Friday, November 21, 2008

Menjiplak Kematian Cobain*

Pagi ini

Grunge boleh aja dibilang orang sudah mati, tapi buatku nggak. Grunge nggak akan pernah mati. Grunge akan selalu mengalir dalam darahku dan mengiringi detak jantungku. Buktinya aku dan Cobain masih sering meneriakkan kegetiran hidup kami bersama.

Kami, aku dan Cobain tentunya.

Bahkan pagi ini aku adalah Cobain. Sayangnya tanpa pistol di tanganku, cuma cutter. Nggak masalah. Aku cuma akan mengiris pergelangan tanganku. Tanpa pistol nggak mengapa. Yang penting pagi ini aku adalah Cobain.

Aha, teringat sebuah peribahasa. Tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada pistol cutter pun jadi. Ha ha ha …. Garing!

Kulihat pergelangan tanganku. “Kanan atau kiri …?”

Kanan ataukah kiri juga nggak masalah. Yang penting aku adalah Cobain. Kurt Cobain. Kurt Donald Cobain.

Aku adalah Cobain yang sedang meringkuk di atas tempat tidurku. Dalam peluh, aku masih sempat memohon ampunan Tuhan. “Ampuni aku Tuhan. Bukannya aku bermaksud mendurhakai karunia kehidupan-Mu ini. Bukan, bukan. Bahkan sebenarnya aku terlalu bersyukur. Sepanjang hidupku aku hadir sebagai sosok yang terlalu sempurna. Namun menjadi terlalu sempurna ternyata sangat melelahkan. Melelahkan untuk selalu berpura-pura sempurna. Melelahkan untuk selalu bertahan agar selalu terlihat terlalu sempurna. Yang kemudian menjadi terlalu menakutkan untuk tiba-tiba menjadi nggak sempurna. Engkau Maha Tahu, pasti tahu yang kumaksud. Aku sudah sampai di ujung lelah. Aku sudah nggak mampu bertahan lagi. Terlebih lagi, aku nggak mampu untuk berani menjadi nggak sempurna. Jadi tolong, perbolehkan aku mengakhiri penderitaanku ini. Perbolehkan aku memilih cara dan saat kematianku sendiri. Tolong ….”

Sebentar lagi mungkin aku akan bergabung dengan Cobain di api neraka yang menyala-nyala.

Sebentar, sebentar. Bukankah Tuhan menganugerahi manusia kehendak bebas untuk memilih setapak mana yang akan dilaluinya? Bukankah juga termasuk di dalamnya untuk memilih cara dan saat kematian sendiri? Jadi apa perlunya permohonan ampun tadi? Oh ya ya, maaf Tuhan, aku nggak jadi meminta maaf. Ternyata aku punya alasan melakukannya. Hanya saja, semoga Engkau mau menerimanya sebagai alasan yang masuk akal.

“Tuhan, ngapain juga Kau ciptakan aku terlalu sempurna.” Lalu kupakai jariku untuk menghitung. “Dona yang cantik. Dona yang pintar. Dona yang lembut. Dona yang bintang pelajar, pemenang olimpiade sains, jago basket. Dona yang punya keluarga mapan yang bahagia. Dona yang punya pacar tampan, kaya, tapi nggak sombong. Dona yang selalu menang ….”

Aku memang terlahir untuk menjadi pemenang.

Waktu itu air mataku meleleh walaupun aku tersenyum. Bukan karena terharu. Ayah menepuk bahuku terlalu keras. Walau sebenarnya bukan tepukan Ayah ini yang menyakitiku, tapi seringai di wajah Ayah.

“Nah, anak perempuan Ayah ini memang terhebat! Selalu terhebat! Memang pantas kamu jadi replika Ayah, Don! Tunggu saja sampai teman-teman kantor Ayah tahu kamu menang!”

Masihkan akan kau tepuk bahuku ketika replikamu yang selalu menjadi bahan kesombonganmu ini mengiris pergelangannya sendiri?

Atau ketika Ibu merenggutku dari sisi Adik. Lalu Ibu menaruhku di pangkuannya sambil membenahi seragamku. “Anak Ibu adalah yang terhebat! Kamu harus tampil sempurna saat naik ke panggung buat ambil tropinya, Don! Nah, sudah cantik, kan? Ibu bangga sekali denganmu, Don! Tidak sia-sia Ibu mendidikmu. Kamu sangat cerdas. Kamu sangat cantik. Tidak ada yang menandingi. Kamu sangat mirip dengan Ibu, Don!” Lalu mata Ibu berkaca-kaca. Aku kebingungan, sungguh. Ibu ini bangga akan diriku atau dirinya sendiri?

Bahkan ketika Adik menggigil di pojok kamar mandi sambil berurai tangis. ‘Ampun Yah, ampun! Adik janji akan pintar kayak Kakak. Nggak main layang-layang terus. Mau belajar terus. Udah Yah, udah. Sakit. Jangan pukul lagi ….” Ayah memang tidak lagi memukulnya, tapi mengguyur dengan seember air.

Benar kan, aku satu-satunya yang terhebat!

“Hebat, Don! Selamat!”

“Suit … suit …. Cantik, main sini dong!”

“Tolong deh, Don! Maafin aku. Kita jangan putus, ya. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu ….”

“Makasih ya, Don. Kamu baik banget. Nggak tahu gimana aku bisa bales kamu ….”

Benar kan, aku terlalu sempurna.

“Haahhh …!!”

Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Aku bangun meraih foto keluarga di atas meja belajar. Kami berempat sedang berpelukan di Sea World. Kulempar foto itu ke tembok. Lalu foto Arman yang sedang tersenyum manis. Kulempar juga ke tembok. Kaca-kaca pecah, berhamburan di lantai. Mataku nyalang menatap sederet piala di atas rak buku. Sedikit dari piala yang kudapat. Rak pajangan di ruang tamu sudah terlalu penuh. Kuhempaskan piala-piala itu dari atas rak buku. Kuinjak-injak, lalu kuludahi. Kulempar guling, selimut, bantal, apa pun yang bisa kuraih. Kurasakan kemarahanku sudah sampai di ujung kepalaku saat kulihat test pack yang tergeletak di meja belajar.

Dua strip biru itu. Aku bisa melihatnya dari sini.

Mataku tertuju pada cutter yang terjatuh di ujung kakiku. Juga selembar kertas berisi permintaan maaf untuk Ayah dan Ibu. Kupungut keduanya.

“Aku nggak mau pudar. Nggak akan mau pudar …,” kataku lirih. Jantungku masih berdegup kencang. Nafasku makin memburu. “Aku nggak mau pudar,” kataku lebih tegas lagi.

Perlahan warna merah membasahi kaosku. Memang nggak lagi begitu penting, pistol atau cutter, kanan atau kiri. Sebentar kemudian aku merasa ringan. Suratku terlepas dari tanganku yang berdarah. Aku sempat melihat ada bercak darah mengenainya. Lalu tubuhku jatuh, tapi aku malah merasa seperti melayang.

Mataku mencari Cobain. Saat kutemukan wajahnya, matanya menatapku sinis.

Jangan Kurt, jangan maki aku. Dengan kesadaran penuh aku memilih cara kematianmu. Dengan sadar aku menjiplakmu. Aku setuju denganmu, Kurt. It’s better to burn out than to fade away.

Karena aku adalah kamu.
**


Sore harinya

“Saya turut berduka cita ya Pak, Bu. Sayang sekali, padahal Dik Dona itu cantik, ramah, sopan, pintar ….”

“Terima kasih. Kami hanya pasrah, sudah kehendak Tuhan. Sejak lahir Dona memang sudah menderita kelainan jantung ….”

Pelayat itu pun melangkah pergi.

Lalu Ibu menangis. Keras sekali.

“Ikhlas, Bu ….” Ayah memeluk Ibu.

Aku menyeringai. Bahkan setelah berupa mayat yang teriris pergelangan tangannya pun, aku masih menjadi Dona yang terlalu sempurna.

Mataku menjelajah mencari Adik. Di mana gerangan dia. Ah, itu dia. Menunduk menyembunyikan mata sembabnya. Diam. Sendirian. Dia memang selalu menyendiri. Kuhampiri dia. Kuraih kepalanya. Kupeluk erat sekali.
**

* Kurt Cobain, vokalis grup band Nirvana asal Seattle yang mengusung aliran musik grunge, meninggal pada 5 April 1994. Dia dinyatakan bunuh diri dengan menembak kepalanya. Belakangan muncul dugaan dia sengaja dibunuh. Kurt Cobain diketemukan meninggal dengan kadar heroin yang sangat tinggi. Dalam keadaan seperti ini dinilai mustahil jika dia mampu mengangkat pistol untuk menembak kepalanya sendiri.

No comments: