Tuesday, November 24, 2009

Dongeng Cinderella

Namaku Cinderella.

Masih sebagai Putri Abu, aku terlihat begitu menyedihkan. Bergaun buruk dan tentu saja belepotan abu. Duduk terpuruk di sudut dapur setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang melelahkan. Untung saja ada dua ekor tikus putih itu yang menghibur lara hatiku. Mereka yang tidak berhenti menyuruhku bersabar, sampai Peri itu datang.

Ya, aku sedang menanti Peri itu. Peri yang nantinya akan mengayunkan tongkatnya sihirnya ke arahku. Mengeluarkan bunyi ‘cling’, lantas menaburkan kerlip bintang yang akan membasuh abu dari badanku dan mengganti gaun burukku menjadi gaun putih berenda-renda yang panjang menyentuh tanah. Belum habis rasa takjubku, dia sudah akan mengubah labu di dekat pintu dapur menjadi kereta mewah, dan dua ekor tikus putih ini menjadi kudanya yang gagah. Kereta kuda yang akan mengantarku memenuhi undangan pesta dansa Pangeran.

Tentu saja Peri itu juga akan memberiku sepasang sepatu kaca. Agar bisa kutinggalkan satu untuk Pangeran begitu jam berdentang dua belas kali nanti. Saat aku sudah harus kembali menjadi Putri Abu, kereta menjadi labu, dan dua ekor kudanya menjadi dua ekor tikus putih yang mencericit dengan berisik. Agar kemudian Pangeran bisa menemukanku bersama dengan pasangan sepatu kacaku yang tertinggal itu, membawaku ke istananya, hingga akhirnya pun kami bisa hidup berbahagia selama-lamanya.

Duh, betapa lamanya selama-lamanya itu!

Peri itu, penolongku. Aku menantinya di emper warung ini.

Seharusnya dia sudah mengucapkan mantra sihirnya satu jam yang lalu, ketika aku harus menuntun motorku yang tiba-tiba ngadat. Dia benar-benar terlambat, sehingga gerimis pun dalam waktu singkat jatuh semakin lebat. Menjadi hujan deras yang memaksaku berteduh di emper warung ini. Sampai saat ini.

Dengan tubuh basah, aku duduk meringkuk memeluk lutut. Gigilku tak kuasa melawan hawa dingin yang menusuk-nusuk kulit di bawah blazerku. Kusembunyikan wajahku di antara kedua lututku dengan mata terpejam. Jauh di sudut hatiku tumbuh sebuah harapan, saat nanti aku menengadah kembali Peri itu sudah berdiri di depanku.

Ketika kuangkat wajahku, tidak ada kulihat Peri itu. Hanya remang lampu jalan dan hujan. Jalanan pun masih saja lengang. Hanya ada aku yang tak berdaya, lemah, dan menyedihkan. Dalam penantianku akan Peri itu.

Aku tahu. Peri harus datang terlebih dahulu sebelum aku dapat hidup berbahagia selama-lamanya bersama Pangeran. Tanpa dia, tidak mungkin aku bisa pantas untuk datang ke pesta Pangeran. Tanpa datang ke pestanya, tidak mungkin Pangeran ternganga melihat kecantikanku. Tanpa terpesona pada kecantikanku, tidak mungkin Pangeran akan mengajakku berdansa. Tanpa berdansa dengannya, tidak mungkin aku lupa waktu. Tanpa terburu-buru pulang, tidak mungkin sepatu kacaku tertinggal satu. Tanpa Pangeran berusaha mencari pasangan sepatu kacaku, tidak mungkin Pangeran akan bisa menemukanku dan menjadikanku Permaisurinya. Sehingga kami pun dapat hidup berbahagia sampai selama-lamanya.

Peri itu kuncinya.

Atau mungkin aku memang masih harus menjadi Putri Abu untuk waktu yang lebih lama lagi. Mungkin memang belum waktuku menjelma menjadi Cinderella cantik yang bergaun indah. Belum waktuku datang ke pesta dansa Pangeran. Belum waktuku ketinggalan sebelah sepatu kacaku. Belum waktuku untuk berbahagia.

Tidak seperti Mirna. Rupanya Peri mendatangi sahabatku itu terlebih dahulu. Menyulapnya menjadi Putri cantik yang bergaun indah yang akan menikah esok hari. Demi turut merasakan kebahagiaannyalah aku duduk meringkuk di emper warung ini malam ini. Agar besok aku bisa ijin, aku harus lembur menyelesaikan pembukuan hari ini. Semula kuperkirakan setengah tujuh aku sudah bisa keluar kantor, tapi gara-gara aku salah posting hampir setengah sepuluh aku baru bisa selesai.

Kesialanku pun berlanjut ketika motor bututku tiba-tiba macet di jalan ini. Jalan yang kanan kirinya hanyalah gelap persawahan saja. Tidak ada satu pun rumah penduduk di sepanjang jalan ini. Hanya ada sebuah warung nasi yang biasanya melayani buruh sawah. Warung tempatku berteduh kini yang tak begitu jauh dari tempatku berdiri waktu itu.

Dengan berharap akan menjumpai seseorang di sana yang bisa kumintai tolong, maka aku pun mulai menuntun motorku. Sepasang sepatu hak tinggi ini cukup mengganggu perjalananku. Satu dua mobil dan motor lewat tanpa menghiraukan kemalanganku. Hatiku sudah mulai merapalkan permohonan agar Peri itu sudi segera datang. Mengayunkan tongkat dan mengucapkan mantra sihirnya, membebaskanku dari penderitaan ini. Agar bisa segera kujelang kebahagiaanku bersama Pangeran.

Beberapa saat sudah aku menuntun motorku. Beberapa kali aku hampir terjatuh. Peluh membasahi blusku, sedangkan dingin angin sawah menembus blazerku. Aku merana. Peri itu belum juga datang. Semakin merana ketika sebentar kemudian gerimis datang.
Setengah berlari aku berpacu dengan hujan yang dalam waktu singkat semakin deras. Tidak berhenti aku berdoa agar Peri segera datang, ada seseorang yang bisa menolongku di warung itu. Sesampainya aku di depan warung, sejenak aku tertegun.

Sudah tutup.

Di antara hujan, langkahku gontai menuju warung nasi. Aku hanya bisa duduk meringkuk memeluk lutut di bangku kayu panjang ini. Sembari mengigil di bawah remang lampu jalan yang menyala di seberang warung. Dan berharap, Peri itu segera datang.

Ah …. Peri itu belum juga datang sampai sekarang. Tak seorang pun menyusulku berteduh di sini. Satu dua pengendara motor memilih menerobos hujan. Bahkan beberapa saat ini hanya lengangnya malam bersama air hujan yang nampak di depanku.

Hujan masih saja deras, malam semakin larut, dingin semakin menusuk sampai ke tulang. Aku pun jatuh tertidur.

Dalam tidurku aku seperti bermimpi bertemu dengan Pangeran. Dia terlihat gagah di atas kuda putihnya. Sambil menatapku dia tersenyum. Sampai-sampai aku ternganga oleh pesonanya. Walaupun kurasa agak aneh juga, Peri itu belum lagi datang ….

Begitu turun dari kuda putihnya, Pangeran meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. Mencengkeram pundakku, membungkam mulutku, menyeretku ke tengah sawah yang gelap. Mengancam akan membunuhku bila aku berteriak.
***

1 comment:

Anonymous said...

kisah pribadiya kron? terpaksa enak tuh...