sepatu per semesternya.

Di belakang sana, di antara banyak pohon tua yang besar dan menyeramkan, adalah tempat kami melakukan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari. Studio musik, ruang karaoke sekaligus arena billyard, wall climbing, lapangan voli, lapangan sepak bola, lapangan basket, bahkan ada juga lapangan futsal di gedung olah raganya. Kurang apa, kata Direktur kami, kampus sudah menyediakan fasilitas lengkap untuk menghibur Taruna. Tidak ada alasan untuk mati bosan di sini.

Memang tidak ada yang mati bosan di sini, karena apa yang terjadi dengan mencuri waktu di balik pepohonan itu, di ruang kelas saat pelajaran kosong, di kamar mandi, di kamar 27, di pojok-pojok tergelap kampus. Penyakit senioritas yang masih saja cukup menyenangkan untuk diwariskan. Tentu saja dengan kadar yang semakin ringan.

….

Dan akhirnya aku pun hanya bisa tertawa. Meski getir sehingga terdengar sumbang. Memang benar, kehidupan di sini baru terasa indah saat diceritakan sebagai kenangan.

Indah. Memang indah.

Apalagi hidung Astutiku itu yang terindah itu.

….

Sedari tadi semilir angin malam mengenai kulit tubuhku yang terbuka. Dingin bahkan menembus kaos oblongku yang tipis. Tidak sampai membuatku mengigil, sehingga tak jua membuatku bergeming turun. Kembali pada kehidupan nyata.

Tidak perlu buru-buru. Aku masih betah di sini. Apalagi besok aku sudah harus keluar kampus. Semua urusan sudah selesai. Asrama juga sudah sepi, tinggal aku saja yang masih belum pergi.

Aku sudah harus pulang. Lusa sudah harus masuk kerja. Sekali lagi Bapak sudah mempersiapkan semuanya buatku. Bahkan jauh hari sebelum aku wisuda, beliau “sudah menyelesaikan urusannya dengan Bapak Bupati”, sehingga memungkinkan aku bisa langsung bekerja dalam jangka waktu kurang dari seminggu setelah aku memakai seragam kebesaran dan disalami Pak Menteri sebagai lulusan terbaik di bawah teriknya matahari lapangan Monas. “Urusan dengan Bapak Bupati” yang bahkan sudah dimulai sebelum aku mengambil formulir pendaftaran untuk masuk di sini dua tahun yang lalu. Untung saja aku sekolah hanya dua tahun, Bupatinya belum ganti, mati, atau ditangkap polisi karena korupsi.

….

Sialan.

Hanya dari atas sini Bapak tidak terlihat. Hanya hidung Astuti yang indah.
****
16 Maret 2010: cerita untuk Sang Pemanjat Tower