Wednesday, November 19, 2008

Dia, Salju

Seumur hidupku belum pernah sekali pun aku melihat salju. Apa lagi menyentuhnya. Persinggunganku dengan salju hanya sebatas pada gambar-gambar kalender, atau pun penampakan salju di layar kaca saja.

Aku memang belum pernah menjejakkan kakiku di negeri dengan empat musim mana pun di dunia. Sekedar mendatangi mall yang mendatangkan atraksi dunia salju pun aku tidak berkesempatan. Apalagi mendaki Jayawijaya sekedar untuk berjumpa dengan salju.

Bukan berarti aku tidak tahu menahu perihal salju.

Konon sebelum turun ke bumi sebagai kepingan yang empuk, lembut, dan putih, salju adalah uap air yang membeku di ketinggian udara pada temperatur di bawah titik beku. Kepingan salju berbentuk kristal-kristal heksagonal simetris yang unik setiap kepingnya.

Memang tidak ada keping salju yang sama. Setiap keping salju berbeda ukuran, bentuk, maupun strukturnya. Terkadang keping-keping salju itu saling melekat satu sama lain saat turun sebagai hujan salju. Hujan salju menebarkan hawa dingin menusuk yang memaksa manusia mencari kehangatan di bawah selimut, mantel, maupun di depan pendiangannya. Karena jika tidak, salju bahkan bisa sangat mematikan. Membunuh dengan dinginnya yang tajam.

Lebih dari itu, aku tahu benar tentang salju. Dia dua puluh lima tahun yang lalu, dialah salju itu.

Dia salju yang putih itu.

Dia seperti bidadari yang dengan elegan meniti pelangi untuk turun ke bumi saat memasuki ruang meeting. Tiada kedip aku menatap kecantikannya. Dari ujung kaki, hingga kepalanya. Dari kepala turun lagi hingga ke kaki jenjangnya. Seketika itu akulah Joko Tarub yang terkesima pada pesona Nawang Wulan, Romeo pada Julliet, Rama pada Shinta. Seakan jarum jam berhenti berputar saat mulutku menganga, takjub oleh kesempurnaan yang dimilikinya. Tuhan pasti sedang dalam mood yang sangat bagus saat memahatnya.

Bagaimana tidak. Parasnya begitu ayu. Proporsi wajahnya sempurna. Dari mata, alis, hidung, sampai bibirnya menyatu membentuk sinergi yang sangat apik. Bola mata beningnya mengerjap cerdas. Tubuhnya semampai dengan rambut digelungnya anggun menampakkan citra dirinya yang tinggi. Pakaian yang dipakainya membalut tubuhnya dengan sangat pas. Setelan hitamnya itu kontras dengan kulit putihnya. Membuat putihnya tampak semakin putih. Berkilau membuat mataku silau.

Dia salju yang lembut itu.

Senyumnya menyapu kami yang diam membatu waktu itu. Sangat lembut. Kelembutan yang dimilikinya mengalahkan es krim yang paling lembut, yang seketika lumer[1] di mulut sekali pun. Kami yang membeku seketika sekaligus leleh olehnya. Tuturnya bak alunan nada-nada piano yang memainkan komposisi maha jenius sang maestro, Bethoveen. Lembut sekaligus memukau kami dengan alur pemikirannya yang runtut dan bernas.

Dia salju yang dingin itu.

Kehadirannya siang itu seperti sebotol air es yang melegakan kerongkonganku yang selama ini kerontang. Memberiku rasa plong yang tidak terkira, yang belum pernah kualami sebelumnya. Seumpama air hujan pertama yang membasahi tanah kering yang bengkah[2] oleh kemarau yang terlalu panjang. Laksana air oase di padang pasir yang direguk para pengelana yang telah kelelahan berjalan bermil-mil jauhnya.

Kali pertama menjumpainya itu, batinku mendesah. Aku resah. Perempuan yang telah jauh melampaui jamannya ini terlalu hebat. Membuatku selalu waspada. Karena dia begitu putih, lembut, dan dingin. Seperti salju.

Begitu pulalah dia dua puluh lima tahun kini. Putih, lembut, dan dingin.

Putihnya masih seputih salju.

Sinarnya bahkan semakin terang. Cahaya budinya kini yang memancar pada putih wajahnya. Membuat kecantikannya semakin cantik. Tak peduli berapa banyak kerut yang bermunculan di wajahnya ataupun uban yang bertebaran di rambutnya. Dia bertambah cantik dari hari ke hari.
Lembutnya masih selembut salju.

Senyum dan tatapnya selalu mampu membuat lumer sebongkah gunung batu di hatiku. Yang selalu saja kubangun setelahnya, dan yang selalu saja berhasil digerusnya habis kembali kemudian. Kekuatan yang tersimpan di dalam kelembutannya melebihi banjir bandang maupun angin topan yang mampu meluluhlantakkan semua yang diterjangnya. Kesombonganku ini sajalah yang terlanjur terlalu keras kepala, selalu menantang kelembutannya yang terbukti selalu menang.

Setiap kelembutannya itu selalu mempecundangiku.

Tubuh lembutnya selalu menghangatkan tubuhku. Mencairkan kristal-kristal es yang kadung[3] membeku dalam darahku. Gelinjang lembutnya itu tak bosan memuaskan birahiku. Satu-satunya yang bisa selalu membuatku rindu. Sepanjang hidupku tidak ada yang mampu begitu. Hanya satu, dia saja. Tidak juga lusinan perempuan yang pernah singgah dalam dekapanku yang panasnya bahkan membakarku.

Begitu pula bibir lembut yang selalu saja menyediakan maaf yang tak terbatas untukku. Untuk sekian banyak permintaan maaf yang tak terucap. Atas berjuta kesalahan yang telah kuperbuat baginya. Berjuta hal remeh temeh[4] yang sengaja kubesar-besarkan. Dari sindirian untuk kopi yang terlalu manis, sampai makian karena pulang lewat tengah malam. Padahal aku tahu, dia menikahiku bukan untuk membuatkan kopi. Sebagaimana aku juga tahu, kalau setiap kepergiannya itu menunjukkan besarnya dedikasi yang dimilikinya atas apa yang dikerjakannya.

Sayangnya pikiranku terlalu kerdil untuk bisa mengerti dirinya.

Itu belum seberapa. Bahkan untuk HIV yang sudah kutularkan pun dia tetap memberi maafnya. Nyatanya bibirnya tidak pernah bertanya dari mana virus laknat ini kudapat. Juga tidak pernah mengeluh. Memaki apa lagi.

Lembut pula saat dia berbisik di telingaku seminggu yang lalu, sesaat sebelum dia jatuh koma oleh deraan penyakit pada tubuhnya yang telah terlalu ringkih.

Terima kasih, aku sudah boleh menghabiskan separuh hidupku bersamamu.

Sedangkan aku baru saja akan memulainya. Hidup bersamanya.

Sudah cukup. Kebahagiaan ini sudah cukup. Sekali lagi terima kasih.

Sedangkan aku belum pernah sekali pun membuatnya tertawa untuk sekedar mengucapkan terima kasih.

Sekarang aku sudah siap pulang.

Sedangkan baru akan kubangunkan rumah untuknya. Baru saja jadi desainnya.

Cium bibirku.

Aku mengutuki penyesalan yang selalu saja datang terlambat.

Air mataku jatuh mengotori wajah putihnya yang bersih. Buru-buru kusapu dengan ujung jariku. Aku tidak rela wajah putihnya ternoda. Kulekatkan bibirku pada bibirnya yang kering. Beberapa detik bibir kami bertemu. Seketika hawa dinginnya yang takterkira menjalari sekujur tubuhku. Larut dalam darahku, berasa dalam menembus sumsum tulangku. Dingin yang begitu dingin. Dingin yang sangat yang belum juga hilang sampai sekarang.

Ya, dinginnya masih sedingin salju.

Tubuh kakunya sudah dingin.

“Mas …!” Saat kutoleh ternyata Lisa, adikku, yang menyentuh pundakku. “Petinya ditutup sekarang ya, Mas. Kita berangkat ke pemakaman ....”

Putih. Lembut. Dingin. Sehingga aku tahu benar tentang salju.

Kulekatkan bibirku pada telinganya seolah dia masih bisa mendengar. “Terima kasih ….” Karena kutahu maaf tiada lagi berguna.

Egoku menyerpih, dihembus angin tak bersisa.
***
[1] mencair
[2] pecah
[3] terlanjur
[4] sepele

No comments: