Monday, March 29, 2010

Semoga Saja Kali Ini Bukan Bunga

Pagi ini suamiku menamparku lagi, seperti biasa, sambil memaki. Kali ini dia menyebutku ‘brengsek’. Padahal aku hanya membangunkannya sedikit lebih pagi dari biasanya. Bukannya tanpa alasan, aku takut dia akan terlambat masuk kerja. Semalam dia bilang kalau pagi ini dia harus menghadari rapat penting. Dan aku tahu, Pak Raharjo, Presiden Direkturnya, paling benci kata terlambat.

Sebenarnya seperti halnya makan buah simalakama. Kalaupun aku tetap membiarkannya tidur mungkin aku akan selamat dari tamparan dan makiannya pagi ini, tapi tidak untuk malam nanti. Suamiku pasti akan pulang dengan muka kecut, karena mendapat marah dari Pak Raharjo karena terlambat menghadiri rapat itu. Lalu dia akan menyalahkan aku karena tidak membangunkannya lebih pagi, memakiku, lalu menamparku. Kadang dia menampar dulu, baru memaki.

Persoalannya hanya sebatas ditampar sekarang atau nanti. Dimaki pagi ini atau malam nanti. Jatuhnya akan sama saja.

Bahkan kedua pipiku ini telah menjadi kebal, tidak lagi bisa merasakan perih tamparannya. Aku sudah tidak ingat lagi sudah berapa kali telapak tangannya bersarang di pipiku. Untuk kopi yang terlalu pahit, untuk ayam goreng yang gosong, untuk pertanyaan mengapa pulang terlambat dan tidak menelepon, bahkan untuk kekalahan tim sepak bola favoritnya. Apakah andilku dalam sebuah pertandingan sepak bola? Betapa konyolnya.

Kekalahan tim sepak bola favoritnya itu memang jelas bukan salahku. Hanya saja pagi harinya aku harus kehilangan satu gigi karenanya. Mulutku menghantam pinggiran meja saat suamiku mendorongku. Aku pun lantas berkemas pulang ke rumah Ibu.

Ibu menertawaiku. Disebutnya aku belum juga berubah, masih saja menjadi ‘perajuk kecil yang manis’. Menurut Ibu seharusnya aku sudah meninggalkan kebiasaan itu. Aku sudah menjadi seorang istri, sudah tidak pantas lagi bersikap kekanak-kanakan.

Menurut Ibu, seorang suami memang berhak memukul istrinya untuk memberi pendidikan. Seharusnya aku bersyukur, suamiku masih peduli padaku. Untuk itu, aku harus pintar-pintar melayani suamiku, menyenangkan hati suamiku. Kata Ibu, sudah menjadi kodrat perempuan untuk mengabdi pada suaminya. Ibu pun segera menyuruhku pulang, tidak baik seorang istri meninggalkan rumah tanpa seijin suaminya.

Kata-kata Ibu tidak kuhiraukan. Kali itu, kuanggap suamiku sudah keterlaluan.

Hari itu belasan kali suamiku menelepon, tak sudi aku menerimanya. Bahkan saat dia menjemputku, kucampakkan seikat bunga bawaannya dan kuhempaskan pintu rumah di depan hidungnya.

Tentu saja Ibu marah. Esok harinya Ibu mengantarku pulang. Berkali-kali Ibu menyalahkan aku dan memintakan maaf untuk ‘rajukan-rajukan kecilku yang manis’.

Malam harinya saat suamiku sedang pulas, terpikir olehku untuk menikam saja dadanya dengan pisau dapur.

Mungkin aku terlalu berlebihan.

Atau terlalu bodoh. Selalu saja luluh oleh permintaan maafnya yang mengiba-iba, rayuannya, rintihannya, janji-janji palsunya ….

Tapi aku memang selalu memaafkannya, selalu berdoa untuk perubahan sikapnya. Aku istrinya, dia suamiku, kami telah berjanji di depan Tuhan bahwa hanya maut yang akan memisahkan kami. Salahkan bila aku mendambakan perubahan sikapnya? Disamping juga terus berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik baginya? Demi mempertahankan komitmen pernikahan kami. Tidakkah hal itu terpuji?

Lagian menjadi janda? Yang benar aja!

Ya, mungkin benar, aku terlalu berlebihan. Mungkin dia tadi tidak akan marah kalau aku membangunkannya dengan lebih pelan, lebih lembut, lebih mesra. Baru setelah dia terbangun, kuingatkan untuk segera mandi dan berangkat ke kantor.

Ya, aku juga salah. Caraku membangunkannya tadi terlalu kasar.

Aku tahu, dia hanya khilaf. Semua orang berbuat salah, manusiawi. Dan bukankah setiap orang berhak untuk mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri?

Lagipula, hanya sesekali saja suamiku menamparku. Hanya saat harinya sedang kacau saja. Masih lebih sering dia memanjakanku. Aku tahu di dasar hatinya dia sangat mencintaiku. Seperti halnya aku teramat mencintainya.

Cinta. Ya, cinta. Apa yang mampu mengalahkan kekuatan cinta?

Kutatap setangkai mawar yang ada di atas meja telepon. Masih utuh. Kuraba pipiku, aku tidak ingat lagi sebelah kanan atau kiri. Mawar itu untuk satu tamparannya saat aku lupa mematikan kran kamar mandi. Dua hari yang lalu.
**

Aku sedang menyiapkan makan malam. Sebelum keluar kantor suamiku menelepon, dia ingin dimasakkan bakmi jawa kesukaannya.

“Sayang ….”

Itu dia, suamiku datang. Dia akan segera menghampiriku, memelukku mesra, dan dengan lembut membisikkan permintaan maafnya.

“Yang ….” Dia sedang memeluk pinggangku dari belakang. “Maafkan aku pagi tadi, ya?” Dia sudah mengatakannya siang tadi di telepon. “Maaf ya, Yang. Aku menyesal. Aku khilaf ….” Dia mengulanginya lagi, sama persis.

Kumatikan kompor.

Biasanya dia lalu berjanji tidak akan pernah berbuat hal yang sama lagi.

“Aku janji nggak akan pernah ngulangin lagi. Aku sumpah nggak akan pernah ngasarin kamu, Yang. Nggak akan pernah sekali pun ngatain hal buruk lagi ke kamu. Nggak akan lagi, Yang ….” Dia sedang mengatakannya.

Sekali lagi dia akan bilang “maaf”.

“Maaf ya, Yang ….”

Lalu “please”.

“Please ….”

Setelah ini dia akan mempererat pelukannya pelukannya, sambil bilang kalau dia mencintaiku.

“Aku cinta kamu, Yang.” Pelukannya membuat dadaku sesak.

Lalu aku akan merasa seperti ingin menangis.

Aku sudah merasa ingin menangis.

Lalu aku akan membalikan badan dan membalas pelukannya.

Sedang kulakukan.

Dan untuk yang kesekian kalinya kembali memaafkannya sekaligus meminta maafnya.

“Ya, Yang …. Nggak pa-pa.Kumaafin. Maafin aku juga ya, Yang. Aku tadi juga kasar. Seharusnya bukan begitu caraku bangunin kamu. “Aku juga hanya mengulangi apa yang kusampaikan siang tadi di telepon.

Lalu dia pasti akan menggeleng.

Dia sudah menggeleng. “Bukan, bukan salah kamu, Yang. Kamu benar, aku yang salah. Kalau tadi aku sampai terlambat, Pak Raharjo pasti marah besar. Aku yang salah, Yang. Kamu benar ….”

Setelah beberapa saat terdiam, hanya berpelukan, suamiku akan berkata bahwa dia punya sesuatu untukku.

“Aku punya sesuatu untuk kamu, Yang.” Dia mengatakannya.

Aku tahu, itu pasti bunga,

Segera dia melepas pelukannya, menghilang untuk mengambil kejutannya yang sudah tidak lagi mengejutkan bagiku.

“Don’t go any where…!” Katanya sambil mengerling, entah apa maksudnya. Mau pergi kemana aku, kakiku seperti dipaku di depan kompor.

Aku tahu, sebentar lagi dia akan kembali dengan setangkai, atau beberapa tangkai, bunga di balik punggungnya.

Tiba-tiba saja aku berharap kali ini jangan lagi bunga yang dibawakannya untukku. Keindahan bunga sudah lama berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan sejak awal pernikahan kami dulu. Dua tahun yang lalu. Aku selalu saja tersayat, saat melihat bunga pemberiannya perlahan layu dan rontok, lalu aku harus membuangnya ke tempat sampah. Terlebih lagi saat bunga pemberiannya yang terakhir pun belum lagi layu, ketika aku sudah harus menggantinya dengan bunga pemberiannya yang baru.

Suamiku datang membawa sebuah bungkusan. Dadaku bergetar, bukan bunga.

“Gaun pesta yang kita lihat tempo hari, Yang. Kemarin kamu pengen banget, kan?”

Kemarin dia melarang, belahan dadanya terlalu rendah.

“Kenapa diam, Yang? Nggak suka…?”

“Suka, suka sekali, Yang. Terima kasih ….”

Aku heran, hatiku tetap saja perih seperti biasanya, sekalipun bukan bunga yang dibawakannya untukku.
**

No comments: