Monday, November 10, 2008

Senja Kali Ini

Sedari tadi Laras berdiri mematung di tepi pantai ini. Memencil, jauh dari kerumunan pengunjung pantai yang memang lagi tak begitu banyak. Rambutnya yang terurai masai oleh angin yang bertiup. Berkali-kali harus disibakkannya helaian rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya. Kaki telanjangnya dijilati riak ombak yang mendekat. Dibiarkannya ombak menggerus sedikit demi sedikit pasir tempatnya menapak. Melimbungkan tubuhnya beberapa saat, kehilangan pijakan. Membuat kakinya kemudian tertanam pasir semakin dalam.

Senja kali ini tidak ada bagus-bagusnya. Di langit hanya kelam, tertutup mendung. Tapi mata Laras tetap lekat ke barat. Menunggu gumpal-gumpal hitam itu terkuak. Siapa tahu, masih bisa dinikmatinya warna-warni cantik itu sebelum malam benar-benar turun nanti.

Siapa tahu, dia akan datang.
****

“Buka mata kamu sekarang.”

Sebuah cincin berlian di hadapannya kini. Laras tidak terkejut. Uang pengusaha muda ini lebih dari cukup untuk membeli cincin seindah ini. Adegan seperti ini pun sudah terlalu jamak ditemui di film-film. Si pria dengan penuh kerahasiaan menyuruh si wanita menutup mata. Begitu si wanita membuka matanya, sekonyong-konyong muncul sebuah cincin yang membuatnya terkejut hampir mati. Walaupun sebenarnya ini sudah diduga sekaligus diharapkannya sebelumnya.

“Mau kau, menikah dengan aku?” Tanya Dinar di antara desau angin.

Laras juga tidak terkejut. Alur yang sudah terlalu lazim, mudah tertebak. Tiga tahun mereka pacaran di umur mereka yang sudah kepala tiga, apalagi selanjutnya kalau bukan pernikahan?

Laras tersenyum. Memang semua sudah diduganya. Jauh-jauh hari dia sudah pasti kalau momen ini akan terjadi. Jawaban pun sudah matang disiapkannya. Kini sudah ada di ujung lidahnya. Hanya saja Laras masih ingin berteka teki dengan pria tampan di sampingnya ini.

“Aku ingin kau melahirkan anak-anakku. Sepasang, laki-laki dan perempuan.” Dinar tersenyum menatap Laras yang duduk di sampingnya dalam-dalam. “Kakaknya laki-laki, adiknya perempuan, tapi kalau kamu maunya kakaknya perempuan, adiknya yang laki-laki juga tidak apa-apa. Kalau pun Tuhan memberi laki-laki semua, ataupun perempuan semua, juga tidak masalah. Yang penting aku mau kamu yang melahirkan anak-anakku nanti. Yang penting dua saja. Bumi Indonesia akan semakin sesak kalau kita kebanyakan anak. Mau kan, Laras?”

Lagi-lagi Laras hanya menjawab Dinar dengan senyuman.

“Aku janji akan membahagiakan kamu, Laras. Kita akan sering-sering seperti ini. Duduk berdua di sini, menikmati senja bersama angin laut dan ombak, kesukaanmu ini. Hanya saja bedanya ada anak-anak kita yang sedang kejar-kejaran, atau bermain pasir, atau duduk-duduk saja di sini bersama kita.”

Laras masih saja tersenyum. Bukan sekali ini saja Dinar mengutarakan keinginannya untuk memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan. Bahkan tempo hari saat di toko buku, Dinar membeli buku nama-nama bayi.

“Laras …? Halo …? Omong-omong aku sudah capek megang wadah cincin ini terus. Terimalah ….”

Laras menghela nafas. Balas ditatapnya wajah Dinar yang menanti jawabannya penuh harap itu. Sepasang matanya yang berbinar-binar. Alis tebal yang hampir bertautan. Senyumnya yang mengembang. Kumisnya yang telat dicukur. Jerawat di pipi kirinya. Pria inilah yang diharapkannya akan menggenggam tangannya sampai dia meregang nyawanya kelak.

“Ayolah, mau tak perlu malu. Bilang saja ya ….” Wajah Dinar berubah jenaka. “Ya …!”

Bibir Laras masih rapat. Cincin dengan wadahnya yang terbuka masih dipegang Dinar. Dengan gerakan sangat pelahan, Laras menutup wadah cincin di hadapannya itu. Digenggamkannya wadah cincin itu dalam tangan Dinar. Lalu disorongkannya ke depan dada laki-laki itu. Dramatis sekali, mengikuti adegan film yang pernah ditontonnya dulu.

“Maksudnya, Laras?” Wajah jenaka Dinar seketika berubah bingung. Penolakan Laras ini jauh sekali dari sangkaannya mengingat hubungan mereka selama ini. “Kita sudah sejauh ini …? Kukira …?” Tanya Dinar tak mengerti. “Kau tidak sedang becanda, kan?” Dinar masih saja tidak percaya.

Laras kembali tersenyum. Menyentuh pipi Dinar dengan tangannya yang dingin. Lalu mengecup keningnya. Sebagai tanda kalau memang dia bersungguh-sungguh..

“Sia-sia tiga tahun kita, Laras?! Katamu …?!” Dinar menuntut. “Kenapa?!” Teriaknya. “Kenapa?!” Gelegar suara Dinar bahkan mengalahkan gemuruh ombak.

Senyuman belum juga lepas dari bibir Laras.

Muka Dinar merah memendam amarah. “Jadi selama ini semua cuma bohong, Laras?! Omong kosong?!” Suaranya bergetar oleh emosi yang dalam. “Tega …!” Umpatannya hampir tak terdengar. “Pembohong ….” Jemari Dinar mengepal kencang. Meninju keras-keras pasir pantai, melepaskan marah. Matanya yang memerah nanar memandang lautan di depannya.

Laras memeluk tubuh pria itu. Mengecup pundaknya lembut. “Tenang,” bisiknya sambil mengelus-elus pungungnya dari atas ke bawah. “Tenang.”

“Kenapa?! Kenapa Larasati?! Kenapa?! Jawab!” Desak Dinar.

Laras balas tersenyum simpul. “Kenapa apanya?”

“Jangan becanda! Memangnya kita ini sedang bicara apa!” Dinar berang merasa dipermainkan.

Masih dengan mengelus punggung Dinar, Laras meletakkan dagunya di pundak Dinar. “Apa aku bilang ‘tidak’ tadi?”

“Maksudmu?!” Dinar tidak mengerti.

“Aku tidak bilang ‘tidak’,” kata Laras masih dengan senyum di bibirnya.

“Maksudmu?!” Dinar semakin tidak mengerti.

“Aku mau saja menikah denganmu,” kata Laras datar. “Mau sekali, malah.”

Dinar terpana sesaat. “Lalu, kenapa cincin ini …?” Tanya Dinar sambil menunjukkan wadah cincin dalam genggamannya.

“Aku tidak bilang ‘aku tidak mau’ ….”

“Ayolah! Langsung saja! Jangan bikin aku penasaran, Laras!” Teriak Dinar tidak sabar. “Bilang, sekarang!” Tegasnya.

Laras lagi-lagi tersenyum. Kini sudah waktunya bercerita. “Dengarkan dulu aku, ya?” Pintanya.

Dinar tidak menyahut. Wajahnya membesi menatap pasir pantai yang terserak terbawa angin di atas tikar di depannya.

“Aku sayang kamu, butuh kamu, kamu ta ….”

“Omong kosong!” Potong Dinar. Dia mendengus keras. “Lalu kenapa kau tolak pinanganku?!”

“Dengarkan dulu. Tolong.” Laras menatap mata Dinar. Dinar membuang matanya pada langit senja yang memerah. Keindahan senja ini tak semenarik biasanya.

“Hanya saja,” lanjut Laras, “aku tidak tahu apakah aku adalah perempuan yang kau butuhkan.”

“Sudah kusorongkan cincin ini di depan matamu. Belum juga kau tahu?!” Hardik Dinar. “Bodoh.”

“Tolong, dengar aku dulu. Jangan dipotong dulu.” Kembali pinta Laras. “Bersiaplah mendengar ini.” Diraihnya dagu Dinar.

“Iya, apa?! Bosan aku dengan teka tekimu!” Teriak Dinar sembari melengos.

”Dinar …. dengar. Dengar aku.” Laras memberi jeda sebentar. “Aku tidak punya rahim.” Pelan-pelan, seperti tanpa beban Laras mengatakannya. Bahkan dengan senyum yang masih saja melekat di bibirnya.

Memang seringan itulah kini perasaan Laras setiap kali mengingat kenyataannya ini. Perutnya yang kosong, tanpa rahim di dalamnya. Kemarahannya tiga belas tahun yang lalu kini tak bersisa sedikit pun. Logikanya sudah mampu berpikir bahwa ini adalah takdir yang tak mungkin diubah. Kemarahan adalah kesia-siaan yang bodoh. Sehingga memang tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerimanya sebagai bagian dari tubuhnya. Dirinya.

Dinarlah yang terhenyak. Tak percaya ia memandang Laras yang lurus menatapnya. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Tidak sepatah kata keluar dari mulutnya. Lidahnya kelu. Ingin rasanya ia menelan kembali umpatan-umpatannya tadi.

Laras mengangguk meyakinkan. “Sampai usia dua puluh aku belum mendapat menstruasi. Aku cek ke dokter. Ternyata Tuhan lupa menaruh rahim di dalam perutku. Aku perempuan, tapi tidak berahim.”

Dinar menelan ludahnya. “Bagaimana mungkin?”

“Bawaan. Kelainan sejak lahir.” Laras menarik nafasnya dalam-dalam. “Itulah kenapa aku belum bisa terima cincinmu. Kan, kamu harus pastikan dulu, masih mau memberikan cincin itu padaku atau tidak …?” Kembali Laras tersenyum.

Angin berhembus kencang. Menerpakan dingin pada wajah keduanya. Menyerakkan helai-helai rambut mereka. Menyapu galau dalam hati mereka masing-masing. Laras menatap Dinar yang terdiam menatap ujung kakinya. Cincinnya tergeletak di sebelahnya. Iba merambati benak Laras. Di saat laki-laki ini menggantungkan harapannya, dihempaskannya harapan itu hingga menyerpih. Dia seperti si penjahat, tokoh antagonis dalam cerita ini. Tapi apa dayanya? Peran ini diberikannya begitu saja oleh Sang Sutradara.

“Tidak mungkin punya anak …?” Tanya Dinar lemah masih dengan memandangi ujung kakinya. Suara lirihnya ditelan ombak dan angin yang menderu.

“Tidak mungkin. Bahkan bayi tabung pun tidak.”

Dinar mendesah. Bahkan bayi tabung pun tidak …? Sedangkan dia sudah menyiapkan nama untuk sepasang anaknya nanti. Dia sudah menemukan nama yang bagus dari buku yang dibelinya bersama Laras tempo hari.

“Pikirkan dulu masak-masak. Bisa saja adopsi, tapi tetap saja itu bukan darah dagingmu.” Laras menyandarkan kepalanya di bahu kekar Dinar. “Belum lagi Mamimu. Saat ini pun Mami pasti sudah ingin menimang cucunya dari kamu. Kamu anak laki-laki kesayangannya ….”

Dinar tahu itu, oleh karenanya kembali Dinar mendesah. Kini matanya lurus menatap lautan lepas. Menekuri ombak yang bergulung-gulung yang berlomba menuju pantai. Rasanya ombak-ombak itu seperti pecah di dalam dadanya.

“Kalau pun kamu keberatan dengan keadaanku, tidak mengapa. Aku maklum. Kamu juga bukan yang pertama. Dulu sudah pernah. Sekali. Tidak perlu khawatir. Setidaknya aku sudah cukup berpengalaman.” Lalu Laras tertawa sumbang. Masih jelas dalam ingatannya. Lima tahun yang lalu laki-laki itu melenggang begitu saja setelah tahu keadaannya ini.

Laras bangun dari bahu Dinar, menyentuh pipi Dinar. “Maaf ya, seharusnya aku bilang ini sejak dulu. Sebelum hubungan kita sejauh ini. Jadi, sakitnya pun tidak akan terlalu sakit.” Laras mengecup pipinya. “Maaf ya, aku terlalu egois. Aku takut kau akan segera pergi ….”

Dinar masih diam terpekur.

“Sejujurnya, awalnya sempat terpikir untuk menyembunyikan ini dari kamu. Tapi lalu kupikir-pikir percuma saja. Bangkai toh, pada akhirnya akan tercium juga.”

Kini Dinar memandangi dalam-dalam wajah ayu di sampingnya ini. Entah, dia harus bagaimana. “Laras ….”

Laras menyuruh Dinar diam dengan telunjuknya. “Jangan jawab sekarang. Kalau memang kamu masih ingin menikahiku, kutunggu di sini. Tujuh senja dari sekarang.” Diturunkannya jarinya. “Kalau pun tidak, tak mengapa. Kita belum berjodoh. Tiga tahun bersamamu sudah cukup kini. Terima kasih.” Dihelanya nafasnya. “Aku butuh seseorang menemaniku tua. Yang akan setia menggenggam tanganku saat ajal menjemputku. Kalau pun itu bukan kamu, aku percaya, aku hanya perlu menunggu sedikit lebih lama lagi. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku juga tidak.”

Mereka duduk bersisian di atas tikar mereka di tepi pantai ini dalam diam. Dalam kepala Dinar berkecamuk pikiran-pikiran yang hilir mudik tidak karuan. Batinnya tak selesai juga mencaci-maki kenyataan ini. Entah pada siapa dia harus menumpahkan kemarahannya kali ini.

Sedangkan mata Laras menerawang, menuju lautan lepas, sampai di batas cakrawala. Mengikuti ombak yang bergulung-gulung datang mendekati pantai.
Senyum tersungging di bibir Laras.

Setiap ombak pasti menuju pantai. Kesempatan seperti ini pun pasti akan datang padanya. Hanya berbeda waktu dan pelakunya saja. Dan dia selalu siap menghadapinya. Bahkan untuk semua kemungkinan terburuknya.
****

Laras duduk memeluk lutut di atas pasir.

Sepuluh, sembilan, delapan ….

Matanya memejam, dia mulai menghitung mundur ketika senja yang memang tak sempat memerah itu sudah lewat beberapa saat lalu.

… kutunggu di sini. Tujuh senja dari sekarang.

Sedangkan senja ke tujuh itu kini sudah berganti menjadi malam.

… enam, lima, ….

Laras masih berharap sepasang tangan kekar akan mengejutkannya, memeluknya dari belakang.

… dua, satu.

Laras membuka matanya, menelan ludah saat hanya ada gelap malam, debur ombak, dan desau angin saja yang ditemukannya. Tidak ada Dinar.

Terasa getir saat dia mencoba untuk tersenyum. Ternyata Dinar bukan laki-laki itu. Laki-laki yang akan menemaninya menjadi tua, yang akan menggenggam tangannya saat ajal menjemputnya.

Dikuatkannya hatinya. Bukan Dinar, berarti laki-laki yang lain. Diyakinkannya hatinya. Tuhan sudah mempersiapkan laki-laki itu di suatu tempat, di suatu waktu nanti.

Segala sesuatu akan indah pada masanya.

Laras sudah akan beranjak ketika seseorang menyentuh punggungnya dari belakang.

“Laras …”

“Dinar …?” Laras menemukan Dinar berdiri di belakangnya. Di antara gelap tampak wajah Dinar yang lebih bersih daripada terakhir kali dilihatnya tujuh hari yang lalu. “Dinar!” Pekik Laras seakan tak percaya. Senyum merekah di bibir Laras bersamaan dengan kembang-kembang kebahagiaan yang seketika itu bermekaran memenuhi dadanya. Ya Tuhan, ternyata memang benar Dinar mencintainya!

Dinar duduk di samping Laras. “Laras …. Maaf Laras, aku berubah pikiran ….”

Senyum Laras meluruh. Ternyata bukan. Dinar datang hanya untuk sebuah kekecewaan. Kalau hanya untuk mengatakan hal itu, kenapa Dinar harus datang, runtuknya dalam hati.

“Tak mengapa, Dinar. Aku bisa sepenuhnya paham ….” Suaranya bergetar, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Terima kasih, Laras. Aku berubah pikiran, aku tidak lagi ingin memiliki sepasang anak dari rahimmu, Laras. Aku mau sebuah tim sepakbola. Kita akan angkat anak sebanyak-banyaknya.”

“Dinar …!” Air mata Laras pun membuncah. Dadanya seperti hampir pecah, sesak dengan kebahagiaan yang tak terkira.

Dinar merengkuh Laras dalam pelukannya. “Aku butuh kamu melengkapi hari-hariku, jauh melebihi kantong rahimmu.”

Laras hanya mengusap air matanya, dia tak punya lagi kata-kata. Air matanya yang semakin deras sudah cukup untuk merayakan cinta mereka.

Happy ending. Sebuah akhir yang bahagia. Ketika senja kali ini sudah digantikan oleh malam.
****
Jogja, 14 Oktober 2010: Untuk pelukan yang selalu erat
Majalah Kartini No 2288/ 27 Januari-10 Februari 2011

No comments: