Monday, March 29, 2010

Perempuan dan Lampu Kamar Tidurnya

Sudah hampir dini hari dan lampu kamar tidurnya masih menyala terang.

Tanpa harus melongok ke dalam kamarnya aku sudah tahu, dia sedang berbaring di ranjangnya. Sendirian. Kesendirian selalu membuatnya tidak merasa nyaman. Entah ketika masih terjaga atau sudah terlelap tidur. Dia selalu butuh terang lampu untuk menemani kesendiriannya.

Entah dimana pula lelaki yang seharusnya sudah berbaring di sisinya sejak malam sudah beranjak tadi. Mungkin masih terbenam di antara tumpukan kertas-kertas kerjanya. Mungkin sedang bergelut dengan kartu-kartu di meja judi. Atau sedang berpelukan dengan sembarang perempuan lain.
Dan seribu kemungkinan lain yang tidak bisa kupastikan.

Satu hal lain lagi yang bisa kupastikan adalah derita yang dirasai oleh perempuan itu. Perempuan indah, tinggi semampai, dengan warna kulit yang sangat kontras dengan rambut panjang ikal mayangnya itu. Aku bahkan bisa membawamu menuju detail-detail penderitaannya.

Sejak malam mulai merangkak tadi dia sudah menghampiri ambang jendela kamarnya. Berdiri melangut di sana dengan mata menembus kaca dan jemari mencengkeram teralisnya. Keputusasaan yang digambarkannya sudah seperti punguk yang setengah mati merindukan bulan. Terlihat nyata di depan mata, namun tiada kuasa merengkuhnya.

Sekali dua dihelanya nafasnya untuk membebaskan sesak yang penuh dalam rongga dadanya. Apa yang ada di depan pandangan matanya, dalam benaknya, dan menyesaki dadanya, hanyalah satu. Lelaki yang seharusnya sudah menghuni ranjangnya sedari malam mulai merangkak tadi.

Perempuan itu menengok ranjang di belakang kepalanya. Masih rapi. Hatinya perih teriris oleh pertanyaan bilamana ranjang itu akan menyaksikan kembali gelegak darah mereka yang menggelora.

Sedangkan malam sudah sedari tadi beranjak, hampir mencapai puncak.

Ketika dia mulai berpaling pada malam di kejauhan, dia mulai kembali mereka-reka apa yang menghambat lelakinya itu untuk pulang. Kembali memutar-mutar segala kemungkinan. Yang menyenangkan, yang menyakitkan, yang paling mungkin, yang paling mustahil, satu-satu melintas bergantian. Ketidakpastian ini membuat kegalauan dalam benaknya semakin menjadi-jadi.

Dalam puncak keputusasaannya, didongaknya langit malam. Tidak tersedia jawaban di sana. Hanya gelap. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Punguk itu rupanya sedikit lebih beruntung daripada dia.

Merasa berdiri di sana tiada berguna, kemudian perlahan dijauhkannya tubuhnya dari jendela.

Terang lampu kamar menembus gaun tidur sutra hitam berendanya. Menampakkan lekuk tubuhnya yang terlalu indah namun sia-sia. Gemulai ayunan langkahnya mengitari ranjang menuju sisi mana dia biasa berbaring. Gemulai tubuh yang terlalu indah yang juga sia-sia.

Sungguh, sayang sekali.

Kemudian dia duduk di tepian ranjangnya untuk beberapa lama. Sambil sesekali menyibakkan rambut yang jatuh di dahinya saat tatapnya nanar pada sprei yang masih kencang.

Sprei itu berwarna biru, dengan gambar dua angsa sedang berpagutan mesra. Sprei yang melapisi ranjang itu selalu berwarna biru. Seperti laut, kesukaan lelakinya itu. Seperti angkasa, kesukaan perempuan itu. Sehingga saat mereka bercinta di atas ranjang itu, mereka seperti sedang berenang, mereka seperti sedang terbang.

Ditelusurinya bagian ranjang dimana seharusnya lelakinya sudah berbaring. Pandangnya terus saja nanar sampai kemudian dijatuhkannya tubuhnya menghantam ranjang. Masih dengan jemari satu tangannya lekat di sisi seberangnya. Mengusapnya pelahan. Seperti bila jemarinya berada di atas dada bidang lelaki itu.

Saat dada sesak dalam dadanya tak tertahan, satu tetes air mata mengalir dari sudut matanya. Disusul dengan satu tetes lagi. Satu tetes lagi. Lagi. Susul-menyusul meresap pada bantal, membuatnya basah.

Dikatupkannya kelopak matanya, seakan dengan begitu air matanya akan terhalang. Gagal, setetes merembes. Begitu seterusnya sehingga bulu mata lentiknya pun kuyup.

Diusapnya dengan tangannya. Pipnya pun basah.

Dia pun mulai bersuara. Diantara isaknya, dia meratapkan nama lelakinya, memohon dia segera pulang.

Karena lampu kamar tidurnya tetap akan menyala terang sebelum lelakinya itu pulang.

Sebelum kerinduannya berubah menjadi kebencian, perempuan itu jatuh tertidur.

….

Ah, bagaimana aku tidak akan mampu menyampaikan derita yang dirasainya, karena sering kali malam-malam yang kulalui pun sama persisnya.
**

Masih jauh dari tengah malam.

Ada dengki yang diam-diam menyusupi batinku. Malam ini rupanya dia tidak tidur sendirian. Lampu kamarnya hanya temaram.
**

Dengkiku yang semalam semakin menjadi-jadi. Pagi ini bisa kupastikan, ternyata semalam perempuan itu tidur sendirian. Rupanya kesendirian sudah bisa membuatnya nyaman, tanpa lampu kamarnya harus menyala terang.

Perempuan itu sudah merdeka.

Sedangkan aku belum juga bisa. Hanya getir yang bisa kurasa.
**

No comments: