Tuesday, November 24, 2009

Sudah Selesai

Segera setelah bercinta dengan suamiku aku selalu mandi.

Membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Membilas tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Berlama-lama di bawah kucuran shower. Merasakan air mengalir dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Begitu terus, sampai aku yakin bahwa tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, telah benar-benar bersih. Saat air yang mengalir menuju lubang pembuangan air di sudut kamar mandi sudah tidak lagi berwarna hitam oleh kotoran yang tadinya lekat pada tubuhku, dari rambut hingga ujung kuku kakiku, melainkan telah berwarna bening, bersih dari kotoran itu.

Seumur hidupku aku hanya bercinta dengan suamiku saja, dan aku selalu mandi segera setelah bercinta dengannya.

Aku hanya tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku. Membuat nafasku sesak mencium baunya yang busuk menyengat. Membuat perutku mual melihat noda-noda hitam menjijikkan yang menempel di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kaki. Segera setelah mandiku selesai, kurendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai. Aku juga tidak tahan dengan kotoran yang melekat di sprei, sarung bantal, dan bajuku. Seperti halnya aku tidak tahan kotoran yang sama yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Segera setelah bercinta dengan suamiku, aku mandi, lalu merendam sprei, sarung bantal, dan baju yang tadi kupakai sebelum bercinta dengannya. Tengah malam sekali pun. Suamiku berkali-kali bilang bahwa aku butuh menemui psikiater. Aku menolaknya, berkali-kali juga. Aku bukan orang gila. Aku hanyalah orang yang tidak tahan dengan kotoran yang melekat di tubuhku, dari rambut sampai ujung kuku kakiku, sprei, sarung bantal, dan bajuku saja. Itu tidak berarti gila, bukan?

**
….

Aku sedang membilas tubuhku. Sebentar lagi aku selesai.

Sejak dua bulan lalu suamiku baru menyentuhku lagi sekarang. Itu pun karena aku yang menggodanya. Dia selalu saja merasa bersalah setiap kali kami selesai bercinta, melihatku segera berlari menuju ke kamar mandi, mendekam beberapa lama di sana, lalu merendam segala sprei dan sarung bantal. Apalagi bila dia tahu aku belum orgasme. Kadang dia tidak bisa dibohongi. Saat aku mengatakan sudah, padahal aku belum mendapatinya. Yang terakhir, sebelum hari ini, dua bulan yang lalu.

Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, suamiku menyentuhku, mendapatkan kebutuhannya, dan sangat merasa bersalah karenanya. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, aku sengaja ingin suamiku menyentuhku, sengaja memberikan kebutuhannya, membohonginya, dan kemudian sesak dan mual oleh kotoran yang melekat di tubuhku, rambutku sampai ujung kuku kakiku, spreiku, sarung bantalku, dan bajuku. Dua bulan yang lalu terakhir kali, sebelum hari ini, selesai aku mandi kulihat suamiku tercenung di pinggir tempat tidur, meratapi apa yang telah terjadi.

Setiap kali aku seperti mengalami de javu, tapi sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi.

Aku hampir selesai. Saat ini pun aku seperti mengalami de javu. Saat ini pun sebenarnyalah sebuah kenyataan yang memang selalu saja berulang lagi. Aku sudah hampir selesai. Sebentar lagi aku selesai. Keluar dari kamar mandi lalu mendapati suamiku duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah penuh rasa salahnya.

Dia suamiku, aku menyayanginya sepenuh hatiku. Tentu saja, dia suamiku. Aku mengerti kebutuhannya. Tentu saja dia suamiku, aku sangat memahaminya. Aku akan lebih merasa sakit bila dia sampai melakukannya dengan orang lain. Mencampakkan komitmen kami berdua, bahwa seks adalah dan hanyalah karena cinta. Tapi tidak akan mungkin, karena aku yakin tidak pernah terlintas sedikit pun dalam pikirnya. Untuk memikirkannya pun, sungguh, aku berani bersumpah, dia tidak akan mungkin.

Sebentar lagi aku selesai. Aku sudah membilas tubuhku. Dari rambut sampai ujung kuku kakiku.
….

**
….

Aku mendengar ibu melenguh lirih dari depan pintu kamarnya malam itu. Aku tahu ibu sendirian di dalam sana. Ibu tidak pernah lagi membiarkan laki-laki menyentuh tubuhnya, setelah dulu bapakku melakukannya dengan paksa.

Ibu pun tidak membiarkan laki-laki menyentuh tubuhku. Ibu menamparku, lalu menyeretku ke kamar mandi begitu melihat Rudi mencium pipiku di teras rumah. Ibu bilang najis, kotor, sehingga aku harus membersihkan tubuhku dari rambut sampai ujung kakiku. Aku sampai gelagapan karena seperti kesetanan Ibu menyiram tubuhku.

Malam itu, orgasme pertamaku dengan telingaku lekat di daun pintu kamar ibu.

….

**
….

Aku sudah hampir selesai. Aku sudah membasahi tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, menggosok tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, menyabuni tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku, membilas tubuhku dari rambut sampai ujung kuku kakiku. Aku sudah cukup berlama-lama berdiri di bawah kucuran shower. Menikmati air mengalir dari rambut sampai ujung kuku kakiku.

Aku telah menemukan tubuhku kembali bersih. Air yang mengalir ke lubang pembuangan di sudut kamar mandi sudah berwarna bening. Kotoran itu sudah luruh. Noda-noda hitam menjijikan itu sudah hilang. Bau busuk menyengat itu sudah tidak tercium.

Aku sudah bersih. Aku sudah hampir selesai. Suamiku pasti sudah terlalu lama menungguku keluar dari kamar mandi dengan cemas. Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih. Aku akan bilang tidak apa-apa, sudah dua bulan dia tidak mendapatkan kebutuhannya. Aku akan menghiburnya, aku ikhlas melakukan kewajibanku sebagai istrinya.

Aku sudah hampir selesai. Aku sudah bersih.

Sebentar lagi aku selesai.

….

Aku kembali mendengar ibu melenguh lirih.

….

Aku orgasme.

….

Aku sudah selesai.

….

**

No comments: