Tuesday, March 30, 2010

Kesetiaan Mbah Aziz

Baru sekali ini aku mengunjungi sel tahanan Polres. Sebuah ruangan sempit dengan dinding yang penuh dengan tulisan tidak senonoh, cat yang mengelupas di sana sini, dan sebuah toilet tak terguyur air di sudut ruangan. Bau pesingnya yang menyengat membuatku bernafas dengan terpaksa. Tidak berperikemanusiaan, bagaimana mungkin manusia akan bisa tidur di tempat semacam ini, runtukku dalam hati.

Tanganku mencengkeram terali besi di hadapanku yang dingin.

Kenyataannya Mbah Aziz malam ini tidur di sini.

Aku merasa miris melihat tubuh renta itu teronggok di lantai sel tanpa alas. Kaos dan sarung lusuh yang membalut tubuhnya pasti tidak mampu melindunginya dari dinginnya malam dan gigitan nyamuk yang juga sedang ramai berdengung di telingaku ini. Derit pintu sel yang dibuka membuat hatiku semakin miris saja.

“Tangi, Mbah!” Bapak Polisi yang membuka pintu sel menendang ujung kaki Mbah Aziz. Lali-laki renta itu tergeragap. Agaknya tadi dia benar-benar sedang terlelap. Segera mata tuanya yang memicing mendapati keberadaanku di depan pintu sel.

“Ana sing arep ketemu!” Lanjut Bapak Polisi itu sambil kembali mengunci pintu sel, dan meninggalkan aku termangu di hadapan pesakitan itu.

Ya, aku termangu. Aku diam, tak berkata-kata. Lidahku terasa kaku melihat lelaki tua itu. Raga ringkih di hadapanku ini juga bisu. Hanya mata kami saja yang saling berbicara. Aku bisa memahami dengan jelas apa yang disampaikan mata tua itu.

Sejenak setelah kami hanya saling berpandangan, mulut keriputnya berkata lirih, “aku mung njaluk srengengeku bali. Mung kuwi. Pangapuramu ya, Nak!”

Sungguh, bahasa yang sangat kumengerti. Kalimat yang menjadi pisau tajam yang mengiris kemanusiaanku.

Memang bukan di sini tempat lelaki itu, tetapi di emper depan rumahnya agar bisa terus dinikmatinya matahari senja miliknya.
**

Lelaki tua itu sudah menyita perhatianku sejak kepindahanku ke rumah baruku. Rumah idaman kami, aku dan Enggar, sedari kami pacaran dulu. Rumah yang sejuk tempat kami sedang mulai membangun sebuah keluarga yang bahagia. Sebuah tempat dimana anak-anak kami nantinya tumbuh dengan ceria. Jauh dari peradaban modern dengan segala tetek bengek pengaruh buruknya.

Setelah hampir tiga tahun memperjuangkannya, akhirnya mimpi itu bisa kami wujudkan. Sebuah rumah panggung berdinding dan berlantai kayu yang sejuk. Rumah yang tidak terlalu besar, sehingga menyisakan tempat untuk halaman depan, samping, dan belakang yang cukup luas. Berikut dengan aneka bunga dan air mancur kecil di halaman depan yang penuh rerumputan dan kebun belakang yang ditanami mangga, rambutan, dan durian. Rumah yang terletak di pinggiran kota dengan nuansa pedesaan yang masih kental. Terletak memencil di ujung kampung, dengan tetangga terdekat sebuah rumah tepat di seberang rumahku. Rumah lelaki tua itu.

Saat senja dengan peci, sarung, dan kaos lusuhnya lelaki tua itu duduk jegang di kursi rotan di emper rumahnya. Biasanya dia ditemani secangkir minuman yang sesekali diseruputnya pelahan sambil menatap lurus ke depan. Ke arah rumahku. Namun entah apa yang sedang dilihatnya. Dia hanya seperti sedang menerawang, dan selalu saja mengabaikan anggukanku yang mencoba untuk sekedar beramah-tamah sebagai seorang tetangga baru.

Rambut sudah memutih di kepalanya, kerut kerentaan juga telah menyesaki wajahnya. Usianya mungkin sudah ada delapan puluh, tapi lelaki itu masih sering melakukan aktivitas fisik. Entah itu mencangkul, memikul kayu kering, ataupun menimba air dari sumur di samping rumahnya.

Rumahnya adalah sebuah rumah berdinding papan yang sudah lapuk dan pagar bambu. Dia tinggal sendirian. Hanya suara radio transistor yang sesekali terdengar dari rumahnya.

Entah bagaimana dia hidup. Kulihat dia hanya menggarap sebidang tanah di belakang rumahnya. Itu pun entah kepunyaannya sendiri atau dia hanya menggarapkan tanah orang lain.

Aku bayangkan betapa sepi hari-harinya.
**

Sebuah sedan hitam berhenti di depan rumah lelaki tua itu ketika aku sedang mencuci mobil di Minggu pagi itu. Seorang perempuan paro baya dengan dandanan menor keluar dari mobil. Dia melihat ke arahku. Anggukan ramahnya kubalas dengan anggukan juga. Tak kusangka dia datang menghampiri aku.

“Selamat pagi, baru pindah ya?” Sapanya ramah sambil menyorongkan tangannya. “Atik.”

Kulap tanganku yang basah dengan celanaku untuk menyambut uluran tangannya. “Guruh. Baru seminggu yang lalu pindah ….” Batinku tak berhenti bertanya siapa gerangan perempuan ini.

“Rumahnya cantik sekali. Elegan. Artistik. Selera Anda tinggi sekali. Pasti penyuka seni!” Pujinya sembari matanya berkeliling.

“Terima kasih.”

Kulihat dia tersenum simpul. “Coba, bandingkan dengan rumah bapak,” katanya sambil menunjuk rumah lelaki tua itu. “Mbah Aziz, sudah berkenalan, kan?”

Rupanya si tante ini, Bu Atik ini, adalah anak lelaki tua itu, Mbah Aziz. Aku mengangguk, membohonginya.

“Benar-benar …. Seperti bumi dan langit saja,” lanjutnya. “Tapi bagaimana lagi sudah saya bujuk berulang kali untuk dirobohkan saja, lalu saya bangunkan rumah yang lebih pantas, bapak selalu menolak. Bukannya apa-apa, rumahnya jelek begitu, saya juga yang malu. Orang-orang berpikiran saya ini anak yang tidak tahu keadaan orang tua. Tidak ngerti sama orang tua. Padahal orang tuanya sendiri yang keras kepala.”

“Orang tua memang kadang sukar dimengerti kemauannya,” kataku menanggapi.

“Benar. Padahal sudah lima puluh tahun lebih sejak ibu meninggal, masih saja setia dengan gubuk jeleknya itu.” Bu Atik tersenyum.

“Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan rupanya.”

Bu Atik mengangguk. ”Anda pasti heran, ngapain bapak sore-sore pasti selalu duduk di serambi depan.”

Aku mengangguk. “Kenapa ya, Bu?”

“Untuk mengenang ibu, katanya. Konon, adalah kebiasaan bapak dan ibu untuk duduk di serambi sambil menantikan senja. Mereka hobi menyaksikan matahari terbenam sembari berbincang dan menikmati segelas teh. Mereka baru akan beranjak setelah matahari benar-benar menghilang, hari benar-benar gelap.” Bibirnya menyunggingkan senyum, matanya menerawang. “Dalam hati saya, saya mengagumi kesetiaan bapak ini. Lima puluh tahun lebih betah hidup menduda, hidup hanya dengan kenangannya akan ibu. Lima puluh tahun lebih melakukan ritual senjanya demi kenangannya akan ibu. Lima puluh tahun. Sedang suami saya, belum mencapai usia perkawinan perak sudah dua kali menikahi siri perempuan lain.” Diangkatnya bahunya sambil mencibir.

Aku hanya terseyum, tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Tak kusangka, ada orang yang dengan entengnya membicarakan dapur rumahnya dengan orang yang baru saja dikenalnya seperti ini.

“Aduh, malah jadi curhat!” Bu Atik tergelak. “Maaf lo, sudah mengganggu. Silakan diteruskan cuci mobilnya. Mari ….´Dia pun melenggang menuju rumah lelaki tua itu, Mbah Aziz.

Sejak pagi itu, Mbah Aziz semakin menarik bagiku.
**

Menjelang senja, beberapa hari setelah perbincanganku dengan anak Mbah Aziz itu, aku mendatangi Mbah Aziz yang sedang duduk jegang di depan rumahnya. Aku berniat untuk menghibur kesepian lelaki tua itu.

Sayangnya niat baikku gagal total. Mbah Aziz mengacuhkan aku. Hanya sesekali dia menengokku yang duduk di kursi sampingnya, selebihnya pandangannya lurus ke depan. Hanya ‘ya’, ‘tidak’, dan dehem yang keluar dari mulutnya. Sedangkan raut wajahnya dingin tanpa ekspresi keramahan.

Aku merasa konyol dan memutuskan untuk pamit pulang.

Mbah Aziz hanya mengangguk, tidak sedikit pun berusaha berbasa-basi menahan kepulanganku. Matanya setia menerawang ke arah barat.

Ketika kuikuti pandangannya, justru aku terkesima akan keindahan rumahku. Rumahku bertambah-tambah cantiknya di antara remang cahaya senja.
**

Aku termangu di depan rumahku. Tak kusangka sepulang kami dari Bogor, kenyataan pahit ini yang harus kami temui.

Istanaku tinggal abu. Rumah yang kubangun dengan peluh, di mana kusimpan mimpi-mimpiku tentang keluarga yang bahagia, musnah. Hanya air mancur, bunga-bungaan, pohon mangga, rambutan, dan duriannya yang tersisa. Juga segumpal rasa gela yang tak terkira di dadaku ini.

Enggar memelukku dari belakang. Dia baru saja berbicara dengan Pak RT yang segera menyusul kami begitu melihat mobil kami lewat di depan rumahnya. Enggar berbisik dekat di telingaku, “api sudah terlanjur besar ketika orang kampung tahu rumah kita terbakar.” Lalu dia mengecup pipiku, “tidak perlu khawatir. Ada yang lebih penting.” Lalu jarinya menunjuk matahari yang sedang terbenam.

Sepasang mataku mengikuti telunjukknya. Seketika itu juga aku tertegun oleh pesona matahari senja yang bulat dan merah.

Aku dan Enggar bertatapan. Dia mengangguk, memastikan keraguanku.

“Benar. Mbah Aziz, Sayang,” bisiknya. “Kata Pak RT, dia duduk dengan jerigen bensin di emper rumahnya. Ketika ditanya pun tidak mengelak. Sekarang dia sudah di Polres.” Enggar mempererat pelukannya. “Rupanya rumah mungil kita sudah menjajah kemerdekaannya untuk menikmati keindahan senja.”

Aku termangu. Aku merasa seperti baru saja melakukan sebuah kejahatan besar.
**

Tabloid Nova, Edisi Januari 2011

No comments: